Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Hukum asalnya, haram suami keluar rumah di waktu malam pada jatah bermalam salah satu istrinya. Alasannya, jatah bermalam istri adalah waktu eksklusif istri yang tidak boleh diganggu siapapun baik madunya maupun selain madunya. Jika suami keluar rumah di malam hari untuk meletakkan barang di rumah istrinya yang lain, atau memperbaiki lampu di rumah salah satu istri yang lain, atau makan di warung dengan salah satu istri yang lain, atau memancing ikan atau menonton bola atau main catur atau main game atau begadang dengan teman-temannya dan kegiatan semisal, maka suami telah berdosa karena menzalimi hak waktu istrinya.
Hanya saja hukum asal ini tidak bermakna suami haram keluar rumah secara mutlak dan harus “dikurung” di rumah bersama istri yang mendapatkan jatah bermalam. Dalam kondisi tertentu, suami boleh keluar rumah dan tidak dihitung dosa.
Berikut ini beberapa contoh kondisi yang membolehkan suami keluar rumah di malam jatah waktu salah satu istrinya.
SATU, ada istri yang sakit keras dan dikhawatirkan wafat.
Ini adalah kondisi darurat, jadi suami tidak berdosa jika menjenguk istrinya yang sakit keras seperti itu. Termasuk tidak berdosa jika kekhawatiran terhadap istri itu hanya dugaan. Meskipun setelah itu suami memastikan bahwa istrinya yang sakit itu tidak mengkhawatirkan, maka perbuatan suami menjenguk istri di malam hari seperti ini tidak berdosa. Sebab Rasulullah ﷺ melarang ada ḍarar (bahaya), sementara membiarkan istri sakit keras tanpa diurus jelas menimbulkan ḍarar yang mengancam nyawa. Jadi, kunjungan suami seperti ini tidak berdosa. Jika waktu kunjungannya sebentar, maka suami tidak perlu meng-qaḍā’ tetapi jika waktu kunjungannya lama, maka suami wajib meng-
qaḍā’ setelah siklus giliran istri berakhir.
Standar lama dan sebentar dikembalikan pada ‘urf. Ringkasnya, jika waktu kunjungan melebihi yang dibutuhkan untuk kunjungan itu, maka sudah dihukumi lama. Tetapi jika memang membutuhkan waktu untuk misalnya memanggilkan dokter, membelikan obat, menyuapi dan semisalnya, maka termasuk hukum sebentar.
DUA, ada istri yang rumahnya terbakar.
Ini juga termasuk darurat. Jadi suami boleh pergi di malam hari ke rumah istrinya yang terbakar untuk membantu memadamkan api atau meyelamatkan istri dan hartanya. Perbuatan suami seperti ini tidak dihukumi dosa karena termasuk kebutuhan darurat. Termasuk boleh juga jika belum pasti ada kebakaran tetapi dikhawatirkan kebakaran. Meskipun setelah dicek ternyata istri tidak apa-apa dan tidak ada kebakaran, maka perbuatan suami memastikan keselamatan istri seperti itu tidak dihitung dosa.
TIGA, ada istri yang hendak melahirkan.
Ini juga termasuk darurat. Suami boleh mendatangi istri yang sudah mengalami his/ṭalq yakni rasa sakit pada rahim karena kontraksi hendak melahirkan. Sebab istri yang hendak melahirkan jika tidak ditolong maka dia berpotensi wafat dan itu bisa termasuk kezaliman jika kita yang tahu dan mampu tetapi tidak menolongnya. Perbuatan suami seperti ini tidak dihukumi dosa karena termasuk kebutuhan darurat. Termasuk boleh juga jika belum pasti hendak melahirkan tetapi dikhawatirkan melahirkan. Meskipun setelah dicek ternyata istri tidak apa-apa dan belum hendak melahirkan, maka perbuatan suami memastikan keselamatan istri seperti itu tidak dihitung dosa.
EMPAT, istri dikhawatirkan dirampok atau dicuri.
Itu juga termasuk kebutuhan darurat. Misalnya istri malam-malam menelepon suami karena mendengar suara-suara mencurigakan dari luar rumah dan merasa ketakutan lalu suami mendatangi rumahnya. Perbuatan suami seperti ini tidak dihukumi dosa karena termasuk kebutuhan darurat. Termasuk boleh juga jika belum pasti ada perampok atau pencuri tetapi dikhawatirkan akan dirampok atau dicuri. Meskipun setelah dicek ternyata istri tidak apa-apa dan tidak ada pencuri/perampok, maka perbuatan suami memastikan keselamatan istri seperti itu tidak dihitung dosa.
