Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Contoh kemungkaran halus di dunia akademik saat membahas ilmu syar’i misalnya yang ditulis oleh D.S. Powers. Dalam papernya yang berjudul “The Islamic Inheritance System: A Socio-Historical Approach” yang diterbitkan oleh Jurnal “Arab Law Quarterly” 8, no. 1 (1993): 13–29, https://doi.org/10.2307/3381490, dia menulis begini,
“According to the classical view, once the Islamic law of inheritance had been CREATED, there could be no question of any further reforms or modifications”
Perhatikan diksi CREATED yang saya tulis dengan huruf kapital.
Kata itu kelihatan “sederhana” dan “cuma” satu kata, tapi hakikatnya sesungguhnya menyisipkan pemahaman batil yang dimiliki penulisnya (tipikal sarjana Barat yang memang tidak mengimani nabi Muhammad) yang akan merusak konsepsi Islam di pikiran akademisi.
Di mana letak kesalahannya?
Mengatakan fikih waris dalam Islam apalagi hukum waris dalam Islam DICIPTAKAN itu salah besar.
Ini akan menimbulkan persepsi bahwa ajaran din itu diciptakan manusia. Dampaknya, agama Islam akan dianggap hasil cipta karsa manusia, alias hasil budaya, bukan berasal dari wahyu yang diturunkan Allah.
Fikih waris tidak pernah diciptakan. Bahkan semua fikih tidak pernah diciptakan oleh ulama.
Peran ulama hanyalah berusaha MEMAHAMI dalil, bukan menciptakan hukum.
Jadi fikih itu hasil pemahaman, bukan diciptakan akal budi manusia seperti hukum positif (qānūn waḍ‘ī).
Oleh karena itu, istilah yang dipakai ulama adalah istinbāṭ (الاستنباط), yakni “menggali” hukum dari dalil, seperti orang menggali sumur untuk memperoleh air.
Dengan demikian, tidak benar jika fikih diopinikan sebagai hasil creation (penciptaan, kreasi). Malahan kreasi itu dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ibda‘ (الابداع) dan ibdā’ itu haram berdasarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ karena Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan bahwa segala hal baru untuk mengreasikan konsep baru yang bertentangan dengan dalil adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.
Fikih bukan hasil ibdā’, juga bukan hasil ṣinā‘ah, juga bukan hasil tasyri‘, juga bukan creation atau istilah apapun dengan membayangkan bahwa subyeknya adalah manusia dan akal manusia.
Fikih itu sumbernya dari Allah, yang menetapkan Allah, dan peran manusia hanyalah berusaha memahaminya dan menggalinya. Jika hasil pemahaman itu sifatnya pasti, maka bisa langsung dinisbahkan kepada Allah. Jika hanya dugaan kuat maka dinamakan ijtihad, atau ra’yun.
Al-Syāfi‘ī termasuk mujtahid mutlak yang sangat sensitif masalah menciptakan hukum ini. Di antara kalimat terkenal beliau berbunyi,
«مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ». [«المستصفى» (ص171)]
Artinya,
“Barang siapa (menetapkan sesuatu dengan) beristihsan, berarti dia telah membuat syariat” (al-Mustaṣfā, hlm 171)
Artinya beliau mengingkari keras jika manusia sampai membuat (syarra‘ā) hukum.
Jangankan gagasan paham liberal yang menghendaki syariat diubah mengikuti perkembangan zaman, orang yang konsisten dengan dalil tapi masih memakai cara istiḥsān saja dianggap al-Syāfi‘ī telah membuat syariat.
Yang berhak membuat hukum hanyalah al-Syāri‘, yakni Allah sebagai al-ḥākim . Tugas manusia hanya memahami ajaran Allah itu semaksimal mungkin, bukan membuat hukum.
4 Dzulqa’idah 1443 H/ 4 Juni 2022 M pukul 14.35