Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Mungkin karena dominasi akal dan rasionalitas, umumnya para lelaki itu menjadi pribadi yang simpel, tidak mau ribet, efektif dan efisien. Tapi justru karena itu, lelaki malah dikenal sebagai makhluk kurang peka dengan orang lain. Ia sulit tersentuh dan tidak gampang menangis.
Lelaki bisa dengan mudah begitu “tega” dalam memutuskan sejumlah hal yang mana wanita barangkali akan berfikir ribuan kali untuk melakukannya. Tentu saja ketidakpekaan lelaki bukan bermakna mereka tidak punya perasaan. Hanya saja, rasionalitasnya yang dominan membuat perasaannya cenderung sering dikalahkan. Termasuk dalam urusan cinta. Maunya kalau nikah secepat-cepatnya. Tapi kalau terasa sulit, memutus harapan nikahpun juga selekas-lekasnya. Agar tidak terlalu dalam masuk ke hati, sehingga malah makin menyiksa.
Mungkin ini pula salah satu hikmah mengapa nabi dan rasul selalu diutus dari kalangan lelaki. Sebab mengemban risalah dari Allah itu amanah yang sangat berat, menguras emosi, membabakbelurkan perasaan, dan menghantam mental setiap saat. Lelaki dengan dominasi rasionalitas cenderung lebih kuat daripada wanita untuk mengemban amanah ini.
Hanya saja, teladan terbaik kita yakni Rasulullah ﷺ ternyata menunjukkan bahwa beliau adalah pribadi yang peka meskipun beliau laki-laki.
Saya akan memberikan empat kisah untuk menggambarkan bagaimana pekanya Rasulullah ﷺ.
Pertama, kisah Abu Hurairah
Suatu hari Abu Hurairah kelaparan. Masa muda beliau memang diuji penderitaan dan kemiskinan. Beliau tinggal di ṣuffah masjid. Sudah dikenal dalam sejarah bahwa Sahabat yang termasuk Ahluṣ Ṣuffah adalah Sahabat yang miskin.
Abu Hurairah keluar dan duduk di pinggir jalan. Harapannya ada yang lewat lalu mengajaknya makan. Abu Bakar lewat, lalu Abu Hurairah menahannya dengan bertanya makna sebuah ayat. Tujuan Abu Hurairah sebenarnya hanya mengharap diajak makan. Ternyata Abu Bakar tidak paham. Setelah menjawab pertanyaan, beliaupun berlalu. Kemudian datang Umar. Tapi ceritanya sama. Setelah Umar menjawab pertanyaan Abu Hurairah, Umar langsung berlalu.
Kemudian datang Rasulullah ﷺ. Kali ini beda. Begitu Rasulullah ﷺ melihat kondisi Abu Hurairah dan mimik wajahnya, tahulah beliau bahwa ini wajah orang yang kelaparan yang berharap diajak makan. Rasulullah ﷺ pun tersenyum lalu bersabda, “Abā Hirr..ilḥaq” (hai Abu Hurairah, ayo ikut aku)”. Ternyata Rasulullah ﷺ peka saat melihat Sahabatnya kelaparan.
Kedua, Kisah Salman al-Fārisī
Salman sempat dipesani gurunya untuk mencari nabi terakhir. Ciri-ciri nabi terakhir itu adalah akan muncul di tanah Arab, akan hijrah dari tempat kelahirannya menuju tempat yang banyak kurmanya, mau menerima hadiah tapi tidak mau menerima sedekah, dan di antara dua pundaknya terdapat tanda kenabian.
Dalam kisah yang panjang, semua ciri itu terkonfirmasi pada Rasulullah ﷺ. Tinggal satu ciri saja yang belum diketahui, yakni cap kenabian di antara pundak.
Suatu hari Rasulullah ﷺ mengantar jenazah bersama sejumlah sahabatnya. Salman datang. Gerak-gerik Salman menunjukkan beliau mencari sesuatu dari arah punggung Rasulullah ﷺ. Perilaku seperti ini diketahui Rasulullah ﷺ. Tanpa berkata apa-apa Rasulullah ﷺ langsung membuka semacam mantel beliau yang menutupi pundaknya sehingga tanda kenabian itu terlihat jelas oleh Salman.
