Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika suami telah menginap di rumah salah satu istrinya, maka hukum asalnya haram menjimaki istrinya yang lain baik siang maupun malam, lebih-lebih di malam hari karena itu bermakna telah mengambil hak waktu istri yang mendapat jatah hari dan itu adalah kezaliman yang dihitung sebagai dosa. Saya telah membahas haramnya menjimaki istri yang tidak mendapatkan jatah hari dalam sejumlah catatan di antaranya,
“DOSA-DOSA LELAKI YANG BERPOLIGAMI”
“BERPOLIGAMI TAPI TIDAK ADIL MEMBAGI JATAH WAKTU ITU DOSA!”
“SUAMI BERPOLIGAMI WAJIB MENGQODHO HAK ISTRINYA YANG DIZALIMINYA”
“MAKNA MEMBERI WAKTU UNTUK ISTRI YANG DIPOLIGAMI”
Oleh karena itu, hukum asalnya haram menjimaki seluruh istri dalam satu malam, karena menjimaki salah satu istri yang tidak mendapatkan jatah hari saja haram apalagi menjimaki seluruh istri. Jika hal tersebut dilakukan, tentu suami akan menzalimi waktu istri yang berhak waktu malam dengan durasi yang lebih banyak lagi.
Hanya saja ada dua kondisi yang mana suami halal menjimaki seluruh istri dalam satu malam, sehingga perbuatannya tidak dihitung dosa yaitu,
PERTAMA, seluruh istri rida.
Rida istri sangat dipertimbangkan karena dalam fikih pembagian waktu untuk istri-istri yang dipoligami asasnya adalah konsepsi bahwa waktu bersama suami adalah hak mereka. Jika itu hak mereka, maka statusnya adalah ḥaqqun ādamī (hak manusia). Konsepsi umum ḥaqqun ādamī adalah boleh digugurkan secara sukarela. Artinya, jika istri yang mendapatkan giliran bermalam mengizinkan suami menggauli seluruh istrinya pada malam itu, maka hal itu bermakna istri yang punya hak menggugurkan hak waktunya untuk dipakai suami bersama istri-istri yang lainnya. Yang semacam ini boleh sebagaimana bolehnya pengguguran hak-hak adamī lainnya.
Termasuk boleh juga menggauli seluruh istri dalam semalam jika rida itu datangnya dari seluruh istri terkait pembagian jatah waktu bermalam yang kurang dari sehari semalam. Hukum asalnya, waktu minimal pembagian waktu untuk istri adalah sehari semalam. Akan tetapi jika semua istri rida jatah bermalam hanya diberi selama waktu untuk berhubungan suami istri, maka yang seperti ini juga boleh.
Al-Bukhārī meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menggauli seluruh istrinya yang berjumlah 9 dalam semalam. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ pernah menggilir para istrinya dalam satu malam, sementara saat itu beliau memiliki 9 orang istri.”
Perbuatan Rasulullah ﷺ menggauli seluruh istrinya dalam semalam tersebut dibawa pada pengertian yang telah dijelaskan di atas, yakni beliau melakukan itu karena seluruh istrinya telah rida. Al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Adapun peristiwa Rasulullah ﷺ menggauli seluruh istrinya dalam semalam, maka itu dibawa pada pengertian bahwa seluruh istrinya telah rida.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 4 hlm 419)
KEDUA, siklus pembagian hari telah berakhir.
Jika siklus pembagian hari telah berakhir, yakni semua istri telah mendapatkan jatah waktu yang adil, maka suami tidak dibebani kewajiban untuk terus-menerus membagi jatah bermalam kepada istri-istrinya. Sebaliknya, dia boleh memilih untuk memutuskan tidak bermalam bersama istri-istrinya ataukah bermalam. Pilihan untuk melakukan salah satu dari dua opsi tersebut telah saya ulas panjang lebar dalam catatan yang berjudul “FIKIH I‘RĀḌ DAN QASM BAGI LELAKI YANG BERPOLIGAMI”. Jika suami memutuskan i’rād, yakni tidak bermalam di tempat salah satu istrinya, maka dia bebas menjimaki seluruh istrinya baik siang maupun malam sebab tidak ada jatah waktu istri yang dizaliminya.
Hadis Rasulullah ﷺ mengauli seluruh istrinya dalam semalam di atas juga kuat dibawa pada pengertian ini, yakni beliau menggauli seluruh istri dalam semalam karena hari itu siklus giliran waktu istri sudah habis dan beliau belum memutuskan qasm lagi sehingga beliau bebas menggauli seluruh istrinya tanpa mengkhawatirkan telah menzalimi hak waktu salah satu istri.
***
1 Muharam 1443/ 9 Agustus 2021