Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika seorang hamba menyembah Allah dengan baik, berusaha bertakwa dengan sungguh-sungguh, membersihkan hati dari segala sifat tercela, lalu mengisi hati dengan zikir, maka Allah berjanji akan menganugerahinya dengan furqān, yakni pembeda antara haqq dengan yang batil, sehingga mata batinnya lebih tajam dan lebih awas untuk mengidentifikasi mana kesesatan dan mana petunjuk. Allah berfirman,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا﴾ [الأنفال: 29]
Artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa niscaya Allah akan memberikan furqān/pembeda kepada kalian” (al-Anfāl: 29)
Salah satu bentuk furqān itu adalah firasat yang jitu atau firāsah ṣādiqah (الفراسة الصادقة).
Seperti kisah firasat Umar terhadap salah satu pejabatnya yang bernama Sa‘īd bin ‘Āmir (سَعِيْدُ بْنُ عَامِرٍ). Umar mengangkatnya sebagai pejabat pemerintahan untuk mengepalai sebuah daerah di Syam yang bernama Homs (حِمْصُ). Tetapi penduduknya mengeluhkan empat hal terkait Sa‘īd bin ‘Āmir yaitu,
- Keluar berdinas bukan sejak pagi, tapi saat matahari sudah panas meninggi
- Tidak mau melayani rakyat di malam hari
- Sehari dalam sebulan tidak keluar rumah dan tidak melayani rakyat
- Sesekali pingsan tiba-tiba dalam forum
Tentu saja keluhan rakyat terhadap pejabatnya seperti ini berpeluang membuat kesan pertama bahwa sang pejabat kurang profesional mengemban amanah. Akan tetapi Umar tidak menuruti peluang suuzan semacam itu. Sebelum beliau mengklarifikasi kepada Sa‘īd bin ‘Āmir, beliau telah berfirasat. Begini kira-kira firasat Umar:
Tentang keluhan bahwa Sa‘īd bin ‘Āmir keluar berdinas bukan sejak pagi, tapi saat saat matahari sudah panas meninggi, maka Umar menduga hal ini dikarenakan beliau sangat zuhud dan melakukan segala pekerjaan rumahnya dengan tangannya sendiri. Jadi, beliau tidak punya pembantu yang mengurusi rumah. Karenanya, beliau membuat makanan dulu untuk keluarganya, setelah selesai barulah keluar melayani rakyat.
Tentang keluhan bahwa Sa‘īd bin ‘Āmir tidak mau melayani rakyat di malam hari, maka Umar menduga bahwa beliau telah membagi waktunya menjadi dua bagian. Siang untuk manusia, sementara malam untuk Allah.
Tentang keluhan bahwa Sa‘īd bin ‘Āmir sehari dalam sebulan tidak keluar rumah dan tidak melayani rakyat, maka Umar menduga itu masih terkait dengan kezuhudannya. Karena Sa‘īd bin ‘Āmir tidak punya pembantu, maka tidak ada yang mencucikan baju beliau. Bahkan beliau tidak punya baju ganti! Terpaksa ada satu hari di mana beliau harus mencuci bajunya, lalu menunggunya kering, baru bisa keluar memakai baju tersebut. Itulah yang membuat beliau tidak bisa keluar cepat satu hari dalam sebulan, dan baru bisa keluar rumah sorenya.
Tentang keluhan bahwa Sa‘īd bin ‘Āmir sesekali pingsan tiba-tiba dalam forum, maka itu dikarenakan beliau teringat pembunuhan Khubaib bin ‘Adī yang disiksa orang-orang Quraisy karena keimanannya. Waktu itu Khubaib mendoakan buruk semua yang hadir di situ. Kebetulan Sa‘īd bin ‘Āmir saat itu belum masuk Islam dan menghadiri eksekusi tersebut. Karena sebab inilah Sa‘īd bin ‘Āmir sesekali pingsan. Yakni pingsan karena khawatir terkena dampak buruk doa sang syahid.
Beginilah kira-kira firasat Umar terhadap pejabatnya yang saleh nan zuhud itu. Ketika Sa‘īd bin ‘Āmir dipanggil untuk memberikan penjelasan dihadapan rakyatnya, ternyata klarifikasinya sama persis dengan yang diduga oleh Umar! Dari situ Umar bersyukur kemudian berkata,
«الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يُفَيِّلْ فَرَاسَتِي». [«حلية الأولياء وطبقات الأصفياء – ط السعادة» (1/ 246)]
Artinya,
“Segala puji bagi Allah yang membuat firasatku tidak salah” (Ḥilyatu al-Auliyā’, juz 1 hlm 246)
Jika seperti ini kondisi firasat pada seorang mukmin, berarti anugerah firasat itu fungsinya membantu seorang hamba agar tidak bermaksiat dan mudah melakukan amal saleh. Dalam kisah Umar di atas, saat banyak orang mengeluhkan dan menjelek-jelekkan Sa‘īd bin ‘Āmir, Umar diuji dengan suuzan. Akan tetapi beliau mendapatkan firasat jitu yang membantu beliau untuk berhusnuzan. Dengan demikian, beliau dicegah untuk berbuat maksiat dan beramal saleh dengan husnuzan.
