Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Mata uang (naqd/’umlah) yang lazim dan populer digunakan di zaman Nabi ﷺ dan masa sesudahnya adalah dinar dan dirham. Dinar terbuat dari emas sementara dirham terbuat dari perak. Bedanya dengan żahab (الذَّهَبُ) dan fiḍḍah (الفِضَّةُ) adalah: Dinar itu emas yang sudah DICETAK menjadi mata uang, sementara żahab bermakna emas secara umum. Dirham adalah perak yang sudah DICETAK menjadi mata uang, sementara fiḍḍah bermakna perak secara umum.
Tetapi, ada satu jenis “mata uang/alat tukar” yang disebut para fukaha dalam kitab-kitab fikih dengan sebutan fulūṣ (الفُلُوْسُ).
Kalau begitu apa itu fulūs?
Fulūs adalah bentuk jamak dari fals/fils (الفَلْسُ). Fals bermakna koin kecil (small coin) yang terbuat dari tembaga (nuḥās) senilai 1/6 dirham. Jawād ‘Alī dalam kitabnya yang berjudul al-Mufaṣṣal fī Tārīkhi al-‘Arab Qabla al-Islām berpendapat lafal ini diserap dari bahasa Yunani: Follis.
Di dunia Islam, fulus digunakan sebagai benda penukar untuk komoditi-komoditi bernilai sangat rendah. Yakni barang-barang dagangan yang tidak mungkin dibeli dengan dinar atau dirham, bahkan potongan dinar dan dirham sekalipun. Sebelum diciptakannya fulus, orang-orang Arab kuno menggunakan benda-benda seperti kulit pohon, kerang, telur, potongan roti dan semisalnya untuk kepentingan ini. Jika Anda pernah berbelanja ke toko swalayan, lalu saat membayar ternyata kasir tidak menemukan uang kecil sebagai uang kembalian, kemudian Anda diberi permen, nah fulus atau substitusinya itu fungsinya seperti permen itu.
Berdasarkan deskripsi ini bisa difahami bahwa fulus itu dalam sejarahnya tidak pernah diperlakukan seperti mata uang. Dalam bahasa fukaha, fulus itu tidak memiliki aspek jauhariyyatu al-aṡmān (جَوْهَرِيَّةُ الأَثْمَانِ), yakni aspek penaksir/pengukur harga barang. Karenanya, fulus tidak pernah diposisikan seperti mata uang (naqd/’umlah/currency) dan tidak bisa diposisikan seperti uang dengan segala fungsinya seperti alat tukar, alat pengukur nilai, alat penimbun kekayaan dan lain-lain.
Dari sini bisa difahami mengapa para fukaha mengatakan bahwa fulūs bukan komoditi ribawi betapapun ia nantinya populer digunakan dalam masyarakat. Artinya, jika emas, perak, dinar dan dirham sebagai mata uang adalah komoditi ribawi, yakni berpotensi riba saat dipertukarkan, maka fulūṣ bukan komoditi ribawi dan tidak bisa disamakan statusnya dengan dinar dan dirham sebagai mata uang. Status fulus sama seperti komoditi non-ribawi lain seperti baju, sepatu, rumah, tanah, dan lain-lain yang dalam jual beli tidak disyaratkan harus ditransaksikan secara kontan (ḥulūl), langsung serah terima/levering (taqābuḍ), dan setara (mumāṡalah) seperti komoditi-komoditi ribawi. Al-Damīrī berkata,
Artinya,
“Fulūs jika populer seperti uang maka tidak ada riba di dalamnya dalam pendapat yang terkuat” (al-Najmu al-Wahhāj, juz 4 hlm 67)
Ini adalah penjelasan makna asli dari fulūs berdasarkan kitab-kitab sejarah, fikih dan bahasa. Di masa sekarang, orang-orang memakai kata fulūs untuk makna yang lebih luas, yakni uang. Jadi ketika disebut fulus, orang-orang biasa memaknainya sebagai uang. Ini bentuk penggunaan majasi (tajawwuz), yakni jenis iṭlāqul juz’i wa irādatul kulli.
16 Jumādā al-Ākhirah 1443 H/ 19 Januari 2022 jam 17.42