Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Muslim tidak harus bertasawuf dan bertarekat.
Yang wajib itu menyembah Allah sebaik-baiknya sampai Allah rida, tidak peduli bertasawuf + bertarekat maupun tidak.
Ilmu tasawuf itu sendiri maknanya secara mudah adalah ilmu penyucian jiwa dan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ia semacam “institusionalisasi” pengetahuan tazkiyatun nafsi dan ilmu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam batas tertentu ilmu tasawuf mirip atau bahkan beririsan dengan psikologi. Bedanya, psikologi itu targetnya bahagia di dunia, sedangkan ilmu tasawuf targetnya memburu rida Allah.
Jadi, jika psikologi membahas jiwa manusia, mencoba memahami hakikatnya, karakteristiknya, penanganan jika terjadi disorder dan semisalnya, maka itu semua dimaksudkan untuk menyelesaikan problem psikis manusia, agar bisa move on, bisa melanjutkan kehidupan dan bisa bebas dari tekanan hidup. Biar apa? Biar bisa bahagia semaksimal mungkin di dunia ini.
Beda dengan ilmu tasawuf. Betul di sana dibahas kondisi jiwa, penyakit hati, karakteristiknya, dan bagaimana cara mengobati “disorder”nya, tapi tujuannya adalah untuk menyucikan jiwa, memperbaiki akhlak dan beribadah dengan target supaya Allah rida.
Dari sini bisa difahami buah dan hasil tasawuf itu seharusnya memunculkan akhlak mulia dan istikamah dalam ibadah. Karenanya, kalau ada orang mengklaim bertasawuf dan bertarekat tapi akhlaknya sombong, angkuh, ujub, sok-sokan, meremehkan yang tidak bertasawuf, lalu ibadahnya juga menyedihkan, bahkan perilakunya bertentangan dengan syariat, maka bisa dipastikan ada yang eror. Entah ilmu tasawufnya abal-abal/tasawuf sesat, atau gurunya yang palsu, atau si murid yang mbeling, yang bertarekat hanya untuk gaya-gayaan, atau biar terlihat unggul daripada muslim yang tidak bertarekat.
Adapun tarekat, maka ia semacam “lembaga” teknis untuk menerapkan ilmu tasawuf. Di sana ada “coach”-nya, ada program latihannya ,ada “controlling”nya, ada “evaluating”nya, dan seterusnya. “Coach” ini dipercaya membimbing karena dihusnuzani telah berhasil melatih jiwanya sehingga punya kemampuan lebih baik dalam self-control/pengendalian diri dan konsistensi dalam ibadah.
Jika seperti ini fakta ilmu tasawuf dan tarekat, maka bertasawuf dan bertarekat itu bukan keharusan. Yang wajib adalah menyembah Allah sebaik-baiknya, menyucikan jiwa dengan serius dan mendekatkan diri kepada Allah hingga Allah rida. Orang boleh berupaya melaksanakan kewajiban itu dengan bertasawuf dan bertarekat, boleh juga tidak bertasawuf dan tidak bertarekat. Tidak ada orang yang membombastisasi tarekat kecuali orang yang jahil dengan hakekat tarekat dan fungsinya.
Perumpamaan terkait apakah harus bertasawuf dan bertarekat itu seperti orang yang mau sukses bisnis.
Pilihannya bisa bermacam-macam. Bisa saja ikut kelas bisnis dengan dibimbing coach berpengalaman baik dalam teori maupun praktek dengan pelatihan terprogram, bisa juga hanya sesekali konsultasi pada pakar bisnis saat mengalami kesulitan bisnis yang tidak bisa dipecahkan secara mandiri, bisa juga belajar mandiri dan menggali dari pengalamannya sendiri.
Yang merasa lemah mengubah dirinya dan butuh program khusus dengan bantuan orang lain lalu menemukan orang saleh yang dipercaya, sebaiknya bertasawuf. Yang lebih kuat azamnya dan lebih sanggup cepat konsisten dalam ketaatan, tidak masalah hanya minta fatwa sesekali kepada ulama saleh terkait problem dinnya. Yang sangat kuat azamnya dalam hal ilmu dan amal seperti para mujtahid mutlak pendiri empat mazhab, maka mereka bisa menggali sendiri ilmu penyucian jiwa ini dan langsung mempraktekkannya.
Perumpamaan lainnya:
Apakah seorang muslim diharuskan ikut Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) ?
Tentu saja tidak harus dan tidak wajib. Yang wajib itu berhaji. Pilihannya bisa ikut KBIH, bisa juga konsultasi ke pakar haji secara sporadis. Bisa juga menggali sendiri jika memang ulama.
