Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Allah berfirman dalam Sūrah Muḥammad: 19,
﴿وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ﴾ [محمد: 19]
Artinya,
“Minta ampunlah untuk dosamu dan juga untuk kaum mukminin dan mukminat” (Q.S: Muḥammad: 19)
Untuk menghayati ayat ini, pertama-tama marilah membayangkan Allah berbicara di depanmu, lalu dengan penuh kasih sayang dan pandangan penuh rahmat berfirman lembut menasihatimu,
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
Artinya,
“Minta ampunlah untuk dosamu”
Coba rasakan bagaimana besarnya kasih sayang, kesabaran, dan kelembutan Allah dengan nasihat seperti itu.
Allah tidak memerintahkan “Awas, jangan sekali-kali berdosa” atau “Awas, jangan pernah berdosa seumur hidupmu” atau “Awas, jangan pernah berdosa satu kalipun dalam sehari semalam” bahkan juga tidak memerintahkan “Awas, jangan pernah berdosa satu kalipun dalam satu jam” tapi dia memberi perintah lembut,
“Minta ampunlah untuk dosamu”
Seakan-akan Allah memang sudah tahu bahwa kita pasti akan berdosa, betapapun kita punya keinginan tidak berdosa. Seakan-akan Allah sudah maklum kelemahan kita yang sering kalah oleh hawa nafsu, sehingga mau tidak mau pasti akan terjatuh pada dosa juga, entah dilakukan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Seakan-akan Allah sudah tahu betapa beratnya kita melawan bisikan setan untuk tidak terjatuh dalam maksiat, sehingga mau tidak mau kita pasti terjatuh juga dalam kubangan maksiat, entah maksiat kecil maupun maksiat besar. Seakan-akan Allah sudah memprediksi bahwa suatu hari kita akan terpeleset juga dalam kesalahan, entah kita menyadari ataupun tidak. Seakan-akan Allah sudah menyiapkan kesabaran berlipat-lipat saat melihat kita melanggar perintahNya sambil terus menikmati anugerah-anugerahNya. Karena itu Dia tidak memerintahkan kita “jangan berdosa” tapi yang diperintahkan adalah “minta ampunlah untuk dosamu”.
Seakan-akan Allah juga mengajari kepada kita, bahwa kita tidak diminta langsung suci bagaikan malaikat yang tidak pernah berdosa, tetapi yang diminta adalah selalu punya semangat untuk memperbaiki diri, yang tidak gengsi mengakui kesalahan, yang selalu waspada untuk tidak melanggar perintah Allah semampunya, dan ketika terjatuh dalam kubangan maksiat, segera cepat-cepat ingin kembali kepada Allah, membersihkan diri, minta ampun, lalu bertaubat kepadaNya.
Yakni, Allah seakan-akan hanya ingin selalu ada semangat juang dalam jiwa kita untuk menjadi hambaNya yang terbaik, meski harus jatuh bangun bahkan harus babak belur. Allah tidak menuntut kita langsung sempurna full ketaatan dan bersih dari segala cela dan dosa, tapi hanya minta selalu optimis dan terus berjuang tanpa kenal lelah.
Lalu perhatikan lanjutan ayat berikutnya,
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Artinya,
“…dan juga untuk kaum mukminin dan mukminat”
Artinya minta ampun itu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga orang lain. Yakni mereka yang punya kesamaan dengan dirimu dalam hal cita-cita. Yakni kesamaan berjalan menuju Allah dan berjuang untuk mendapatkan ridaNya. Yakni mereka yang sama dengan dirimu dalam cita-cita tersebut karena memiliki kesamaan iman. Yakni mengimani Allah sebagai satu-satunya Tuhan sejati yang layak disembah dan mengimani Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan resmiNya sebagai satu-satunya jalur sah yang akan mengantarkan kita menuju ridaNya.
Renungkanlah!
Seakan-akan dengan perintah seperti itu secara implisit kita diajari satu prinsip penting terkait cara memandang orang lain. Yakni, jangan hanya memikirkan diri sendiri, jangan egois dan jangan hanya memberi perhatian untuk kesenangan sendiri. Tapi, perhatikanlah juga orang lain. Pandanglah mereka dengan pandangan kasih sayang. Jangan pandangan benci. Jangan pula pandangan dendam. Sebagaimana engkau ingin dosamu diampuni dan bertemu Allah dalam keadaan tidak dimarahi olehNya, maka usahakan juga mereka yang beriman juga demikian, yakni dosanya diampuni Allah dan mereka bertemu Allah dalam keadaan tidak dimarahiNya.
Secara implisit juga kita seakan-akan diajari Allah untuk memiliki sifat pemaaf. Sebab bagaimana mungkin kita mendoakan orang supaya diampuni dosanya oleh Allah jika kita masih sakit hati apalagi dendam kepada orang yang kita doakan tersebut?
Ayat ini kelihatan sepele, tapi sungguh akan menjadi ayat yang sangat besar bagi orang-orang yang pernah diuji dengan disakiti orang lain.
