Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Minimal ada dua alasan penting mempersoalkan keulamaan al-Ḥallāj.
Pertama, syarat mutlak seseorang disebut wali/kekasih Allah adalah ulama. Lebih spesifik lagi, tidak mungkin orang menjadi wali kecuali dia seorang ulama ahli fikih. Jadi, jika kita berhusnuzan bahwa al-Syāfi‘ī adalah wali Allah, maka itu bisa dibenarkan karena al-Syāfi‘ī memang ulama ahli fikih. Jika kita berhusnuzan bahwa Ahmad adalah wali Allah, maka itu bisa dibenarkan karena Ahmad memang ulama ahli fikih. Jika kita berhusnuzan bahwa al-Nawawī adalah wali Allah, maka itu bisa dibenarkan karena al-Nawawī memang ulama ahli fikih. Jika kita berhusnuzan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah wali Allah, maka itu bisa dibenarkan karena Ibnu Taimiyyah memang ulama ahli fikih, dan seterusnya. Ketika al-Ḥallāj diopinikan sebagai wali Allah (bahkan ada yang mengatakan wali besar), maka menjadi penting untuk mengetahui apakah al-Ḥallāj lolos kriteria keulamaan dan kepakaran fikih ini.
Al-Syāfi‘ī menegaskan bahwa jika wali Allah itu tidak muncul dari kalangan ulama, maka tidak ada lagi namanya wali di muka bumi. Dengan kata lain, seorang wali harus seorang ulama. Orang awam bisa mencapai derajat orang zuhud atau orang warak atau saleh, tetapi untuk mencapai derajat wali Allah, kualifikasi wajibnya haruslah seorang ulama, tepatnya harus seorang ulama ahli fikih. Al-Nawawī menukil ucapan al-Syāfi‘ī dan Abū Ḥanifah terkait hal ini sebagai berikut,
«إنْ لَمْ تَكُنْ الْفُقَهَاءُ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ وَلِيٌّ». [«المجموع شرح المهذب» (1/ 24)]
Artinya,
“Jika para fukaha bukan para wali Allah, berarti Allah tidak punya wali” (Al-Majmū‘, juz 1 hlm 24)
Ini sangat logis dan sungguh masuk akal. Sebab seorang kekasih Allah itu sudah pasti mengenal Allah, mengenal syariatNya dan mengenal segala hal yang membuatnya rida termasuk yang membuatNya murka. Lalu, berdasarkan pengetahuan tersebut beliau berjuang keras menapaki jalan kesalehan hingga akhirnya berhasil mencapai tingkatan hamba-hamba yang didekatkanNya dan menjadi kekasihNya. Kualifikasi ini tidak akan muncul dari orang jahil dan bukan ulama. Orang jahil jelas tidak mengenal Allah dan tidak mengenal syariatNya. Jangankan mengenal Allah dan mengenal syariatNya, mengenal kadar dirinya saja Si Jahil tidak sanggup. Malahan orang jahil bisa saja mengaku wali sambil menjelek-jelekkan ulama dan ahli fikih.
Kedua, tasawuf lurus mu’tabar adalah tasawuf yang dikontrol ilmu. Artinya, jika ada orang mengajak mengikuti tasawuf al-Ḥallāj, maka harus dipastikan tasawuf yang ditawarkan itu didasarkan pada ilmu. Yakni tasawuf yang berbasis pemahaman fikih dan syariat yang mendalam sehingga tidak sampai menabrak rambu-rambu syariat.
Tujuan tasawuf itu besar: Membersihkan hati, membersihkan jiwa dan berjuang keras mendekat kepadaNya sampai Dia rida. Tidak bisa tujuan seperti ini dicapai hanya dengan mengkhayal bertemu Nabi Khidir atau mendatangi seseorang dan minta dilantik sebagai wali atau fantasi-fantasi semisal. Orang perlu ilmu. Perlu hujah. Perlu burhan yang menjamin bahwa suluknya benar-benar sesuai yang dikehendaki Allah. Jangan sampai ia merasa beribadah, padahal ibadahnya itu tidak diterima Allah. Yang seperti ini akan membuat sufi hanya akan menjadi ahli ibadah yang bodoh. Sufi seperti ini (meminjam ungkapan Abdullāh bin al-Mubārak) hanya akan menjadi “rahib” perusak umat. Sebab mereka akan ditiru, tapi yang ditiru ibadah atas dasar kebodohan itu. Oleh karena itu, tasawuf harus dikontrol ilmu, yakni ilmu syariat agar tidak keluar jalur. Bayangkan betapa sia-sianya dan betapa bodohnya orang sudah payah-payah salat 400 rakaat, tapi wudunya tidak sah karena jempol kakinya tidak dibasuh. Bagaimana mungkin dia bisa berharap amalnya diterima Allah? Kita tidak bisa meremehkan hal seperti ini karena Rasulullah ﷺ pernah mengancam dengan neraka mereka yang meremehkan wudunya hingga tumitnya tidak terbasuh.
Nah, penelusuran tentang aspek keilmuan al-Ḥallāj ternyata memberikan data kepada kita bahwa al-Ḥallāj itu sama sekali bukan seorang ulama!
