Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ringkasnya begini;
“Pertama-tama citra tasawuf dirusak oleh al-Ḥallāj, kemudian dibersihkan susah payah oleh al-Gazzālī, kemudian dihancurkan lagi oleh tasawuf Ibnu ‘Arabī”
Uraian:
Salah satu dimensi terpenting ajaran Nabi ﷺ adalah pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Lama-lama ajaran itu terbentuk menjadi ilmu terstruktur. Yakni ketika sudah sering didiskusikan, dikaji, dan disistematisasi. Lahirlah istilah ilmu tasawuf. Faktor yang mendorong munculnya ilmu jenis ini adalah mulai munculnya kemewahan sesudah zaman Nabi ﷺ dan sahabat. Munculnya mirip ilmu fikih. Jika ilmu tasawuf muncul sebagai akibat problem keringnya hati dan jauhnya dari cara hidup spiritual Nabi ﷺ akibat kemewahan dan terbukanya dunia, maka ilmu fikih muncul akibat banyak problem yang tidak ada di zaman Nabi ﷺ dan Sahabat yang butuh dipecahkan aspek hukumnya.
Tapi tasawuf generasi awal masih bagus-bagus. Keterikatannya terhadap Al-Qur’an Sunah sangat kuat. Tujuannya benar-benar taqarrub ilalāh dan membersihkan jiwa. Semangatnya ingin niru persis kehidupan rohani Rasulullah ﷺ. Malah ahli fikih pada umumnya juga praktisi tasawuf, meski mereka tidak menyebut itu tasawuf. Muncul sufi-sufi bersih di zaman itu seperti al-Junaid, al-Ḥāriṡ al-Muḥāsibī, Abū Sulaimān Al-Dārānī, Ma‘rūf Al-Karkhī, Al-Fuḍail bin ‘Īyāḍ dan yang semisal dengan mereka.
Lalu muncul al-Ḥallāj di abad ke 4 H. Paham tasawufnya mulai mengenalkan pemikiran yang tidak pernah dimunculkan pemerhati tasawuf sebelumnya. Ada ajaran ḥulūl (menitisnya Tuhan dalam manusia), ḥaqīqah muḥammadiyyah (segala sesuatu berasal dari nur muhammad) dan waḥdatul adyān (semua agama sama, hanya beda kulit). Ahli fikih direndahkan karena dianggap ahli kulit, bukan isi. Mereka dijuluki ahlurrusūm dan ahluẓẓawāhir. Para ulama bereaksi keras. Al-Ḥallāj divonis kafir dan murtad. Tahun 309 H dia disalib dan dihukum mati. Citra tasawuf demikian buruk sejak zaman al-Ḥallāj ini.
Lalu bangkitlah al-Gazzālī di abad ke 5 H.
Beliau bersihkan tasawuf dari noda kotor yang ditimbulkan al-Ḥallāj. Beliau sampaikan kepada dunia, “Tasawuf itu tidak sehina yang kalian bayangkan. Tasawuf itu hakikatnya ilmu mulia, bahkan ia adalah esensi ajaran Nabi Muhammad ﷺ jika pengembannya orang yang mengerti fikih dan menguasai syariat.” Beliau karanglah kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn untuk mengawinkan fikih dengan tasawuf. Beliau tunjukkan kebenaran tasawuf dan kesalahan sufi di masa sebelum beliau.
Sambutan dunia Islam terhadap Iḥyā’ ‘Ulūmiddin luar biasa (tentu saja, sebagai karya manusia biasa, wajar jika tetap ada beberapa celah kelemahan, sehingga ada yang mengkritiknya). Mereka percaya konsepsi al-Gazzālī, karena beliau dikenal sebagai ahli fikih dan ahli syariat. Beliau adalah peneliti mazhab al-Syāfi‘ī, bahkan berperan besar dalam taḥrīr mazhab al-Syāfi‘ī. Di zaman Ṣalāḥuddin al-Ayyūbī kitab ini menjadi buku panduan wajib pembinaan para tentara. Hasilnya, muncul tentara sufi yang lebih cinta mati daripada hidup. Akibatnya pasukan salib takluk kepada mereka. Baitul Maqdis pun dikuasai kaum muslimin kembali.
Citra tasawuf jadi bersinar kembali.
Tasawuf yang terikat Al-Qur’an dan Sunah, yang dikontrol oleh fikih, dan berusaha sedekat mungkin dengan petunjuk Nabi ﷺ.
Setelah al-Gazzālī wafat, muncul Ibnu ‘Arabī yang hidup di abad 6-7 H.
Tasawufnya menghidupkan kembali paham al-Ḥallāj. Bedanya, Ibnu ‘Arabī mengukuhkannya dengan filsafat. Karena filsafat biasanya dianggap “mainan” orang jenius (atau sangat cerdas minimal), paham yang sangat kontroversial itu jadi memiliki “aura wibawa”. Jadi tasawufnya digolongkan tasawuf falsafi. Di masa ini kembali fikih diremehkan. Filsafat ditonjolkan. Usaha al-Gazzāli mempertemukan tasawuf dengan fikih dirusak lagi oleh tasawuf Ibnu ‘Arabi. Jadi kedatangan tasawuf Ibnu “Arabī memang “untuk” menghancurkan tasawuf al-Gazzālī. Ibnu ‘Arabī dikenal mencaci al-Junaid dan mengagung-agungkan al-Ḥallāj. Sebuah sikap yang dikecam oleh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī dan di antara penyebab mengapa Ibnu Ḥajar tegas mengatakan Ibnu’Arabī dalam kesesatan.
Di masa selanjutnya, tasawuf Ibnu ‘Arabī dilanjutkan tokoh-tokoh seperti Ibnu al-Fāriḍ (ابن الفارض), Ibnu Sab‘īn (ابن سبعين), Jalāluddīn al-Rūmī (جلال الدين الرومي), ‘Abdul Karīm al-Jīlī (عبد الكريم الجيلي) dan lain-lain dengan berbagai pengembangan dan tambahan-tambahan. Sampai kemudian muncul tokoh-tokoh di Indonesia yang juga melanjutkan paham Ibnu ‘Arabī semisal Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani hingga Siti Jenar.
Bahkan ajaran Ibnu ‘Arabī juga menginspirasi penciptaaan agama baru, yakni agama sinkretis yang berusaha memadukan Islam, Hindu dan Kristen bernama din ilāhī (دين إلهي). Pencipta agama baru ini adalah Akbar Khan, salah satu kaisar Mughal. Malahan, paham Ibnu ‘Arabī ini juga menginspirasi orang di luar Islam untuk menciptakan agama juga. Misalnya Blavatsky dan Annie Besant yang mendirikan gerakan Teosofi mengikuti tasawuf Ibnu ‘Arabī.
Ketika yang menerima paham ini orang jawa, maka disiknretiskanlah antara paham Ibnu ‘Arabī itu dengan kejawen. Muncullah Serat Wirid Hidayat Jati karangan Ranggawarsita. Muncul juga kelompok PANGESTU dan WARGO UTOMO. Semuanya adalah paham sinkretis.
Sekarang Anda semua bisa mengerti, ternyata cukup banyak yang pangkalnya di tasawuf Ibnu ‘Arabī.
23 Sya’ban 1443 H/26 Maret 2022 pukul 18.42