Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Mengajari para awam memahami dalil sendiri dengan membayangkan Rasulullah ﷺ berbicara di depannya lalu langsung melaksanakan isi dalil menurut “ijtihad”nya sendiri itu sungguh berbahaya.
Saya akan memberikan tiga contoh sederhana untuk memberikan ilustrasi.
Pertama, hadis berikut ini.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ، وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ: « أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانَا فَأَذِنَ لَنَا فِي الْمُتْعَةِ ». [«صحيح مسلم» (4/ 130 ط التركية)]
Artinya,
“Dari Salamah bin al-Akwa‘ dan Jābir bin ‘Abdullāh bahwasanya Rasulullah ﷺ mendatangi kami lalu mengizinkan kami untuk (nikah) Mut’ah!” (H.R.Muslim)
Hadis di atas jelas sahih. Diriwayatkan Muslim.
Sekarang bayangkan jika ada orang awam yang termakan propaganda “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah” tapi tidak mengerti bagaimana mempraktekkan kalimat tersebut dengan baik lalu berusaha memahami sendiri, “berijtihad” sendiri dan menerapkan hadis tersebut.
Bayangkan jika dia akhirnya menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu boleh, bahkan dipahami sebagai sunah Nabi ﷺ! Setelah itu dia menikahi wanita A selama sepekan, wanita B selama sebulan, wanita C selama 3 bulan demi yang katanya menerapkan sunah Nabi ﷺ itu! Apakah Anda bisa merasakan dampak kerusakannya?
Contoh kedua hadis berikut ini,
«مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ». [«صحيح البخاري» (9/ 15 ط السلطانية)]
Artinya,
“Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah!” (H.R. al-Bukhārī)
Hadis di atas juga jelas sahih. Diriwayatkan al-Bukhārī. Sekarang bayangkan jika ada orang awam membaca hadis di atas, lalu dipahami sendiri lalu menyimpulkan bahwa siapapun yang murtad maka wajib dibunuh. Lalu dia bawa golok kemana-mana siap menebas leher orang-orang Islam yang murtad, atau bahkan mungkin memahami lebih jauh dari itu, orang yang pindah agama dari Kristen ke Buddha misalnya juga dia tebas batang lehernya karena termasuk mengganti agama! Apakah Anda bisa membayangkan dampak kerusakannya?
Contoh ketiga hadis berikut ini,
«وَجَعَلَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ». [«صحيح البخاري» (4/ 16 ط السلطانية)]
Artinya,
“Dia (Ummu Ḥarām binti Milḥān) mulai mencari kutu pada kepala Rasulullah ﷺ lalu beliau tertidur” (H.R. al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas diceritakan bahwa Rasulullah ﷺ tidur di pangkuan Ummu Ḥarām binti Milḥān, lalu Ummu Ḥarām mencari kutu di kepala Rasulullah ﷺ padahal Ummu Ḥarām itu wanita ajnabiyyah bagi Rasulullah ﷺ!
Hadis inipun sahih. Diriwayatkan al-Bukhārī. Kitab paling sahih setelah Al-Qur’an!
Bayangkan jika ada orang awam “berijtihad” memahami sendiri hadis ini lalu menyimpulkan boleh hukumnya pangku-pangkuan dengan wanita ajnabiyyah untuk dicari kutu kepalanya sampai tertidur! Bayangkan pula jika sampai ada yang menggagas “pacaran syar‘i” berdasarkan riwayat ini. Apakah Anda bisa membayangkan dampak kerusakannya?
Tentu saja pemahaman awam dalam tiga ilustrasi di atas keliru semua.
Yang benar begini:
Nikah mut’ah itu memang awalnya mubah, tapi setelah itu ada hadis lain yang mengharamkan sampai hari kiamat.
Hadis menghukum bunuh orang murtad itu memang benar, tapi hanya ḥākim (penguasa) yang berhak melaksanakannya, bukan semua orang.
Hadis Rasulullah ﷺ dicari kutu kepalanya oleh Ummu Ḥarām itu juga benar, tapi itu kekhususan Rasulullah ﷺ karena beliau maksum dan tidak bisa ditiru umatnya.
Kalau begitu bagaimana cara yang lebih tepat dalam memahami dalil agar tidak tersesat?
Cara paling aman adalah melalui mazhab. Sebab mazhab itu didirikan oleh para mujtahid mutlak yang memahami dalil secara komprehensif, mendalam, komplit dan tercerahkan. Mereka tidak hanya bertumpu pada satu dua dalil, tapi melacak seluruh dalil yang temanya sama, mengumpulkannya, meneliti konteksnya, mengkaji sejarahnya, memastikan waktu kemunculannya agar diketahui potensi nasikh-mansukhnya, dan mengkaji seluruh ikhtilaf pemahaman terkait dalil tersebut, kemudian baru menarik benang merah dari semuanya lalu menyimpulkan. Cara memahami dalil seperti ini lebih akurat, memenuhi definisi ijtihad sahih, lebih warak, lebih bertakwa, dan jauh lebih berhati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Allah.
Jika tidak bermazhab, maka minimal mencari keterangan ulama otoritatif yang menghimpun penjelasan para mujtahid tersebut. Misalnya memahami makna ayat dengan merujuk tafsir al-Qurṭubī, atau tafsir Ibnu Kaṡīr, atau tafsir Fatḥu al-Qadīr dan semisalnya. Saat memahami hadis merujuk kitab Fatḥu al-Bāri, atau Syarah al-Nawawī ‘Alā Muslim, atau ‘Aunu al-Ma‘būd, atau Tuḥfatu al-Aḥważī dan semisalnya.
Ringkasnya, jangan coba-coba memahami dalil sendiri jika Anda bukan mujtahid mutlak. Apalagi hanya berbekal terjemahan! Anda bisa tersesat dan menyesatkan orang lain!
Jangankan awam, yang bisa bahasa Arab dan baca kitab arab gundul saja bisa juga tersesatkan. Bukankah kita pernah mendengar ucapan Ibnu ‘Uyainah yang berbunyi “al-ḥaḍīṡ maḍāllatun illā lil fuqahā’” (hadis itu bisa menyesatkan kecuali bagi para fukaha)? Ini menunjukkan ahli hadis zaman dulu saja bisa tersesat dan keliru memahami hadis jika tidak ditolong para fukaha, apalagi orang awam.
Sampai di titik ini bahkan saya mulai khawatir bahwa mengajari awam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah tanpa mengajari bagaimana menerapkan seruan itu dengan benar, lalu mengajari sejarah mazhab dan menempatkannya secara proporsional, yang demikian itu justru akan menjadi salah satu penyebab dosa jariah. Sebab, saya percaya munculnya aliran sesat, paham nyleneh dan kelompok menyimpang itu karena para tokohnya memahami dalil sendiri tanpa mengerti kapasitas dirinya.
8 Syawal 1443 H/ 9 Mei 2022 M pukul 10.37