Jadi, firasat jitu itu bukan untuk bahan sombong, bahan pamer, bahan kebanggaan, bahan ujub, bahan sum’ah, bahan merasa lebih baik dari mukmin lainnya dan tipuan-tipuan setan lainnya yang semakna. Firasat jitu adalah rahmat Allah. Ia adalah jenis rahmat yang semakna dengan al-zajru ‘an al-ma‘ṣiyah (dicegah berbuat kemaksiatan). Ia juga bentuk ma‘ūnah karena dengan itu seorang hamba lebih mudah untuk melakukan ketaatan.
Ini adalah contoh bagaimana menghindar dari suuzan melalui pertolongan Allah berupa firasat yang jitu.
Adapun hamba yang tidak diberi firasat jitu, maka cara menghindar dari dosa suuzan adalah seperti yang direkomendasikan oleh Ja‘far bin Muḥammad, yakni mencarikan 70 alasan logis supaya tidak buruk sangka. Al-Baihaqī meriwayatkan ucapan Ja‘far bin Muḥammad sebagai berikut,
إذا بلغك عن أخيك الشيء تكره فالتمس له عذرًا واحدًا إلى سبعين عذرًا، فإن أصبته وإلّا قل: لعلّ له عذرًا لا أعرفه». [«شعب الإيمان» (10/ 559 ط الرشد)]
Artinya,
“Jika sampai kepadamu sesuatu tentang saudaramu yang engkau tidak menyukainya, maka carilah satu sampai tujuh puluh alasan. Jika engkau benar (maka engkau tidak berdosa). Jika engkau tidak mau mencarikan alasan katakan, ‘Mungkin dia punya alasan yang saya belum mengetahuinya” (Syu‘abu al-īmān, juz 10 hlm 559)
Contoh penerapan prinsip di atas misalnya begini,
Kita melihat ada seorang tetangga baru keluar dari tempat pelacuran. Padahal dalam pergaulan sehari-hari, kita melihat beliau selalu menjaga salat lima waktu, rajin membaca Al-Qur’an, berusaha selalu berjamaah ke masjid, dan bergaul baik dengan tetangga. Nah, dalam kondisi seperti ini kita sedang diuji dengan suuzan. Bisa saja muncul buruk sangka, lalu kita berkata dalam hati, “Wah, ndak nyangka ya. Kelihatannya saleh, ternyata njajan juga ke tempat pelacuran”
Agar terhindar dari dosa suuzan seperti itu, kita bisa mencarikan 70 alasan sampai terlihat logis. Misalnya,
“Oh mungkin beliau sedang melakukan penelitian lapangan dan baru saja keluar selesai wawancara”
Atau,
“Oh mungkin beliau secara tidak sengaja menemui wanita yang dikenalnya, lalu sedih, lalu mendatanginya dan mendakwahinya, kemudian keluar”
Atau,
“Oh mungkin pas beliau lewat ada orang yang tertimpa lemari, lalu penghuninya teriak-teriak minta tolong orang yang lewat di jalan, lalu kebetulan beliau di situ, lalu beliau menolongnya”
Atau,
“Oh mungkin pas beliau lewat di situ ada orang bertengkar yang hampir berbunuhan lalu beliau melerainya”
Atau,
“Oh iya, beliau kan bekerja di PLN. Mungkin pas ada masalah listrik di situ dan ditugasi atasannya membenahi di sana”
Atau alasan-alasan lainnya yang logis. Intinya sampai persepsi kita terhadap beliau tetap bersih sebagaimana yang selama ini kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Mencari alasan untuk tetap berhusnuzan ini harus terus dilakukan sampai kita punya kesempatan untuk mengklarifikasi (jika kita memang punya hak itu) atau sampai Allah sendiri yang akan membuka kebenarannya. Entah baik entah buruk. Allah bisa saja membela kehormatan seorang hamba yang baik dengan caraNya seperti saat Allah membuka kebenaran tentang kesucian Maryam atau kesucian Aisyah dari segala tuduhan keji. Allah bisa juga membongkar kedok orang buruk yang berpenampilan baik sebagaimana Allah membuka kedok orang-orang munafik di zaman Rasulullah ﷺ.
Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa diberi firasat adalah nikmat dari Allah yang diberikanNya sesekali untuk membantu hamba berada di jalan yang diridaiNya. Hamba tersebut tidak perlu berpayah-payah memikirkan 70 alasan, karena alasan yang sebenarnya sudah tahu melalui ilham yang di berikan Allah.
