Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Al-Junaid adalah ulama saleh yang menonjol dalam ilmu pembersihan jiwa. Beliau berguru pada al-Ḥāriṡ al-Muḥāsibī, ulama tasawuf yang saleh juga. Al-Żahabī menggambarkan al-Junaid sebagai ulama yang menyempurnakan ilmu syariat dan ahli fatwa, tapi memutuskan untuk fokus pada pembersihan jiwa dan dikenal mengucapkan kata-kata hikmah. Beliau sangat menjaga kehormatan dan sangat zuhud. Beliau terkenal teguh berpegang pada Al-Qur’an dan Sunah sehingga tasawufnya direkomendasikan oleh Nawawī al-Jāwī untuk diikuti.
Nah, al-Junaid ini hidup semasa dengan al-Ḥallāj. Malahan al-Ḥallāj juga sempat berguru kepada al-Junaid.
Tapi nampaknya al-Junaid dengan mata batin dan baṣirah yang tajam terlihat sudah mengetahui niat yang tidak baik pada hati al-Ḥallāj sehingga berfirasat bahwa al-Ḥallāj akan mati disalib.
Bagaimana kisahnya?
Suatu hari al-Ḥallāj masuk dalam majelis al-Junaid. Setelah beberapa saat, al-Junaid mempersilakan al-Ḥallāj untuk bertanya apapun yang terkait ilmu pembersihan jiwa.
Tapi al-Ḥallāj malah bertanya topik yang mengarah pada filsafat tentang hakekat tuhan yang jauh dari kesederhanaan. Dia bertanya,
مَا الَّذِي بَايَنَ الخَلِيْفَة عَنْ رُسُوم الطَّبْع
Al-Junaid segera sadar bahwa ada masalah dengan pemuda ini. Maka beliau lekas menasihati dengan kalimat yang kira-kira maknanya,
“Kata-katamu itu tidak bermutu, tidak ada maknanya dan tidak ada urgensinya”
Yakni kata-kata yang dalam kitab Iḥyā’ ulūmiddin diterangkan tergolong fuḍūlul kalām. Tasawuf bersih yang berbasis Al-Qur’an dan Sunah akan menghindari omongan yang tergolong fuḍūlul kalām seperti ini. Karena itu bagian akhlak tercela yang dalam hadis Nabi ﷺ disebut sebagai ṡarṡarah (الثرثرة), tafaihuq (التفيهق) dan tasyadduq (التشدق).
Lalu segera setelah itu al-Junaid melihat ada penyakit di hati al-Ḥallāj, yakni pingin unggul dan terkenal di tengah-tengah kaumnya. Al-Junaid pun menasihatinya,
“Kenapa engkau tidak bertanya tentang apa yang ada dalam hatimu terkait keinginan safar dan keinginan unggul di tengah-tengah kaummu?”
Lalu al-Junaid mulai menasihati dan al-Ḥallāj selalu menyanggah hingga akhirnya al-Junaid berkata,
أَيّ خَشَبَةٍ تُفْسِدُهَا
Artinya,
“Kayu apa yang akan kau rusak?”
Al-Żahabī menerangkan, bahwa makna kalimat al-Junaid tersebut adalah al-Ḥallāj nanti akan mati disalib.
Ternyata benarlah itu yang terjadi. Al-Ḥallāj meninggal dalam keadaan tersalib pada kayu.
Seakan-akan Allah saat itu memberi ilham kuat agar al-Junaid berkata demikian yang merupakan cerminan keputusan Allah di masa yang akan datang akibat besarnya dosa yang diucapkan oleh Al-Ḥallāj.
Tentu saja konteks cerita menunjukkan ramalan tersalibnya al-Ḥallāj bukan dalam suasana heroik sebagai orang mati syahid nan terzalimi, tetapi mati tersalib akibat dosanya berbicara kata-kata kufur sehingga membuat terkena azab agar menjadi pelajaran bagi hamba Allah yang lain.
CATATAN:
Kisah firasat al-Junaid bahwa al-Ḥallāj akan disalib di atas tercantum dalam kitab Siyaru A‘lām al-Nubāla’, juz 14 hlm 317 cetakan Mu’assasah al-Risālah tahkik Syu’aib al-Arna’ūṭ dkk
6 Ramadan 1443 H/8 April pukul 10.06