Langsung saja Salman menghambur ke arah Rasulullah ﷺ, memeluk punggung beliau erat-erat, dan menangis tersedu-sedu. Sekarang Salman yakin seyakin-yakinnya bahwa pribadi di hadapannya adalah nabi terakhir yang diceritakan gurunya berdasarkan nubuat Nabi Isa Alaihissalam. Setelah Salman puas mengungkapkan perasaanya, Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadanya, “Taḥawwal” (berpindahlah). Lalu Salman berpindah posisi dan menceritakan kisah hidupnya dalam perjuangannya mencari kebenaran.
Ketiga, Kisah Ali melamar Fatimah
Ketika Fatimah; putri Rasulullah ﷺ mulai diinginkan sejumlah lelaki, Ali disarankan untuk meminangnya. Awalnya Ali ragu-ragu karena merasa miskin tidak punya mahar yang pantas. Tapi Ali terus diyakinkan dengan berbagai argumentasi sampai Ali memberanikan diri maju menghadap Rasulullah ﷺ.
Tapi wibawa Rasulullah ﷺ luar biasa besar.
Begitu di hadapan Rasulullah ﷺ, Ali langsung mati kutu. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya apakah ada keperluan, Ali tidak sanggup menjawab sepatah katapun. Beliau benar-benar merasa terbungkam sebungkam-bungkamnya. Rasulullah ﷺ sampai mengulang pertanyaan itu sebanyak tiga kali dan Ali masih belum sanggup menjawab.
Akhirnya Rasulullah ﷺ yang peka bertanya, “La‘allaka ji’ta takhṭubu fāṭimah?” (kamu datang untuk melamar Fatimah, ya?). Nah, dengan bantuan pertanyaan ini barulah Ali bisa menjawab, “Na’am ya Rasulallāh” (iya wahai Rasulullah).
Keempat, Kisah Aisyah ingin “nonton “
Suatu hari orang-orang Habasyah mendemonstrasikan tari perang di masjid nabawi. Aisyah penasaran ingin menontonnya. Apalagi waktu itu beliau masih gadis remaja. Wajar jika hasrat “bermain” masih cukup kuat. Beliau sendiri mengungkapkan perasaan itu dengan ucapan “al-jāriyah al-ḥadīṡah al-sinni al-ḥarīṣah ‘alā al-lahwi (seorang gadis remaja yang masih muda yang sangat cenderung bermain-main)
Barangkali Rasulullah ﷺ melihat tanda-tanda keinginan itu pada Aisyah, lalu akhirnya menawarkan “yā ḥumairā’ atuḥibbīna an tanẓurī ilaihim?” (Wahai Humaira, apakah kamu suka menonton mereka?). Tentu saja dengan gembira Aisyah mengiyakan. Rasulullah ﷺ memfasilitasi, dan Aisyah menonton pertunjukan mereka sampai puas.
Bayangkan jika suami punya kepekaan seperti Rasulullah ﷺ ini.
Istri seperti ingin rekreasi, lalu diajak rekreasi.
Istri seperti ingin dibantu mengurus anak, langsung sigap mengurus anak.
Istri seperti ingin dibantu memberesi rumah, tanpa berkata langsung bersih-bersih dan rapi-rapi rumah.
Istri seperti ingin diajak makan di luar, langsung menawarkan makan di luar.
Istri seperti butuh teman curhat, segera diajak ngobrol sampai menumpahkan semua perasaannya sepuasnya.
Istri seperti cemburu atau seperti merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya yang berpoligami, suami langsung mengklarifikasi dan segera menebus kesalahannya.
Dan seterusnya.
Bisa jadi istri seperti itu akan merasa menjadi salah satu istri yang paling beruntung di dunia.
Jika Rasulullah ﷺ bisa, maka seharusnya umatnya di kalangan lelaki optimis juga bisa melakukannya. Meskipun harus melewati usaha keras dalam melatih dan membiasakan.
Entah kepekaan Rasulullah ﷺ yang saya ceritakan di atas bersifat genetik, bimbingan wahyu, ataupun hasil didikan Allah, akan tetapi kepekaan tersebut jelas mencerminkan akhlak mulia. Sebab, dengan kepekaan itu beliau lebih mudah melakukan amal saleh seperti menyayangi yang kelaparan, membantu hamba Allah menemukan kebenaran, menjaga kehormatan Sahabat dan mempergauli istri dengan baik.
CATATAN
Nas-nas dalam catatan ini hanya saya berikan dalam bentuk kata kunci. Khawatir terlalu panjang dan membuat sebagian orang tidak kuat membaca jika disertakan semua riwayatnya.
15 Syawal 1443 H/ 16 Mei 2022 M pukul 14.40