KBIH itu hanya wasilah untuk melaksanakan ibadah haji. Mempermudah melaksanakan kewajiban dengan ilmu terstruktur, silabus yang jelas dan pembimbing yang sudah kompeten nan berpengalaman. Tidak ada yang membombastiskan peran KBIH selain orang yang jahil hakikat KBIH dan fungsinya. Bisa juga membombastiskan peran KBIH karena memang motif bisnisnya dominan.
Tapi karena tujuan haji adalah mendapatkan rida Allah, maka pastikan silabusnya sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Jadi, kalau ada ajaran yang nyeleneh, tinggalkan saja. Pindah ke KBIH yang lebih kompeten. Demikian pula jika pembimbingnya tidak kompeten. Hanya ngaku-ngaku bisa padahal tidak punya ilmunya , atau ngaku-ngaku punya pengalaman padahal tidak ada reputasi.
Ringkasnya, tidak ada kewajiban bertarekat. Ada banyak bukti hamba-hamba Allah yang berhasil mencapai derajat tinggi di sisi Allah (baik yang kita yakini berdasarkan dalil maupun sekedar husnuzan) tanpa bertarekat dengan makna istilah dalam tasawuf. Jiwa-jiwa kuat seperti Sahabat Nabi ﷺ tidak perlu program khusus untuk melakukan amalan mendekat kepada Allah sebagaimana dalam tarekat. Mereka cukup ngaji dengan Rasulullah ﷺ, lalu diamalkan dengan hebat, maka tercapai sudah tujuan tarekat. Sebagian dari mereka kadang-kadang berkonsultasi kepada Nabi ﷺ tentang kerisauan kondisi imannya (seperti kisah Ḥanẓalah yang merasa munafik, atau permintaan Abu Bakar diajari doa khusus dalam Salat), tapi belum membentuk level kontrol suluk seperti dalam tarekat. Banyak juga di dunia Islam sampai hari ini orang berhasil mencapai level kesalihan yang mengagumkan (dari berbagai organisasi dan afiliasi) meskipun tidak masuk ke dalam tarekat.
Ketika zaman semakin jauh dari Rasulullah ﷺ, jiwa manusia semakin lemah, banyak silau dengan kemewahan duniawi dan terasa sulit melawan arus dalam menempuh jalan kesucian, barulah muncul tarekat. Dalam sejarah, tarekat dengan makna istilah baru muncul sekitar abad ke 4 H. Muncul tarekat-tarekat seperti Ṭaifūriyyah , Al-Saqaṭiyyah , Al-Khazzāriyyah , Al-Nūriyyah, dan Al-Malāmatiyyah . Lalu sangat menjamur di abad ke 6 H dan 7 H dan mulai campur antara tarekat sahih dan batil. Di antara yang terkenal dalam rentang waktu ini: Qādiriyyah, Rifā‘iyyah, Suhrawardiyyah, Syāżiliyyah, Maulāwiyyah, dan Badawiyyah. Di abad 8 H makin gila-gilaan. Tarekat bermunculan di mana-mana bagaikan jamur di musim hujan. Waktu itu Afrika Utara adalah negeri yang paling banyak memproduksi tarekat. Masuknya Islam ke Indonesia juga dalam suasana tarekat. Ayah Hamka mencatat di Indonesia saja ada 41 tarekat yang beliau catat tahun 1908.
Kalau memutuskan bertasawuf, maka ambil ilmu dari orang-orang yang benar-benar dekat dengan Al-Qur’an dan Sunah dan tidak menyimpang dari syariat. Contoh, ambil tasawuf al-Junaid (rekomendasi Nawawi al-Jāwī), atau tasawuf al-Gazzālī dan tasawuf al-Syāżilī (rekomendasi K.H.Hasyim Asy’ari). Kalau tarekat, ini harus jauh lebih hati-hati lagi. Karena tarekat itu ribuan. Kadang ada yang ngaku tasawuf al-Gazzālī, tapi faktanya sinkretisme antara tasawuf al-Gazzālī dengan tasawuf Ibnu ‘Arabī. Kadang ngakunya tasawuf al-Syāżilī, tapi faktanya sinkretisme antara ajaran al-Hikam-nya Ibnu ‘Aṭā’illāh dengan kejawen, dan seterusnya. Hati-hati intinya. Amannya fokuslah ngaji hal-hal qaṭ‘ī dulu dalam agama jika mau ikut tarekat biar tidak terperosok.
20 Sya’ban 1443 H/23 Maret 2022 pukul 19.33