Saat disidang dihadapan Wazir, ternyata dia tidak mengerti Al-Qur’an, fikih dan hadis! Al-Żahabī menceritakan peristiwa itu sebagai berikut,
وَقَالَ الفَقِيْه أَبُو عَلِيٍّ بنُ البَنَّاءِ: كَانَ الحَلَاّجُ قَدِ ادَّعَى أَنَّهُ إِله، وَأَنَّهُ يَقُوْلُ بِحُلُول اللَاّهُوتِ فِي النَّاسُوت، فَأَحْضَرَهُ الوَزِيْرُ عَلِيُّ بنُ عِيْسَى فَلَمْ يجده – إِذْ سأَله – يُحْسِنُ القُرْآن وَالفِقْه وَلَا الحَدِيْثَ. فَقَالَ: تعلُّمُكَ الفرضَ وَالطَّهور أَجدَى عَلَيْكَ مِنْ رسَائِل لَا تَدْرِي مَا تَقُولُ فِيْهَا». [«سير أعلام النبلاء – ط الرسالة» (14/ 327)]
Artinya,
“Al-Faqīh Abū ‘Alī bin al-Bannā’ berkata, ‘al-Ḥallāj mengaku bahwa dirinya tuhan dan dia memiliki pemikiran tentang penitisan tuhan (lāhūt) kepada manusia (nāsūt). Wazir ‘Alī bin ‘īsā menghadirkannya (di majelisnya). Ketika dia (al-Ḥallāj) ditanyai, ternyata dia tidak menguasai Al-Qur’an, fikih dan hadis. Wazir berkata, “Kamu belajar hal-hal wajib dan cara bersuci itu lebih bermanfaat bagimu daripada belajar makalah-makalah (filsafat) yang engkau sendiri tidak mengerti apa yang kamu ucapkan tentangnya” (Siyaru A‘lāmi al-Nubalā’, juz 14 hlm 327)
Redaksi yang ditulis Ibnu Kaṡīr lebih detail sedikit. Dalam persidangan itu, al-Ḥallāj diketahui tidak bisa membaca Al-Qur’an, tidak tahu ilmu hadis, tidak tahu ilmu fikih, tidak tahu leksikologi, tidak tahu sejarah dan tidak mengerti ilmu sastra sama sekali! Ibnu Kaṡīr menulis,
ثُمَّ أُحْضِرَ إِلَى مَجْلِسِ الْوَزِيرِ فَنَاظَرَهُ فَإِذَا هُوَ لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَلَا يَعْرِفُ مِنَ الْحَدِيثِ وَلَا الْفِقْهِ وَلَا اللُّغَةِ وَلَا الْأَخْبَارِ وَلَا الشِّعْرِ شَيْئًا». [«البداية والنهاية ت التركي» (14/ 785)]
Artinya,
“Kemudian dia (al-Ḥallāj) dihadirkan dalam majelis Wazir. Lalu Wazir berdiskusi dengannya. Ternyata dia tidak bisa membaca Al-Qur’an, tidak mengerti hadis, tidak mengerti fikih, tidak mengerti leksikologi, tidak mengerti sejarah dan tidak mengerti syair sedikitpun” (al-Bidāyah wa al-Nihāyah, juz 14 hlm 785)
Berdasarkan riwayat di atas berarti bisa disimpulkan bahwa al-Ḥallāj itu sebenarnya jahil din. Al-Ḥallāj bukan ulama dan tidak layak diperlakukan sebagai ulama. Pengetahuan al-Ḥallāj hanyalah pengetahuan filsafat, lalu dia menempuh jalan kesufian, menampakkan diri seperti sālik, merancang berbagai tipuan agar disangka memiliki karamah, dan belajar sihir untuk mendukung penciptaan berbagai “keajaiban” untuk menarik para awam. Dari situ sebagian orang tertipu, menganggapnya wali yang punya keramat, dan akhirnya al-Ḥallāj menjadi fitnah.
Kesimpulan bahwa al-Ḥallāj bukan ulama ditegaskan oleh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī. Saat mengatakan bahwa al-Ḥallāj bukan ulama, beliau menulisnya sambil mengucap syukur “wa lillāhi al-ḥamdu”. Qultu: Sebab seandainya al-Ḥallāj ulama, pastilah fitnahnya lebih besar lagi. Dalam Lisānu al-Mīzān Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī berkata,
«الحسين” بن منصور الحلاج المقتول على الزندقة ما روى ولله الحمد شيئا من العلم». [«لسان الميزان» (2/ 314)]
Artinya,
“Al-Ḥusain bin Manṣūr al-Ḥallāj dihukum bunuh karena kezindiqannya. Dia tidak meriwayatkan ilmu sedikitpun, Segala puji bagi Allah” (Lisānu al-Mīzān, juz 2 hlm 314)
Dengan demikian, jika ada berita yang mengatakan bahwa al-Ḥallāj hafal Al-Qur’an, menguasai hadis, mahir dalam fikih atau mengatakan al-Ḥallāj salat dengan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam dua rakaat dan sesekali mengkhatamkan dalam satu rakaat, maka itu semua adalah berita yang tidak benar dan terbantahkan oleh riwayat sahih terkait kejahilan al-Ḥallāj ini. Penelitian al-Żahabī, Ibnu Kaṡīr dan Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī terkait reputasi keilmuan al-Ḥallāj lebih layak dirujuk dan dijadikan tumpuan daripada berita-berita kabar burung yang tidak jelas asal-usulnya.
Dengan demikian mewalikan al-Ḥallāj adalah sikap yang tidak memiliki basis yang kuat ditinjau dari kriteria keilmuan sebagaimana penjelasan al-Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah. Dari sisi kemu’tabaran, tasawuf al-Ḥallāj juga bukan tasawuf yang layak untuk dirujuk apalagi hendak dikompromikan dengan tasawuf ahlussunnah yang berbasis Al-Qur’an dan Sunah Nabi ﷺ.
27 Ramadhan 1443 H/ 29 Apr 2022 M jam 15.45