Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Bagian ini sifatnya pelengkap saja. Argumentasi inti terkait haramnya menyebarkan pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī sudah selesai dalam tulisan bagian kedua. Bagian ini saya sajikan dalam bentuk tanya jawab, yakni untuk menuntaskan pertanyaan yang barangkali muncul setelah membaca dua catatan sebelumnya.
TANYA:
“Jika mengucapkan kata-kata kekufuran seperti yang keluar dari lisan al-Ḥallāj itu sudah layak dihukum bunuh dalam pendapat al-Gazzālī, lalu mengapa Ibnu ‘Arabī yang melanjutkan pemikiran al-Ḥallāj tidak diperlakukan sama, yakni dihukum bunuh?”
Dengan kata lain,
“Jika berdasarkan pandangan ulama yang mengkafirkan maupun yang membela semuanya sepakat bahwa al-Ḥallāj harus dihukum bunuh karena pernyataannya bisa menimbulkan fitnah besar di kalangan awam, lalu mengapa Ibnu ‘Arabī tidak dihukum bunuh?
JAWAB:
Saya tidak berani menegaskan penyebab Ibnu ‘Arabī tidak dihukum bunuh. Perlu penelitian lebih ekstensif. Yang jelas upaya membunuh beliau secara “swasta” di Mesir pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah. Di antara hipotesis mengapa Ibnu ‘Arabī tidak dihukum bunuh adalah karena kelemahan negara. Di zaman al-Ḥallāj, Daulah ‘Abbāsiyyah masih lumayan kuat. Tapi di zaman Ibnu ‘Arabī sudah mencapai puncak kelemahannya, sehingga lemah untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Kita tahu tentara Mongol menghancurkan Abbāsiyyah tahun 656 H, yakni 18 tahun setelah wafatnya Ibnu ‘Arabī. Artinya di zaman Ibnu ‘Arabi hidup, Abbāsiyyah sebenarnya sudah sekarat.
TANYA:
“Jika saya mengikuti pendapat ulama yang membela al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī dan meyakini kewaliannya, apa itu tidak cukup sebagai uzur untuk menghormati mereka dan yang semisal dengan mereka sehingga seharusnya tidak sampai perlu dihukum sekeras itu?”
JAWAB:
Pihak yang membela al-Ḥallāj Ibnu ‘Arabī sekalipun seharusnya setuju hukuman mati untuknya. Sebab ini termasuk penegakan syariat. Bagian penegakan millah. Bukan persoalan penghormatan terhadap din seseorang. Jika ada orang mencuri, maka wajib ditegakkan syariat dengan memotong tangannya, karena ini bagian dari menjaga millah. Beda jika orang meyakini jenggot itu wajib, atau qunut subuh itu bid’ah. Itu adalah din masing-masing orang. Prinsip umum din adalah dihormati, karena tiap orang akan mentarjih dan mendapatkan hidayah sesuai yang diberikan Allah padanya.
Tidak boleh dengan alasan meyakini kewaliannya lalu ketika seseorang melakukan pelanggaran syariat kemudian dia dibebaskan. Bisa rusak tatanan dunia jika itu yang dijadikan prinsip. Rasulullah ﷺ sudah mengajarkan, seandainya Fatimah putri Rasulullah ﷺ mencuri sekalipun, maka beliau akan memotong tangannya. Maknanya, andaikanpun orang dengan kedudukan tinggi selevel Abu Bakar membunuh anak kecil tanpa haqq misalnya, maka dalam syariat nabi Muhammad ﷺ beliau tetap wajib diqisas lalu urusannya diserahkan kepada Allah. Tidak boleh dibebaskan dengan alasan pembunuhan itu atas dasar perintah Allah sebagaimana Allah memerintahkan nabi Khidir membunuh anak kecil karena diketahui saat dewasa dia akan jadi kafir. Seandainya ada wanita zaman sekarang hamil padahal suaminya kerja jadi TKI di luar negeri misalnya, maka hukum syariat adalah dirajam. Tidak diterima klaimnya bahwa dia hamil tanpa lelaki sebagaimana Maryam hamil tanpa suami kemudian dia dilepaskan dari hukuman tersebut.
Ringkasnya, hukuman mati secara normatif tetap wajib ditegakkan pada orang-orang yang layak mendapatkan sanksi mati. Tidak boleh segala pelanggaran syariat ditoleransi dan dimaafkan dengan alasan “telah mencapai level kewalian super tinggi”, atau “telah mendapatkan ilmu langsung dari langit sebagaimana nabi khidir” dan kalimat-kalimat batil semisal.
TANYA:
“Jika haram mempelajari dan menyebarkan pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī, apa hikmahnya karya dan pemikiran mereka masih terjaga di dunia Islam?”
JAWAB:
Hikmah sesungguhnya tentu hanya Allah yang tahu. Tetapi dengan sudut pandang taklif dan syariat, termasuk memungkinkan dikatakan begini: Mereka berdua dibiarkan Allah ada di dunia Islam untuk menjadi ujian bagi umat, apakah bisa mengikuti petunjuk yang muhkamāt/qaṭ‘iyyāt ataukah malah gemar masuk hal-hal samar/mutasyabihāt. Seakan-akan Allah berpesan: “Kubiarkan hambaKU ini di tengah-tengah kalian supaya diketahui, siapa yang benar-benar mencari petunjuk dan keselamatan dan siapa yang senang dengan selain itu. Tidakkah kalian berpikir? Jika Aku memberi nikmat ajaran yang jelas dan memberikan efek yakin, mengapa malah penasaran dan mengikuti dunia samar yang tidak memberi manfaat untuk kalian dalam kehidupan setelah mati?”