LIMA, istri dikhawatirkan diganggu oleh lelaki jahat.
Itu juga termasuk kebutuhan darurat.
Misalnya istri malam-malam menelepon suami karena mendengar suara-suara mencurigakan dari luar rumah dan merasa ketakutan kalau-kalau ada lelaki yang akan berbuat jahat kepadanya, lalu suami mendatangi rumahnya. Perbuatan suami seperti ini tidak dihukumi dosa karena termasuk kebutuhan darurat. Termasuk boleh juga jika belum pasti ada pemerkosa atau pembunuh tetapi dikhawatirkan akan diperkosa atau dibunuh. Meskipun setelah dicek ternyata istri tidak apa-apa, maka perbuatan suami memastikan keselamatan istri seperti itu tidak dihitung dosa.
Termasuk semua kebutuhan lain yang semisal dengan ini. Intinya semua kebutuhan darurat untuk datang ke rumah istri malam-malam tidak dihukumi dosa. Hanya saja di sana ada konsekuensi. Jika waktu yang dipakai lama, maka suami wajib meng-qaḍā’ jatah waktu istri yang mendapatkan giliran. Tetapi jika sebentar maka suami tidak wajib meng-qaḍā’.
Alasan wajib meng-qaḍa’ adalah karena jatah waktu bersama suami adalah hak istri, dan hak istri disini termasuk ḥaqqun ādamī sementara ḥaqqun ādamī itu tidak bisa gugur hanya karena uzur. Semua kebutuhan darurat yang dicontohkan di atas termasuk uzur syar’i, jadi suami tidak dihitung berbuat dosa. Akan tetapi karena jatah waktu adalah hak istri maka suami tetap wajib meng-qaḍā’ sebagaimana orang punya utang, lalu belum bisa bayar, maka itu tetap jadi utang, tidak gugur karena kelemahannya atau uzur yang ada padanya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Kecuali (suami keluar ke tempat istrinya yang lain di malam hari) karena darurat, seperti sakit yang dikhawatirkan wafat. Dalam kondisi tersebut, jika durasi waktu yang dipakai lama, maka suami wajib meng-qaḍā’.”
Demikian pula termasuk tidak berdosa jika suami keluar malam untuk melaksanakan kewajiban, tidak peduli apakah fardu ain ataukah fardu kifayah. Keluarnya suami untuk melaksanakan kewajiban seperti ini tidak dihukumi dosa. Misalnya mengurus jenazah tetangga, mengikuti kajian ilmu agama, memberi ceramah agama, mengadili dalam mahkamah pengadilan, menyiapkan pasukan jihad, menghadiri rapat kenegaraan, memenuhi penggilan penguasa, mengerjakan tuntutan pekerjaan dan semisalnya.Termasuk tidak berdosa juga jika ada orang zalim yang mengeluarkan suami dari rumah istrinya secara paksa.
Hanya saja, jika waktu keluar rumah di malam hari itu lama, maka suami wajib meng-qaḍā’. Tetapi meng-qaḍā’-nya tidak boleh mengambil jatah waktu istri yang lain. Suami harus meng-qaḍā’ dengan cara mengambil waktu setelah siklus giliran hari berakhir. Ibnu Ḥajar al-Haitamī berkata,
Artinya,
“Demikian pula wajib meng-qaḍā’ jika keluar di malam hari dalam waktu lama meskipun tidak ke rumah madu, meskipun juga jika dipaksa. Akan tetapi suami dalam kondosi ini meng-qaḍā’ jika sudah berakhir siklus giliran hari, tidak boleh diambil dari jarah giliran salah satu istri.” (Tuḥfatu al-Muḥtāj juz 7 hlm 446)
Kecuali istri yang memiliki hak rida menggugurkan haknya, maka suami tidak perlu mengagendakan meng-qaḍā’ hari.
Ketentuan yang berlaku pada malam hari ini bisa dibalik, yakni siang hari pada kasus lelaki yang kerjanya di malam hari seperti satpam.
***
29 Zulhijah 1442/ 8 Agustus 2021