Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika seperti ini gambaran singkat perkembangan tasawuf, berarti ilmu tasawuf itu bermacam-macam. Tidak satu warna. Bisa jadi semuanya mengklaim memiliki tujuan sama, yakni menuju Allah, tapi ajaran, konsepsi, pemikiran, pendekatan dan metode yang digunakan ternyata berbeda-beda.
Oleh karena itu, jika berminat untuk masuk tasawuf, jangan sembarangan memilih jenis tasawufnya. Agar tidak salah jalan. Agar tidak bingung. Agar tidak disesatkan.
Rekomendasi tasawuf al-Junaid (seperti saran Nawawi al-Bantani al Jawi) atau tasawuf al-Gazzālī dan al-Syāżilī (seperti saran K.H.Hasyim Asy’ari) bisa diikuti. Jangan mencampurnya dengan tasawuf al-Ḥallāj atau tasawuf Ibnu ‘Arabī. Mencampur tasawuf al-Gazzālī dengan tasawuf Ibnu ‘Arabī itu upaya meramu sesuatu yang kontradiktif. Seperti ingin mencampur minyak dengan air.
Memilih tasawuf al-Junaid atau tasawuf al-Gazzālī adalah jenis tarjih yang cermat dan berhati-hati. Memberi kesan paham betul sejarah perkembangan tasawuf dan pemikirannya, lalu merekomendasikan tasawuf untuk kaum muslimin yang lebih dekat dengan konsepsi ahlussunnah wal jamaah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kacau dan rusaknya din awam jika sampai yang dipilih adalah tasawuf Ibnu ‘Arabī, atau tasawuf al-Ḥallāj atau tidak merekomendasikan dan membiarkan kaum mulimin memilih sesukanya atau bahkan meramu (mensinkretisasikan) secara mandiri semua paham tasawuf itu!
Tasawuf al-Junaid adalah tasawuf yang bersih. Konsisten dengan Al-Qur’an dan Sunah. Berusaha sedekat mungkin dengan petunjuk Nabi ﷺ. Beliau dipuji kawan maupun lawan. Jangankan pecinta tasawuf, pengkritik tasawuf yang cukup tajam seperti Ibnu Taimiyyah saja memuji al-Junaid sebagai imam huda/petunjuk, orang yang paling konsisten dengan amar makruf nahi mungkar serta penghulu kelompok sufi (سَيِّدُ الطَّائِفَةِ).
Demikian pula tasawuf al-Gazzāli. Konsepsi tasawuf yang dibawa beliau adalah tasawuf yang dikontrol oleh fikih. Ini adalah sebaik-baik tasawuf. Sebab fikih itu sangat berhati-hati menisbahkan sesuatu sebagai kehendak Allah. Yang benar-benar qaṭ‘ī berani dinisbahkan kepada Allah, sementara yang hanya dugaan kuat hanya disebut ijtihad atau ra’yu. Rida Rasulullah ﷺ terhadap ijtihad meski salah dengan menjanjikan pahala menunjukkan itu cara terbaik untuk mengontrol mana yang sesuai dengan kehendak Allah atau minimal diduga kuat kehendak Allah dan mana yang berasal dari setan.
Lihat juga sejarah keilmuan al-Syāfi‘ī. Beliau menguasai ilmu kalam, tafsir Al-Qur’an, ilmu nasab, ilmu bahasa, ilmu fikih, ilmu usul fikih, dan lain-lain tapi yang beliau putuskan ditulis adalah fikih dan usul fikih. Ini menunjukkan beliau paham betul ilmu mana yang paling bermanfaat bagi umat. Beliau mengerti skala prioritas penyebaran ilmu yang harus didahulukan. Pilihan beliau sungguh bijaksana dan terbukti manfaatnya hingga sekarang, karena paling berperan menjaga syariat dan paling berperan menjaga para awam. Oleh karena itu, wajar jika imam Ahmad sampai mendoakan al-Syāfi‘ī setiap hari karena merasakan betul jasa besar yang ditinggalkan beliau untuk umat.
Karena besarnya peran fukaha menjaga din, menjaga syariat, menjaga hukum dan menjaga tatanan masyarakat, maka siapapun yang ingin merusak umat Islam dan menghancurkan bangunan akidahnya pasti mengawali dengan serangan terhadap ahli fikih. Mereka digambarkan ahli zahir, ahli kulit, tidak ngerti hakikat, bahkan calon pengikut Dajjal! Jadi, cara orang awam mengecek paham sesat di tengah-tengah umat itu sederhana saja; Lihat apakah menghina, merendahkan, “mendesakralisasi” dan meremehkan ahli fikih/fukaha ataukah tidak. Siapapun yang merendahkan ahli fikih dengan bahasa apapun, entah halus maupun kasar maka itu adalah paham menyimpang yang harus diwaspadai.
Patut dicatat, tentu saja al-Junaid maupun al-Gazzāli bukan hamba Allah yang maksum. Jadi, jika beliau berdua dipandang melakukan kesalahan berdasarkan ijtihad sahih dalam satu dua hal, maka itu sangat dimaklumi dan kita juga tidak wajib ikut. Boleh mengkritik dengan santun berdasarkan ilmu, selama semangatnya adalah untuk menjaga dinullah dan ikhlas karena Allah.
Jadi bertasawuf dengan tasawuf al-Gazzālī dan al-Junaid tidak bermakna taklid buta kepada beliau berdua. Tapi jenis kepercayaan dalam mengambil ilmu pembersihan jiwa seraya tetap mempertahankan sifat kritis karena Allah.
(bersambung)
24 Sya’ban 1443 H/27 Maret 2022 pukul 19.21