Selain membantu husnuzan, firasat yang baik terkadang juga membantu hamba saleh yang lain untuk menghindar dari dosa, walaupun itu dosa yang dianggap kecil. Misalnya kisah firasat terhadap Anas bin Mālik.
Di kisahkan suatu hari saat Anas bin Malik berjalan, beliau bertemu dengan wanita cantik. Tergoda dengan kejelitaannya, beliau sempat menatapnya. Lalu Anas bertamu ke rumah Uṡmān. Lalu Uṡmān berkata,
“Salah seorang di antara kalian bertamu kepadaku dalam keadaan di matanya ada bekas zina yang begitu jelas!”
Anas terkaget, lalu bertanya,
“Apakah ada wahyu setelah Rasulullah ﷺ wafat?”
Uṡmān menjawab,
“Tidak, tapi hanya mata batin, hujah dan firasat yang jitu”.
Al-Qusyairi menulis kisah ini dengan redaksi sebagai berikut,
«عَن أَنَس بْن مَالِك رضى اللَّه عَنْهُ قَالَ: دخلت عَلَى عُثْمَان رضى اللَّه عَنْهُ وكنت رأيت فِي الطريق امْرَأَة تأملت محاسنها فَقَالَ عُثْمَان رضى اللَّه عَنْهُ: يدخل عَلَى أحدكم وآثار الزنا ظاهرة عَلَى عينه فَقُلْتُ: أوحي بَعْد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لا ولكن تبصرة وبرهان وفراسة صادقة». [«الرسالة القشيرية» (2/ 393)]
Artinya,
“Dari Anas bin Mālik r.a. beliau berkata, ‘Aku bertamu ke tempat Uṡmān r.a, sementara sebelumnya aku sempat melihat seorang wanita di jalan lalu aku mengamati kecantikannya. Uṡmān r.a. berkata, “Salah seorang di antara kalian menemuiku sementara ada bekas zina yang jelas pada matanya’. Aku bertanya, ‘Apakah ada wahyu setelah wafatnya Rasulullah ﷺ?” Beliau menjawab, “Tidak. Tapi hanya mata batin, hujah dan firasat yang jitu” (al-Risālah al-Qusyairiyyah, juz 2 hlm 393)
Terkadang pula Allah memberi firasat jitu agar seorang hamba bisa memberi wasiat baik kepada ahli waris. Seperti kisah Abu Bakar dengan Aisyah.
Dikisahkan, menjelang wafat, Abu Bakar berwasiat kepada Asiyah supaya membagi semua harta warisannya dengan baik bersama dua saudarinya dan dua saudaranya. Aisyah jadi heran, karena yang beliau tahu saat itu saudarinya hanya satu yakni Asmā’ binti Abū Bakar, bukan dua. Jika Abu Bakar menyebut dua saudari, maka saudari yang mana lagi yang dimaksud ayahnya? Abu Bakar menjawab,
“Itu, janin yang dikandung oleh istriku (yang keempat, yakni) putri Khārijah, itu nampaknya perempuan”
Malik meriwayatkan ucapan Abū Bakr itu sebagai berikut,
«ذُو بَطْنِ بِنْتِ خَارِجَةَ، أُرَاهَا جَارِيَةً». [«موطأ مالك – رواية يحيى» (2/ 752 ت عبد الباقي)]
Artinya,
“Janin (yang dikandung) putri Khārijah, aku diperlihatkan dia perempuan” (H.R.Mālik)
Ternyata betul. Setelah lahir, bayi yang keluar memang perempuan. Jadi Abu Bkaar sudah tahu jenis kelamin anaknya sebelum lahir. Dengan demikian tepatlah prediksi dan firasat Abu Bakar. Dengan firasat itu pula beliau bisa memberi pesan dan wasiat ketakwaan sebaik-baiknya kepada putrinya.
Intinya firasat jitu adalah jenis hidayah dari Allah yang membantu Anda bertakwa, tidak maksiat dan beramal saleh sebaik-baiknya. Jika Anda meminta hidayah saat membaca surah Fatihah dalam salat, maka hidayah yang Anda minta termasuk jenis hidayah ini.
Yang mendapatkannya, ingatlah berarti Anda mendapatkan anugerah tambahan dari Allah. Dengan demikian tanggung jawab Anda lebih besar daripada yang tidak mendapatkannya. Sebab, semakin bertambah nikmat semakin berat hisabnya. Jangan sampai tertipu setan lalu menjadikannya sebagai alat bangga, alat sombong, alat pamer, alat sum’ah dan alat merasa diri istimewa, merasa wali dan semua perasaan batil lainnya.
28 Ramadhan 1443 H/ 30 Apr 2022 M jam 15.35