Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Istilah untuk leluhur dalam budaya Jawa yang sudah disepakati dan terkesan “mutawatir” ada tujuh tingkatan yaitu,
- Bapak-ibu
- Mbah
- Buyut
- Canggah
- Wareng
- Udeg-udeg
- Gantung Siwur
Leluhur level 1, yakni bapak dan ibu dalam satu komunitas disebut Rama (untuk pengganti panggilan Bapak) dan Biyung (untuk pengganti panggilan Ibu). Di sebagian daerah, Ibu disebut juga Emak, Mak, Mak’e, Mbok atau Simbok. Adapun panggilan Papa, Mama, Abi, Ummi, Abuya, Ummuya, maka ini sudah pengaruh budaya di luar Jawa.
Untuk Mbah, kadang disebut Embah atau Simbah atau Eyang atau Yai-Nyai atau Kaki-Nini. Kadang untuk membedakan antara laki-laki dan wanita sebutan Mbah diberi atribut jenis kelamin yakni Mbah Kakung (untuk kakek) dan Mbah Putri (untuk nenek) atau Mbah Lanang dan Mbah Wedok.
Leluhur level 1 dan 2 (yakni Bapak-Ibu, Mbah Lanang-Mbah Wedok) masih membedakan antara laki-laki dan wanita. Begitu generasi 3-7 yakni Buyut, Canggah, Wareng, Udeg-Udeg dan Gantung Siwur, perbedaan jenis kelamin sudah tidak dibuatkan istilah khusus.
Istilah leluhur sampai generasi 7 ke atas ini mendapatkan basis rujukan ilmiah. Di antaranya disebutkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan Jawa”, 2nd ed. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) hlm 274 dan Hildred Geertz dalam bukunya yang berjudul “The Javanese Family: A Study Of Kinship And Socialization” (Prospect Heights (Ill.): Waveland press, 1989 hlm 155–57.
Adapun leluhur yang lebih tinggi dari itu yakni Gropak Senthe/Petarangan Bubrah/Kandhang Bubrah, Debog Bosok dan Galih Asem, saya menemukan rujukan ilmiahnya dalam paper Sjafri Sairin yang berjudul “Javanese Trah: A Preliminary Discussion Of A Type Of Javanese Social Organization,” 1980, hlm 17. Moehadi dkk dalam bukunya yang berjudul “Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan di Daerah Jawa Tengah” (1989) hlm 82 juga menyebut istilah sampai Galih Asem, tetapi tidak menjelaskan rujukannya.
Sampai di sini, berarti istilah leluhur yang bisa dipegang karena memiliki dasar ilmiah ada 10 level ke atas yaitu,
- Bapak-ibu
- Mbah
- Buyut
- Canggah
- Wareng
- Udeg-udeg
- Gantung Siwur
- Gropak Senthe/Petarangan Bubrah/Kandhang Bubrah
- Debog Bosok
- Galih Asem
Adapun istilah kekerabatan yang lebih tinggi dari itu yakni,
- Gropak Waton
- Cendheng
- Giyeng
- Cumpleng
- Ampleng
- Menyaman
- Menya-menya
- Trah Tumerah
Sampai hari ini saya masih belum menemukan basis yang kokoh untuk diterima. Pencarian terbatas pada kamus bahasa Jawa yang saya temukan juga gagal menemukan istilah-istilah tersebut. Jika ada penelitian serius yang mengafirmasi istilah-istilah tersebut, barangkali saat itu istilah di atas bisa diterima.
Berdasarkan pengetahuan ini, kita bisa memberi istilah untuk leluhur Nabi ﷺ memakai istilah kekerabatan dalam budaya jawa. Nasab Rasulullah ﷺ sampai generasi ke-10 adalah Muhammad bin Abdullah bin ‘Abdul Muṭṭalib bin Hāsyim bin ‘Abdu Manaf bin Quṣay bin Kilāb bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy, bin Gālib.
Bapak Nabi ﷺ adalah Abdullah
Mbah Nabi ﷺ adalah Abdul Muṭṭalib
Buyut Nabi ﷺ adalah Hāsyim
Canggah Nabi ﷺ adalah ‘Abdu Manāf
Wareng Nabi ﷺ adalah Quṣay
Udeg-udeg Nabi ﷺ adalah Kilāb
Gantung Siwur Nabi ﷺ adalah Murrah
Gropak Senthe Nabi ﷺ adalah Ka’ab
Debog Bosok Nabi ﷺ adalah Lu’ayy
Galih Asem Nabi ﷺ adalah Gālib
Leluhur Nabi ﷺ di atas Gālib, yakni Fihr sampai ‘Adnān masih belum diketahui persamaannya dalam istilah kerabat budaya Jawa atau masih diragukan.
Apa pentingnya mempelajari hal ini bagi muslim Jawa?
Pentingnya adalah untuk melaksanakan perintah Nabi ﷺ agar kita mengenal nasab dan kerabat, sehingga kita bisa melaksanakan silaturahmi. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Kenalilah nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung tali silaturahmi.”
Sejauh pengetahuan dan pengalaman saya, muslim Jawa hari ini mayoritas mengenal leluhur hanya sampai mbah dan buyut. Alasannya sederhana, Mbah dan Buyut adalah leluhur yang umumnya masih banyak ditemui oleh keturunannya dalam keadaan hidup. Leluhur di atas Buyut yakni Canggah, apalagi Wareng, Udeg-Udeg dan Gantung Siwur sudah sangat jarang. Saya sendiri hanya berhasil melacak leluhur sampai level Canggah. Selain karena mayoritas leluhur di level itu sudah wafat, kebanyakan muslim Jawa juga kurang memiliki perhatian terhadap penjagaan nasab.
Biasanya yang cukup serius menjaga nasab di kalangan muslim Jawa adalah keluarga bangsawan/kerajaan/berdarah biru atau keluarga ulama/kyai.
Kalau ahlul bait, jangan di tanya. Keseriusan mereka dalam menjaga nasab sampai level sanggup menjelaskan silsilah keluarga yang menyambung ke Rasulullah ﷺ. Jika memakai konsepsi kewajiban silaturahmi kepada seluruh kerabat sejauh-jauhnya sebagaimana pendapat jumhur (sudah saya tulis dalam catatan yang berjudul “KERABAT MANA SAJA YANG WAJIB DISAMBUNG TALI SILATURAHMI?”), berarti ahlul bait sebenarnya menjadi umat Rasulullah ﷺ yang paling berat taklifnya, karena wajib menyambung kekerabatan dengan area seluas-luasnya. Mereka yang tahu kerabat hanya sampai level mbah atau buyut, jauh lebih ringan melaksanakan kewajiban silaturahmi.
Bagaimana dengan Anda?
Sejauh apa leluhur Anda yang Anda ketahui?
Jika Anda bukan berasal dari suku Jawa, istilah apa saja untuk menyebut leluhur Anda?
CATATAN:
Penjelasan di atas adalah istilah untuk leluhur ke atas. Adapun istilah untuk keturunan, maka istilah khusus hanya sampai dua generasi ke bawah yakni putra untuk anak dan wayah untuk cucu. Adapun cicit maka ia diistilahkan buyut, lalu keturunannya ke bawah disebut Canggah, Wareng, Udeg-Udeg, Gantung Siwur, Gropak Senthe, Debog Bosok dan Galih Asem sebagaimana istilah leluhur ke atas.
27 Dzulhijah 1443 H/ 26 Juli 2022 M pukul 15.38