Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Al-Ḥallāj (الحَلاَّجُ) adalah sufi kontroversial yang hidup sebelum masa al-Gazzālī. Ibnu ‘Arabī (ابْنُ عَرَبِيٍّ) juga sufi kontroversial, tapi hidupnya setelah masa Al-Gazzālī. Tasawuf Ibnu ‘Arabī melanjutkan pemikiran al-Ḥallāj dan mengokohkannya dengan filsafat. Hanya saja akhir hayat keduanya berbeda. Al-Ḥallāj meninggal dengan cara dihukum bunuh dan disalib sementara Ibnu ‘Arabī wafat biasa.
Ada tiga pemikiran yang dinisbahkan kepada al-Ḥallāj yang membuatnya divonis kafir zindiq oleh sejumlah ulama di zamannya yaitu,
- Al-ḥulūl (الحلول), yakni konsep penjelmaan Tuhan (lāhūt) pada manusia (nāsūt) laksana bersatunya api dengan besi saat panas-panasnya atau seperti bercampurnya khamr dengan air yang jernih
- Al-ḥaqīqah al-muḥammadiyyah (الحقيقة المحمدية) yakni keyakinan bahwa nur muhammad adalah asal-usul segala kejadian
- Waḥdatul adyān (وحدة الأديان) yakni konsepsi kesatuan agama, bahwa semua agama hanya beda kulit tapi maksudnya sama
Di antara contoh ekspresi paham ḥulūl adalah ucapan al-Ḥallāj yang berbunyi “ana al-ḥaqq” (aku adalah Allah/al-ḥaqq) juga kalimat “wamā fil jubbah illā Allah” (tidak ada di dalam jubah (ku ini) kecuali Allah).
Dua tokoh ini dikatakan kontroversial karena ada ulama yang membelanya bahkan mensifatinya sebagai wali Allah dan ada pula yang mengkritiknya sampai level mengkafirkan dan menzindiq-kan.
Di antara argumentasi terpenting untuk membela al-Ḥallāj adalah penjelasan yang kira-kira maknanya sebagai berikut,
“Secara substantif, ajaran al-Ḥallāj itu tidak masalah. Dia telah mencapai ma’rifatullah level tinggi yang membuatnya sampai tidak sanggup mengungkapkan pengalaman batinnya dengan kata-kata yang tepat sehingga lahirnya seperti mengucapkan kata-kata kufur”.
Al-Gazzāli bisa jadi termasuk yang berhusnuzan dengan al-Ḥallāj dan menggolongkan kata-kata kontroversial yang keluar dari lisannya sebagai syaṭahāt (شطحات), yakni kata-kata kerinduan dan cinta terhadap Allah yang demikian mabuknya sampai-sampai seperti melantur dan seperti tidak sadar hingga mengklaim melihat Allah, berbincang-bincang denganNya dan bahkan bersatu dengan Allah! Kata-kata seperti ini diharapkan untuk dimaafkan karena kondisinya seperti orang hilang akal yang membuat taklif terangkat.
Adapun untuk Ibnu ‘Arabī, di antara argumentasi terpenting untuk membelanya adalah penjelasan yang kira-kira maknanya sebagai berikut,
“Sufi itu punya istilah khusus dalam lingkungannya. Jika dipahami secara lahir pasti dihukumi kufur. Padahal maksudnya bukan seperti makna lahir. Oleh karena itu, jika ada kalimat-kalimat Ibnu ‘Arabī dalam kitab-kitabnya yang lahirnya bertentangan dengan syariah atau seperti kata-kata kufur, maka harus ditakwil dan dipahami sebagai istilah khusus agar tidak salah faham”
Ada pula yang membela Ibnu ‘Arabi dengan argumentasi yang maknanya kira-kira begini,
“Hal-hal yang bertentangan dengan syariah pada karya-karya Ibnu ‘Arabī itu bukan tulisan beliau, tetapi kerjaan orang Yahudi yang ingin merusak reputasi beliau. Seperti kasus al-Sya’rānī. Ada sebagian pendengki yang memasukkan tulisan kekufuran dalam kitab al-Sya’rānī, lalu al-Sya’rānī disidang ulama gara-gara itu. Setelah al-Sya’rānī menunjukkan naskah asli kitab beliau, tahulah semuanya bahwa tulisan kufur itu bukan tulisan beliau”.
(bersambung)
18 Sya’ban 1443 H/21 Maret 2022 pukul 19.52