Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Belajar dari kisah nabi Adam, ada dua prinsip penting agar terhindar dari tipuan dan penyesatan.
Pertama, mengutamakan rida Allah daripada kepentingan pribadi
Kedua, Kembali pada yang qaṭ‘ī
Bimbang :
“Makan buah pohon itu apa tidak ya? Jika makan, maka ada argumentasi yang cukup meyakinkan bahwa itu akan membuatku tinggal di sini selamanya. Sudah ada sumpah atas nama Allah juga bahwa informasi tersebut adalah benar. Mustahil di langit ada yang berani berdusta atas nama Allah. Larangan dari Allah hanyalah ujian apakah aku sanggup menemukan rahasia besar ini. Tapi di sisi lain, sebelumnya Allah sudah berpesan jangan makan buah pohon itu”
Keputusan:
Jangan makan! Karena jika makan, maka yang dibela kepentingan pribadi. Jika tidak makan, maka itu mengutamakan rida Allah.
Lagi pula, larangan Allah adalah qaṭ‘ī, sedangkan gagasan Iblis yang menghalalkan makan buah itu takwil yang sifatnya ẓanni. Kembali pada yang qaṭ‘I pasti selamat daripada menuruti yang ẓanni (yang sering didominasi hawa nafsu se-meyakinkan apapun argumennya)
Jadi, keputusan apapun selama berpegang pada dua prinsip ini, maka insya Allah selamat.
Prinsip yang pertama adalah penerapan konsep ikhlas. Karena ikhlas itu bermakna melakukan sesuatu demi membuat Allah rida. Dalam Al-Qur’an, Allah mengabarkan bahwa Iblis sudah menyatakan kelemahannya bahwa dia tidak akan mampu menyesatkan orang ikhlas. Dari sini bisa dipahami, peradaban yang mengagungkan humanisme adalah peradaban yang membuka pintu terbesar untuk masuk jeratan Iblis. Karena humanisme bermakna manusia menjadi pusat seluruh keputusan dan ukuran.
Prinsip yang kedua adalah penerapan perintah dalam Al-Qur’an untuk mengikuti ayat muhkamat, karena hanya orang yang di hatinya ada penyakit dan penyimpangan yang gemar mengulik-ulik ayat mutasyabihat tanpa ilmu sahih yang malah hanya menimbulkan fitnah.
Andai bani israel menerapkan prinsip ini saat hendak disesatkan dan diajak musyrik oleh Samiri, niscaya mereka akan selamat. Patung anak sapi bukanlah kehendak Allah, juga bukan perintahNya. Tapi itu keinginan dan hawa nafsu mereka agar mereka merasa aman dan saat menyembahnya bisa merasakan “kehadiran” tuhan lebih dekat. Jadi mereka mengutamakan keinginan mereka sendiri, bukan keinginan Allah.
Nabi Musa juga jelas menunjuk nabi Harun sebagai pengganti, bukan Samiri. Artinya yang wajib ditaati secara qaṭ‘ī selama nabi Musa belum pulang adalah nabi Harun bukan Samiri. Jadi bani israel tersesat karena memilih yang ẓanni daripada yang qaṭ‘i.
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
تنصل:
هذه الخواطر ليست مقتبسة من كتاب معين وإنما شيء قُذف في قلبي قذفا ثم رأيتها موافقة للأدلة فنشرتها
28 Rajab 1443 H/ 1 Maret 2022 jam 07.24