Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika kata hijab dipakai untuk konteks hukum menutup aurat bagi wanita, maka itu bagus. Itu pembahasan yang mengarah pada ketakwaan, menjaga kehormatan (iffah) dan ketaatan kepada Allah.
Tapi jika dipakai oleh varian tasawuf tertentu, maka Anda harus ekstra waspada karena bisa jadi Anda akan disesatkan secara tidak sadar.
Bagaimanakah contoh penggunaan kata “hijab” yang mengarah pada penyesatan?
Jika ada oknum sufi yang mengatakan bahwa ilmu ahli fikih/ulama/fukaha itu hijab yang menghalangi antara hamba dengan Allah, maka ini adalah penyesatan karena ulama itu pewaris para nabi. Merekalah yang mengajari kita wahyu yang turun kepada Rasulullah ﷺ dan menjaganya sampai kepada kita. Jika ada orang yang mengajak membuang ini,berarti dia hendak memutus hubungan kita dengan Rasulullah ﷺ, lalu diganti dengan “nabi baru” yang mengaku mendapatkan ilmu dari nabi khidir atau dapat ilmu ladunnī atau mendapatkan ilmu langsung dari alam malakut dan semisalnya. Kita disuruh mengkufuri ulama lalu diminta beriman dan taklid buta kepada pemimpin sekte menyimpang tersebut.
Jika ada oknum sufi yang mengatakan bahwa kitab-kitab ulama itu bulukan dan hijab yang menghalangi antara hamba dengan Allah, maka ini adalah penyesatan karena kitab-kitab ulama adalah dokumentasi ilmu Rasulullah ﷺ. Andai ilmu tidak ditulis, maka kita tidak akan punya Al-Qur’an dan hadis. Kita akan tersesat seperti umat-umat sebelum kita. Jika ada orang yang mengajak membuang ini, berarti dia hendak memutus hubungan kita dengan ilmu Rasulullah ﷺ, lalu diganti dengan “nabi baru” yang mengaku mendapatkan ilmu dari nabi khidir atau dapat ilmu ladunnī atau mendapatkan ilmu langsung dari alam malakut dan semisalnya. Kita disuruh mengkufuri kitab ulama lalu diminta beriman dan taklid buta kepada pemimpin sekte menyimpang tersebut.
Jika ada oknum sufi yang mengatakan bahwa debat itu hijab yang menghalangi antara hamba dengan Allah, maka ini adalah teknik membuat telinga menjadi tuli agar tidak mau mendengar dan berfikir, agar menjadi kerbau yang dicocok hidungnya, dan agar tidak pernah mau mendengarkan nasihat serta amar makruf nahi mungkar. Ini sangat berbahaya, karena penghuni neraka itu masuk neraka justru karena tidak mau mendengar dan berfikir. Allah berfirman,
﴿وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ﴾ [الملك: 10]
Artinya,
“Mereka (penghuni neraka) berkata, “Andaikan dahulu kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), tentulah kami tidak termasuk ke dalam (golongan) para penghuni (neraka) Sa‘ir (yang menyala-nyala).” (Q.S. al-Mulk: 10)
Orang-orang kafir di zaman Nabi ﷺ tidak tertunjuki kepada kebenaran juga karena tidak mau mendengar dan berfikir dan menutup diri untuk menerima kebenaran. Justru karena menutup diri itulah maka mereka disebut kafir, karena kafir berasal dari kata kafara yang bermakna menutup (diri).
Jika ada oknum sufi yang mengatakan bahwa syariat itu hijab yang menghalangi antara hamba dengan Allah, maka ini jelas kekufuran. Karena meninggalkan syariat bermakna tidak mengakui lagi kewajibannya. Jangankan meninggalkan seluruh syariat, mengingkari satu syariat saja misalnya tidak mengakui kewajiban salat itu sudah dianggap murtad, keluar dari Islam. Apalagi mengajak untuk meninggalkan seluruh syariat. Tidak ada keraguan lagi yang seperti ini mengeluarkan seseorang dari Islam.
Mungkin masih banyak lagi contoh-contoh penggunaan kata hijab yang menyesatkan.
Semuanya saya sebut mantra “hijab”, karena jika diucapkan, maka ia punya potensi membuat orang tidak waras lagi akalnya dan membuang segala ilmu dari Rasulullah ﷺ.
Ibnu ‘Abī al-‘Izz berkata,
«وَأَمَّا مَنْ يَتَعَلَّقُ بِقِصَّةِ مُوسَى مَعَ الْخَضِرِ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، فِي تَجْوِيزِ الِاسْتِغْنَاءِ عَنِ الْوَحْيِ بِالْعِلْمِ اللَّدُنِّيِّ، الَّذِي يَدَّعِيهِ بَعْضُ مَنْ عَدِمَ التَّوْفِيقَ -: فَهُوَ مُلْحِدٌ زِنْدِيقٌ». [«شرح الطحاوية ت الأرناؤوط» (2/ 774)]
Artinya,
“Adapun orang yang memakai kisah nabi Musa bersama Khidir ‘alaihimassalām untuk membolehkan meninggalkan wahyu (yang turun kepada Rasulullah ﷺ) dengan berpegang pada ilmu ladunnī yang diklaim sebagian orang yang tidak mendapatkan taufiq, maka dia mulḥid zindīq.” (Syarḥu al-Ṭaḥāwiyyah, juz 2 hlm 774)
16 Ramadan 1443 H/18 April 2022 pukul 16.01