Yang merasa mampu, merasa termasuk golongan rāsikhūna fil ‘ilmi dan tertarik mengkaji pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabi (saya sendiri tidak percaya hari ini ada orang yang mencapai pengetahuan yang disyaratkan Ibnu ‘Ḥajar al-Haitamī untuk mengkaji buku-buku Ibnu ‘Arabī) silakan dinikmati sendiri. Tapi jangan ajak-ajak orang lain. Jadi, seandainya ajaran itu menggiring ke neraka, maka cukup Anda yang celaka. Tapi seandainya tetap selamat, maka kaum muslimin yang lain juga tidak rugi karena sudah mendapatkan petunjuk jelas yang mengantarkan ke surga sesuai syariat.
Patut dicatat, kisah hidup al-Ḥallāj itu sangat menarik perhatian Louis Massignon, seorang orientalis. Antusiasnya mengangkat kisah hidupnya dan kekagumannya terhadap sosok ini mengingatkannya kepada Yesus Kristus. Dia mengarang buku yang mensifati al-Ḥallāj sebagai seorang “syahid” berjudul “La passion d’Al Hosayn-ibn-Mansour al-Hallaj, Martyr Mystique de l’Islam, Exécuté à Bagdad le 26 Mars 922”. Silakan dinilai sendiri apa maknanya jika ada sebuah paham di dunia Islam justru ikut “didakwahkan” oleh orientalis seraya menghina nabi Muhammad ﷺ yang dipandang kualitasnya lebih rendah daripada al-Ḥallāj!
TANYA:
“Apakah Muafa tidak tertarik mengkaji dan mendalami pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī?”
JAWAB:
Saya malah khawatir didamprat Allah di hari penghisaban karena menyia-nyiakan amanah umur jika menghabiskan waktu dengan pemikiran tipe demikian. Mari saya sajikan sedikit ilustrasi.
Al-Qur’an saja ada 6000 ayat lebih. Jika setiap hari mengkaji satu ayat saja, misalnya memakai tafsir al-Qurṭubī, maka saya perlu sekitar 16 tahun untuk menuntaskan seluruh Al-Qur’an! Apalagi jika satu ayat dikaji memakai 5 kitab tafsir, bisa jadi total saya perlu sampai 25 tahun!
Ini belum mengkaji hadis. Saḥīh al Bukhari saja mengandung 7000-an hadis yang idealnya juga menuntut untuk dikaji karena menjadi penjelas Al-Qur’an. Seandainya hanya mengkaji tiap hari satu hadis memakai Fathu al-Bārī saja, maka saya perlu sekitar 20 tahun! Al-Qur’an dan Sahih bukhari saja sudah memakan 45 tahun dari umur saya! Padahal ini (Al-Qur’an dan Hadis) baru petunjuk yang jelas-jelas dan terbukti maksum. Apalagi jika mencoba menelaah memakai puluhan syarah yang lain.
Masih ada lagi Sahih Muslim yang mengandung sekitar 6000-an hadis. Itu belum bicara hadis dalam Sunan al-Nasā’ī, Sunan Abū Dāwud, Sunan al-Tirmiżī, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad (yang hadisnya 20.000 lebih!), Muwaṭṭa’ Mālik, Sunan al-Dārimī, Sunan al-Dāraquṭnī, Sāhih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Hibbān, Mustadrak al-Hakim dan ratusan kitab hadis lainnya.
Bisa dibayangkankah betapa jahilnya saya jika mengalihkan perhatian pada hal-hal samar sementara Allah memberikan di depan mata hal-hal yang jelas? Waktu terlalu sempit, sementara banyak fardu ain yang belum kita tunaikan baik dalam hal ilmu maupun amal.
Saya tidak yakin diberi Allah umur 100 tahun pun bisa menuntaskannya dengan sempurna sesuai dengan tingkat yang dikehendakiNya. Jika mempelajari jenis ilmu yang muḥkamāt, qaṭ’ī dan fardu ‘ain saja saya tidak yakin bisa tuntas ideal dengan umur yang diberikan Allah, bagaimana mungkin saya menyia-nyiakan umur dengan mempelajari sesuatu yang samar, mustasyābihat, yang mungkin tercampur syubhat dan kekufuran (dengan asumsi berhusnuzan bahwa ada Yahudi yang menyisipkan pemikiran kufur pada karya Ibnu ‘Arabi seperti pendapat Ibnu Kamāl Bāsyā misalnya)? Apa tidak kuatir itu talbis Iblis ? Menyia-nyiakan amanah waktu yang diberikan Allah untuk mengikuti yang samar seraya meninggalkan yang jelas bagi saya jelas keputusan yang salah. Dalam Al-Qur’an orang yang gemar mengikuti yang samar seraya meninggalkan yang jelas adalah tanda di hatinya ada penyakit. Tentu saja saya berharap terhindar masuk dalam golongan orang-orang seperti itu.
(Selesai)
21 Sya’ban 1443 H/24 Maret 2022 pukul 17.10