Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu sigat mubalagah adalah wazan fa’lān (الفَعْلَانُ).
Sigat mubalagah itu gampangannya adalah kata yang mengandung makna penekanan sifat.
Contoh:
(الكَاذِبُ)= yang berdusta
(الكَذَّابُ)= yang berkali-kali berdusta/tukang dusta/biasa berdusta/banyak berdusta
Kata kāżib termasuk sifat biasa. Tapi kata każżāb termasuk sigat mubālagah karena ada penekanan sifat.
Sifat yang diubah ke wazan fa‘lān mengandung makna mubālagah, yakni tekanan makna berlipat ganda atau impresi berlipat-lipat atau penguatan berkali-kali.
Umpamanya kata gaḍib (الغَضِبُ). Kata ini tergolong jenis sifat dalam bahasa Arab yang dimaknai “yang marah”. Jika kata tersebut diubah ke wazan fa’lān menjadi gadbān (الغَضْبَانُ), maka di sana ada penambahan makna penguatan sifat, yakni “sangat marah” atau “murka”. Para ulama menyebut gaḍbān ini dengan ungkapan “mumtali’an gaḍaban” (yang dipenuhi rasa amarah). Jadi ketika Allah menyebut Nabi Musa marah saat pulang dari bukit Tursina karena melihat kaumnya menyembah sapi, lalu Allah menggambarkan kondisi nabi Musa dengan lafal gaḍbān, maka sekarang kita lebih bisa merasakan level marah seperti apa yang dirasakan nabi Musa. Allah berfirman,
Termasuk kata rabb (الرَّبُّ) yang bermakna “Yang mengurus/mengatur”. Ketika diubah ke wazan fa’lān, maka ia menjadi rabbān (الرَّبَّانُ) yang secara bahasa bermakna “Yang banyak mengurus/mengatur/ngopeni”. Istilah ulama rabbānī sebenarnya diambil dari sini, yang secara bahasa bermakna ulama yang serius dalam mengurus umat sehingga layak disebut ulama yang mengamalkan ilmunya, layak jadi teladan dan layak digelari pewaris para nabi karena meniru sifat Allah Ar-Rabb yang Maha Mengurusi hamba-Nya.
Contoh lain adalah kata nā’im (النَّائِمُ) yang kita terjemahkan “yang tidur”. Jika kita ingin mendapat makna “yang banyak tidur/tukang tidur” maka kita mengubahnya ke wazan fa‘lān menjadi naumān (النَّوْمَانُ).
Makna mubālagah di sini diambil dari tambahan huruf alif dan nūn di akhir kata. Sebab kata gaḍbān (الغَضْبَانُ) misalnya, huruf aslinya sebenarnya hanya gaḍiba (غضب). Jadi, alif dan nun di akhir kata adalah huruf tambahan yang berfungsi memberi makna mubālagah.
Oleh karena itu, para ulama memberi kaidah umum yang berbunyi,
Artinya,
“Penambahan konstruksi itu menunjukkan penambahan makna.”
Konsep penambahan huruf yang membuat ada penambahan makna ini ada juga dalam bahasa jawa. Misalnya huruf vokal “U” yang “ditasydid” yang memberi makna mubālagah.
Contoh,
Pinter (pintar) menjadi pUinter (sangat pintar)
Gedhe (besar) menjadi gUedhe (sangat besar)
Cilik (kecil) menjadi cUilik (sangat kecil)
Ireng (hitam) menjadi Uireng (sangat hitam)
Nah, dari sini sekarang kita jadi tahu makna lebih detail salah satu nama Allah yakni Ar-Raḥmān (الرحمان)/ (الرحمن). Lafal tersebut berasal dari kata raḥima (merahmati) dan dipecah dari kata rahmah. Oleh karena ber-wazan fa‘lān (الفَعْلَانُ) sebagaimana kata gaḍbān, rabbān, dan naumān, maka kata tersebut mengandung makna mubālagah, yakni penekanan sifat atau impresi berlipat ganda. Dengan kata lain terjemahan bahasa lafal tersebut bukan hanya “(Zat) yang Penyayang/welas asih”, tetapi ““(Zat) yang sangat Penyayang/welas asih””. Bahkan lafal raḥmān itu lebih kuat aspek mubalagahnya daripada raḥīm sehingga boleh juga kita terjemahkan “(Zat) yang amat sangat Penyayang/welas asih”.
Karena demikian hebatnya sifat penyayang Allah yang terkandung dalam nama Ar-Raḥmān ini, maka sifat kasih sayang tersebut bahkan bisa dirasakan semua makhluk. Bukan hanya manusia tapi juga hewan-hewan. Bukan hanya orang beriman, tapi juga mereka yang kafir. Bayangkan seperti apa besarnya sifat kasih sayang Zat yang tetap menyayangi padahal dikurang-ajari dengan mengatakan “Tuhan telah mati”, “Tuhan itu tidak ada”, “Tuhan itu pelit”, “Tuhan itu punya anak” dan semisalnya. Bayangkan bagaimana Allah tetap memberi mereka makan minum, berhubungan seks dan bersenang-senang sementara mereka telah mengucapkan kata-kata keji dan sangat menyakitkan tersebut.
Oleh karena Ar-Raḥmān itu sangat kuat sifat welas asihnya yang mencakup dunia dan akhirat, sementara rahīm adalah sifat rahmat Allah yang akan diberikan kepada hamba-hambaNya yang beriman saja, maka sebagian ulama menyebut makna raḥmān itu dengan ungkapan raḥmānuddunyā wal ākhirah sementara rahīm itu rahīmul ākhirah.
8 Jumādā al-Ūlā 1443 H/ 13 Desember 2021 jam 07.26