Sekarang coba bayangkan seorang istri yang salehah, yang patuh kepada suami, yang banyak pengorbanannya untuk suami, yang banyak jasanya untuk suami, yang sudah rela meninggalkan segalanya demi ikut suami dan berkhidmat kepada suami. Lalu bayangkan dalam kondisi seperti ini sang suami tiba-tiba selingkuh, atau melacur atau menghamili anak orang. Atau tidak selingkuh tapi poligami sambil bertindak tidak adil dalam poligaminya karena jauh lebih sayang pada istri barunya. Atau suaminya tiba-tiba berubah total menjadi temperamental, suka main tangan, terjerat narkoba, main perempuan, berjudi, menghabiskan harta istri dan semisalnya. Bukankah sakit hatinya kepada suami luar biasa? Bisa jadi andai istri punya satu doa mustajab, dan dia sudah sangat marah dan sakit hati dengan suaminya, maka dia akan berdoa untuk kebinasaan suami, atau bahkan mungkin puas jika suaminya disiksa di neraka karena kezalimannya tersebut!
Lalu coba bayangkan dalam kondisi seperti itu dia melaksanakan perintah Allah untuk mendoakan suami supaya dosanya diampuni! Apa tidak laksana memindah gunung itu saking beratnya untuk melakukannya?!
Dari sinilah terasa betul betapa agungnya ayat ini saat mengajari akhlak mulia seorang hamba Allah yang tetap mendoakan hamba Allah yang beriman meskipun telah menyakitinya di dunia. Jika kita manusia biasa saja bisa sangat terharu dan trenyuh dengan akhlak semacam itu, bukankah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang lebih berhak untuk lebih iba kepada hamba yang memiliki akhlak semulia itu?
Demikian pula seorang suami yang diuji dengan istrinya misalnya.
Sang suami sudah sangat baik, bekerja keras, berusaha memenuhi kebutuhan seluruh istrinya, menuruti semua permintaannya , minta baju bagus dibelikan, minta mobil diberikan, minta HP canggih dibelikan, minta rekreasi dituruti, tapi ternyata istri malah membangkang, tidak taat dan nusyuz. Atau lebih jahat dari itu yakni selingkuh dan main mata dengan lelaki lain. Lalu sang istri menjelek-jelekkan suami di hadapan selingkuhannya, dibuka aib-aibnya, ditutupi kebaikan-kebaikannya, bahkan minta cerai dengan alasan sudah tidak cinta lagi.
Bayangkan dalam kondisi seperti ini sang suami masih menyelipkan doa untuk istrinya semoga dosanya diampuni Allah karena tahu sang istri masih memiliki sifat iman sehingga masuk definisi mukminat sehingga layak untuk mendapatkan doa baiknya. Bukankah siapapun yang memiliki hati akan trenyuh dengan kemuliaan hati suami berhati emas seperti itu? Jika kita saja bisa trenyuh, tersentuh dan simpati dengan hamba demikian, bukankah Allah lebih berhak untuk menyayangi dan simpati kepadanya?
Bayangkan juga jika ayat ini dipraktekkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, mengingat orang disakiti hatinya itu tentu tidak hanya dalam rumah tangga saja.
Kita bisa saja disakiti oleh orang tua kita sendiri.
Bisa jadi disakiti oleh mertua yang ikut campur dalam rumah tangga kita.
Bisa saja disakiti kerabat dengan omongan-omongan nyinyir dan tidak mengenakkan.
Bisa saja kita disakiti kenalan dan tetangga yang berutang lalu pura-pura lupa dengan utangnya, atau memfitnah kita, atau merusak bisnis kita, dan semua jenis perilaku yang “menggatalkan” hati
Bahkan kita bisa juga dibuat sakit hati oleh perilaku buruk orang yang beda afiliasi dengan kita, beda organisasi, beda mazhab, beda guru atau pemahaman. Tetapi berdasarkan ilmu, kita mengakui bahwa mereka tetap mukmin dan mukminat meskipun mungkin kita banyak tidak setuju dengan sejumlah pemahaman mereka yang mungkar bahkan mendekati kesesatan.
Bayangkan jika saat mendoakan mukminin dan mukminat itu kita membayangkan mereka.
Membayangkan ayah dan ibu
Membayangkan saudara dan saudari
Membayangkan paman dan bibi
Membayangkan sepupu dan keponakan
Membayangkan kerabat dekat dan jauh
Membayangkan sahabat dan handai taulan
Membayangkan tetangga dan rekan bisnis
Membayangkan mereka yang beda pemahaman dan afiliasi
Yakni membayangkan hamba-hamba Allah yang bermuamalah dengan kita yang mungkin pernah menyakiti kita, tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa mereka tetap hamba beriman.
Bayangkan jika kita sanggup mendoakan mereka tanpa diketahui oleh mereka.
Bukankah sungguh layak jika kita berharap Allah simpati kepada kita?
Bukankah sungguh layak jika kita berharap Allah memutihkan dosa-dosa kita sebagaimana kita memutihkan kezaliman-kezaliman mereka?
Bukankah sungguh damai hati kita saat itu?
Ayat yang pendek. Tapi sungguh indah.
Memberi pelajaran untuk selalu optimis mengejar rida Allah, sekaligus mengajari akhlak yang sangat indah saat bergaul dengan sesama.
Bahkan tidak salah jika ayat ini dikatakan sebagai salah satu ayat “healing” terbaik untuk mereka yang stress dan tertekan karena perlakuan orang lain terhadap dirinya.
6 Syawal 1443 H/ 7 Mei 2022 M pukul 19.17