Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Suatu hari Aḥmad al-Ḥāsib dikirim oleh khalifah al-Mu‘taḍid (المعتضد) ke India untuk sejumlah kepentingan. Dia naik kapal bersama sejumlah orang. Di antara mereka ada al-Ḥallāj. Ketika semua keluar dari kapal, Aḥmad al-Ḥāsib menanyai al-Ḥallāj,
“Kenapa kamu ikut?”
Al-Ḥallāj menjawab,
“Untuk belajar sihir demi mendukung dakwah!”
Al-Żahabī menceritakan kisah ini dengan redaksi sebagai berikut,
وَجَّهنِي المُعْتَضِدُ إِلَى الهِنْد لأُمُورٍ أَتعرَّفُهَا لَهُ، فَكَانَ مَعِي فِي السَّفِيْنَة رَجُلٌ يُعْرَفُ بِالحُسَيْن بنِ مَنْصُوْرٍ، وَكَانَ حَسَنَ العِشْرَة، فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمركب قُلْتُ: لِمَ جِئْت؟ قَالَ لأَتَعَلَّمَ السِّحرَ وَأَدْعُو الْخلق إِلَى اللهِ
Artinya,
“(Aḥmad al-Ḥāsib berkata) al-Mu‘taḍid mengirimku ke India untuk mempelajari sejumlah hal yang diperlukannya. Di kapal ada seorang lelaki yang bernama al-Ḥusain bin Manṣur (al-Ḥallāj). Dia supel. Ketika kami keluar dari kapal aku bertanya, “Mengapa kamu datang?” dia menjawab, ‘Untuk belajar sihir dan aku menyeru makhluk kepada Allah” (Siyaru A‘lāmi al-Nubalā’ juz 14 hlm 319)
Riwayat di atas sangat lugas menunjukkan bahwa al-Ḥallāj belajar sihir. Bukan dari persaksian orang, tapi bahkan dari persaksian dirinya sendiri.
Oleh karena itu, berdasarkan riwayat ini penilaian terhadap al-Ḥallāj bisa bertambah. Jika pada kisah sebelumnya (tentang kisah konspirasi al-Ḥallāj menyembuhkan muridnya yang pura-pura buta dan lumpuh) kita mengutip penilaian sejumlah ulama yang mengatakan bahwa al-Ḥallāj itu mumakhriq (tukang manipulasi), mūḥtāl (tukang siasat penipu), musya‘biż/musya‘wiż (mentalis/magician/tukang sulap), maka melalui kisah ini wajar jika sebagian ulama juga mensifatinya sebagai sāḥir (tukang sihir). Dengan demikian, berita keajaiban yang muncul dari al-Ḥallāj jadi punya dua kemungkinan, sihir atau jenis sulap/tipuan.
Perbuatan al-Ḥallāj belajar sihir ini haram, maksiat bahkan dosa besar. Al-Bukhārī meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ.». [«صحيح البخاري» (4/ 10 ط السلطانية)]
Artinya,
‘Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina.” (H.R. al-Bukhārī)
Kata al-Nawawī, sudah jadi ijmak bahwa sihir itu haram. Yang meyakini kemubahannya maka statusnya kafir. Al-Nawawī berkata,
«وَيَحْرُمُ فِعْلُ السِّحْرُ بِالْإِجْمَاعِ، وَمَنِ اعْتَقَدَ إِبَاحَتَهُ فَهُوَ كَافِرٌ». [«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (9/ 346)]
Artinya,
“Haram mempraktekkan sihir berdasarkan ijmak. Barangsiapa meyakini kemubahannya maka ia kafir” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 346)
Bisa jadi di antara faktor yang menyebabkan para ulama mengkafirkan al-Ḥallāj adalah karena memubahkan sihir ini.
Dari kisah ini saja sudah jelas al-Ḥallāj melanggar syariat. Sehingga tasawufnya tidak layak diikuti.
Andai al-Ḥallāj tidak mengajarkan pemikiran ḥulūl, nur muhammad, dan wahdatul adyān sekalipun, yakni mempraktekkan sihir saja, maka itu sudah cukup untuk tidak menjadikannya sebagai panutan. Apalagi masih ditambah mengajarkan pemikiran-pemikiran kufur.
Sihir hanya muncul dari orang fasik. Al-Nawawī mengutip Abū al-Ma‘ālī al-Juwaini sebagai berikut,
«لَا يَظْهَرُ السِّحْرُ إِلَّا عَلَى فَاسِقٍ، وَلَا تَظْهَرُ الْكَرَامَةُ عَلَى فَاسِقٍ». [«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (9/ 346)]
Artinya,
“Sihir tidak muncul kecuali dari orang fasik dan karamah tidak mungkin muncul dari orang fasik” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 346)
12 Ramadan 1443 H/14 April pukul 10.101