Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Bagaimana dengan tasawuf dalam kitab al-Ḥikam karya Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī?
Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī mengikuti tarekat Syāżiliyyah. Tarekat ini didirikan oleh Abū al-Ḥasan al-Syāżilī (أبو الحسن الشاذلي) yang hidup setelah masa al-Gazzālī.
Pernyataan al-Syāżilī menunjukkan tarekatnya mewajibkan diri konsisten dengan Al-Qur’an dan Sunah. Malahan beliau sampai berpesan kalau ada kasyaf yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, maka buang kasyafmu. Karena yang dijamin maksum hanya dua sumber itu, sementara kasyafmu tidak dijamin benar. Al-Syāżilī berkata,
«”اذا عارض كشفك الكتاب والسنة فتمسك بهما ودع كشفك، فان الله قد ضمن فيهما العصمة ولم يضمنها في الكشف”». [«تاريخ الجزائر في القديم والحديث» (2/ 349)]
Artinya,
“Jika kasyafmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, maka peganglah Al-Qur’an dan sunah dan buang kasyafmu. Sebab Allah menjamin kemaksuman Al-Qur’an dan Sunah tapi tidak menjamin kemaksuman kasyafmu”.
Di tempat lain al-Syāżilī merekomendasikan untuk belajar kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn karya al-Gazzālī dan Qūtu al-Qulūb karya Abū Ṭālib al-Makkī. Al-Syāżilī berkata,
«كتاب الأحياء يورثك العلم، وكتاب قوت القلوب يورثك النور». [«عدة المريد الصادق» (ص180)]
Artinya,
“Kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn memberimu konsep ilmu. Kitab Qūtu al-Qulūb memberimu cahaya”
Dengan demikian tasawuf Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī pada hakikatnya mengikuti tasawuf al-Gazzālī juga yang berusaha komitmen dengan Al-Qur’an dan Sunah. Karena itulah K.H. Hasyim Asy’ari juga merekomendasikan tasawuf Abū al-Ḥasan al-Syāżilī disamping tasawuf al-Gazzālī.
Tidak masalah mengikuti tasawuf tersebut, tapi dengan catatan tidak memaksumkannya. Artinya tidak perlu kaget jika ditemukan satu dua hal yang musykil atau ditemukan ada ulama lain yang mengkritik sebagian ajarannya atau bahkan mengkritiknya dengan keras. Jika itu yang terjadi, maka pengikut tasawuf beliau wajib mentarjih dengan semangat ketakwaan. Sebab tidak mungkin seorang manusia biasa (yang tidak maksum), 100% ajarannya benar, sebagaimana tidak mungkin semua kritikan juga benar. Jadi, dalam kondisi ini, semangat kritis wajib dipelihara dalam semangat ketakwaan dan keikhlasan.
Sekali lagi, jangan bertasawuf dengan tasawuf al-Ḥallāj atau Ibnu ‘Arabī atau semua tokoh yang melanjutkan pahamnya seperti Ibnu al-Fāriḍ, Ibnu Sab‘īn, Jalāluddīn al-Rūmī, ‘Abdul Karīm al-Jīlī, Hamzah Fansuri, Samsuddin Sumatrani, Siti Jenar dan semisalnya.
Pembela Ibnu ‘Arabī seperti al-Suyūṭī saja mengharamkan mempelajari kitab-kitab Ibnu ‘Arabī, apalagi pengkritiknya. Tentu lebih keras lagi mengharamkannya. Ulama yang meyakini kewalian Ibnu ‘Arabī saja seperti Ibnu ‘Ḥajar al-Haitamī juga sudah mewanti-wanti agar tidak dekat-dekat dengan buku-buku Ibnu ‘Arabī karena bisa mengantarkan pada kemusyrikan bahkan syirik akbar!
Sebagian orang zaman sekarang itu sungguh aneh. Memahami hukum waris, hukum haid-istihaḍah dan hukum talak saja banyak yang kelimpungan, lalu mau gaya-gayaan belajar pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī. Bagaimana bisa punya harapan selamat di akhirat jika kadar dirinya saja tidak menyadari?
Pertanyaan terakhir, “Lalu khazanah pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī dipakai untuk apa?”
Hamba Allah yang dianugerahi kejeniusan dan kecerdasan tinggi dengan disertai penguasaan yang baik terhadap syariat akan memerlukannya untuk dikaji, agar bisa ditunjukkan kepada para awam aspek-aspek kontradiktif dengan syariat dalam pemikiran keduanya dan potensi bahayanya, sehingga lebih bisa memahami mengapa haram menyebarkan pemikiran keduanya jika tujuannya untuk diyakini dan diamalkan.
Selain tujuan di atas, nampaknya pemikiran keduanya hanya bermanfaat untuk kepentingan duniawi. Misalnya dipakai menjadi tema paper orang yang mengejar jurnal, demi kenaikan pangkat atau memburu pengakuan kapasitas intelektual dan penghormatan seperti yang biasa berlaku di dunia Barat. Tradisi penelitian di Barat memang murni orang mencari dunia. Menulis paper untuk mengejar respect, pengakuan, penghormatan, tunjangan, kenaikan pangkat, gelar, jaminan hari tua dan semua hal duniawi semakna.
Adapun hamba yang takut akan Rabbnya, yang kuatir nasibnya di akhirat kelak, fokuslah pada ilmu yang jelas, muḥkamāt, dan qaṭ‘ī. Tidak usah masuk pembahasan yang samar-samar, membuat bingung, membuat ragu atau malah menggiring kepada syirik akbar. (selesai)
25 Sya’ban 1443 H/28 Maret 2022 pukul 18.30