Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Suami wajib adil dalam memberi waktu untuk istri-istrinya di malam hari. Akan tetapi untuk siang hari, maka tidak ada tuntutan harus sama kadarnya di antara para istri. Artinya, jika seorang istri mendapatkan giliran hari Ahad, maka Ahad malam itu suami wajib menyamakan kadarnya dengan istri-istri lain. Tetapi Ahad siang, suami tidak harus berpikir tinggal bersama istri dalam rumahnya dengan kadar yang sama dengan istri-istri lainnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa dalam siang hari suami tidak wajib adil memberikan jatah waktu untuk istri-istrinya adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Aku menjadikan siang bagi manusia) untuk mencari penghidupan.”
Dalam ayat di atas Allah menetapkan waktu siang untuk bekerja dan waktu mencari penghidupan, bukan waktu istirahat. Artinya seorang suami menggunakan waktu siang untuk bekerja dan mengurus berbagai urusan hidup. Yang seperti ini membuat penggunaaan waktu siang menjadi tidak terprediksi. Terkadang sangat sibuk sehingga hampir seluruh waktu siang habis untuk bekerja. Terkadang sangat longgar sehingga seharian bisa di rumah. Terkadang pertengahan sehingga bisa keluar rumah tetapi masih punya waktu yang cukup banyak di dalam rumah.
Jika seperti ini kondisinya, maka tidak mungkin menyamakan kadar waktu bersama istri di waktu siang. Sebab bisa jadi pada siang tertentu suami punya banyak waktu dengan salah satu istrinya, sementara pada siang yang lain hampir tidak punya waktu untuk bersama istrinya. Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini tidak wajib hukumnya berbuat adil dalam membagi waktu istri di siang hari. Sebab waktu siang itu waktu beraktivitas, berbeda dengan waktu malam yang merupakan waktu istirahat sehingga secara umum semua orang sama.
Membebani suami untuk memberi waktu secara adil kepada istri di siang hari akan menimbukan masyaqqah/beban berat untuk suami, membuatnya susah bergerak, bahkan mungkin tidak bisa bekerja dengan baik. Dia juga akan susah melaksanakan perbuatan-perbuatan fardu ain di luar rumah, melaksanakan fardu kifayah dan melakukan hal-hal sunah. Suami juga akan susah melaksanakan hal-hal mubah atau menjalankan hobinya yang diperlukan lelaki untuk hiburan sesekali.
Lagipula status siang itu tābi‘ bukan aṣl, sebab imādul qasmi itu hanya malam saja sementara siang hanya mengikuti malam. Jadi, tidak menjadi keharusan berbuat adil dalam hal tinggal di tempat istri pada siang hari. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Tidak wajib menyamaratakan dalam hal bertempat tinggal (untuk para istri) di siang hari.” (Minhāj al-ṭālibīn hlm 224)
Hanya saja tidak boleh jika SENGAJA tidak adil dalam mengelola waktu siang hari misalnya sering-sering atau rutin mengunjungi salah satu istri atau beberapa istri sementara istri yang lain tidak diperlakukan sama. Mengistimewakan istri tertentu seperti itu bisa menimbulkan iri, dengki, cemburu dan permusuhan di antara para istri dan itu adalah keburukan. Jadi yang boleh adalah tidak menyamakan pemberian waktu siang hari, tetapi itu berjalan secara alami sesuai kebutuhan. Sebab hukum asalnya waktu siang itu di dalamnya juga ada hak istri. Karenanya, penggunaan waktu siang sedapat mungkin juga semestnya tetap diprioritaskan untuk istri yang memiliki hari tersebut, bukan untuk istri yang lain.
Adapun untuk suami yang bekerja di malam hari seperti satpam atau attūnī (penjaga perapian dalam pemandian air hangat untuk umum di masa lalu), berarti imādul qasmi-nya siang hari. Dengan demikian suami seperti ini tidak wajib adil di antara istri-istri dalam penggunaan waktu malam.
***
1 Muharam 1443/ 9 Agustus 2021