Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Yang dimaksud al-Junaid di sini adalah al-Junaid al-Bagdādī (الجُنَيْدُ البَغْدَادِيُّ), yakni seorang ulama saleh dan sufi bersih yang terkenal dengan julukan Sayyidu al-Ṭā’ifah (pemimpin para sufi).
Tasawufnya bersih yang terikat kuat dengan Al-Qur’an dan Sunah. Pengkritik tajam sejumlah varian tasawuf seperti Ibnu Taimiyah pun memuji beliau sebagai imam huda dan orang yang paling konsisten melakukan amar makruf nahi mungkar. Karena bersihnya tasawuf beliau, maka ulama besar kita yang berasal dari Banten, yakni Nawawī al-Jāwī merekomendasikan tasawufnya untuk diikuti.
Nah, yang mengejutkan, disamping al-Junaid mengetahui penyakit hati al-Ḥallāj, sempat menasihatinya lalu meramalkan bahwa al-Ḥallāj akan mati disalib karena kata-kata kufurnya, ternyata belau juga tegas mengkafirkan al-Ḥallāj! Data ini bisa kita temukan dalam kitab Mugnī al-Muḥtāj karya al-Syirbīnī. Beliau menulis,
«وَأَفْتَى بِكُفْرِهِ بِذَلِكَ الْقَاضِي أَبُو عَمْرٍو وَالْجُنَيْدُ وَفُقَهَاءُ عَصْرِهِ». [«مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج» (5/ 428)]
Artinya,
“Ulama yang memfatwakan kekafirannya (al-Ḥallāj) adalah al-Qāḍī Abū ‘Amr, al-Junaid dan para fukaha yang semasa dengannya” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 428)
Nah, jika panutan sufi yang saleh dan berpegang teguh dengan syariat seperti al-Junaid telah mengkafirkan al-Ḥallāj, bukankah sikap yang aneh dan tidak masuk akal jika orang ingin menggabung antara tasawuf al-Junaid dengan tasawuf al-Ḥallāj? Apakah ingin menggabungkan antara keimanan dan kekafiran?
Sungguh aneh, tidak masuk akal dan kontradiktif sikap seperti itu.
Untuk sementara saya berhipotesis sikap janggal ini muncul karena kurangnya informasi valid yang diterima, atau ada problem dalam menyaring informasi terkait tokoh, atau bingung dengan informasi yang simpang siur, atau bahkan termakan propaganda sebagian orientalis.
Maksudnya begini,
Orang yang bertasawuf dengan tasawuf al-Junaid atau al-Gazzāli atau al-Syāżilī atau Ibnu ‘Atā’illah al-Iskandarī, lalu pada saat yang sama hendak mengambil tasawuf al-Ḥallāj atau tasawuf Ibnu ‘Arabī, saya berhusnuzan sikap ini muncul karena informasi yang kurang berimbang. Mungkin yang sering didapatkan adalah informasi yang mengglorifikasi kehidupan al-Ḥallāj, mengopinikannya sebagai martir (al-Syahīd), pihak yang dizalimi, kaum tertindas, orang yang dibungkam menyuarakan kebenaran atau isu-isu semisal.
Info glorifikasi al-Ḥallāj ini juga diterima tanpa dipedulikan aspek validitasnya. Misalnya kisah “heroik” al-Ḥallāj di mana saat dipenggal darahnya menetes dan menulis lafal Allah..Allah..di bumi, atau kisah bagaimana kepala al-Ḥallāj saat terpenggal masih bisa berbicara atau berzikir selama sejam atau dua jam. Semua informasi model demikian langsung ditelan bulat-bulat, dianggap kebenaran mutlak dan fakta sejarah tanpa mau memvalidasi dan meneliti ulang kebenaran kisah tersebut. Akibatnya bercampurlah antara mitos dengan fakta sejarah sebagaimana di negeri kita sejarah wali songo bercampur antara fakta sejarah dengan mitos.
Informasi glorifikasi al-Ḥallāj ini lebih dominan daripada informasi yang memberitakan cacat pribadinya. Akibatnya berita pemuliaan terhadap al-Ḥallāj dianggap kebenaran sementara yang mengkritik dipandang fitnah.
Kemungkinan yang lain adalah mendapatkan berita yang berimbang antara yang memuji al-Ḥallāj dengan yang mencelanya, akan tetapi tidak punya metodologi yang jelas untuk menyaring berita. Akibatnya semuanya dianggap kebenaran lalu berusaha mengkompromikan. Cara mengkompromikannya adalah dengan mengatakan: Semua berita yang mengkritik al-Ḥallāj hanya salahpaham terhadapnya dan tidak mengerti hakikat ketinggian ilmu makrifat al-Ḥallāj.
Kemungkinan yang lain (dan ini yang terburuk, semoga saja tidak benar) adalah termakan propaganda orientalis yang sangat mengagumi al-Ḥallāj seperti Louis Massignon. Tokoh ini agamanya Kristen dan memang terpesona dengan sejarah hidup al-Ḥallāj karena dianggap sangat mirip dengan sejarah Yesus. Dia menulis sejumlah buku tentang al-Ḥallāj dan menggelarinya sebagai al-Syahīd. Bahkan lebih jauh dari itu, sejumlah sejarawan Eropa bukan hanya mengagumi al-Ḥallāj, tetapi meyakini sampai level bahwa sebenarnya al-Ḥallāj itu sudah masuk Kristen diam-diam! Alasannya, konsepsi inkarnasi/ḥulūl yang diajarkan al-Ḥallāj sangat mirip dengan konsepsi Nasrani yang juga mengembangkan paham yang sama dari konsepsi Firman dan Logos.
7 Ramadan 1443 H/9 April pukul 10.09