Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pengetahuan ini bagi muslim Jawa penting. Gunanya adalah menghindari kesalahan identifikasi saat melacak silsilah keluarga. Tentu saja bagi seorang muslim, melacak silsilah keluarga itu bagian amal saleh untuk melaksanakan perintah silaturahmi.
Saya belum tahu area akurat mana saja tradisi ini dipraktekkan.
Hanya saja, hasil interaksi dengan sejumlah kerabat dan kawan saat melacak nama-nama leluhur membuat saya menyimpulkan bahwa tradisi ini di praktekkan di sejumlah kota di antaranya: Malang (termasuk Batu), Jombang, Blitar, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Lumajang, Solo, Bangkalan, bahkan Lombok.
Tradisi ini gambaran ringkasnya begini.
Nama asli saya adalah Mokhamad Rohma Rozikin (Rozikin). Nama pena saya Muafa. Nama anak saya yang pertama adalah Haura. Nah, jika saya hidup di zaman tradisi ini dipraktekkan (mungkin sekitar tahun 1970 ke bawah. Sampai zaman Diponegoro berdasarkan data yang saya miliki masih dipraktekkan), maka saya akan dipanggil orang dengan panggilan HAURA!
Jadi, di rumah saya akan ada 2 manusia yang dipanggil dengan Haura: Pertama: Putri saya sendiri, kedua: saya sendiri sebagai ayahnya!
Paman-paman saya, bibi-bibi saya, sampai tetangga sepuh saya akan memanggil saya dengan Haura!
Yang membedakan saya dengan Haura putri saya adalah imbuhan di depannya saja. Jika yang memanggil saya adalah adik kandung saya, maka saya dipanggil lengkap “Mas Haura”. Jika yang memanggil saya adalah keponakan saya, maka saya akan dipanggil “Man Haura” atau “Paman Haura”. Jika yang memanggil saya adalah cucu saya, maka saya akan dipanggil “Yai Haura” atau “Mbah Haura”. Jika yang memanggil istri saya maka saya akan dipanggil “Pakne Haura” atau “Pak’e Haura”. Jika yang memanggil tetangga, maka saya bisa dipanggil “Pak Haura” (awas, bukan pakne Haura). Tapi jika yang memanggil saya adalah orang-orang yang kedudukan kekerabatan saya di atas saya, misalnya kakak atau paman atau bibi maka saya akan dipanggil “Haura” persis seperti anak pertama saya!
Akan membingungkan? Iya. Tapi itulah fakta tradisi yang ada di sebagian masyarakat kita.
Pengetahuan ini sungguh berguna saat kita ingin melacak silsilah keluarga, agar tidak mengalami waham dan tidak sampai salah identifikasi.
Awal mula saya memperhatikan soal ini adalah saat mengetahui ada “ikhtilaf” antar informasi nasab dari ayah saya dibandingkan dengan informasi dari saudara jauh yang terhitung paman ayah saya.
Ayah saya mengajarkan bahwa nasab saya adalah Mokhamad Rohma Rozikin bin Mualip bin Kasiran bin Karbi bin Sowinangun.
Tapi paman jauh dari ayah saya mengingkari pembedaan nama Karbi dengan Sowinangun. Menurut beliau Yai Karbi dan Sowinangun itu ya orang yang sama. Beliau tidak mengenal anak Sowinangun yang bernama Karbi.
Saat saya konfrontasi pendapat tersebut, ayah saya menjelaskan bahwa istilah Yai Karbi itu adalah kebiasaan orang dulu menyebut nama seseorang dengan nama anak pertamanya. Jadi namanya benar Sowinangun, tapi karena anak pertama bernama Karbi, maka cucu-cucunya memanggil dengan sebutan Yai Karbi.
Awalnya saya masih taraf menyimpan informasi tradisi ini.
Belum membenarkan.
Masih ada keraguan.
Tapi begitu saya ketemu dengan salah satu kerabat dari jalur ibu, maka hilanglah seluruh keraguan saya dan menjadi yakin bahwa tradisi itu memang ada. Apalagi setelah terkonfirmasi dari belasan persaksian lain yang sama.
Yang membuat yakin adalah ada kerabat yang bernama Supeno dan punya anak pertama bernama Sri. Supeno punya kakak bernama Sarmo. Saat membicarakan masalah warisan, Sarmo bilang kepada sang adik yakni (Supeno),
“Sri, masalah tanah warisan dari ibu, kita sebagai laki-laki tidak usah mengambil jatah. Biar dimiliki saudari-saudari kita saja”
Saya sempat protes pada informan saya asal Blitar tersebut, “Namanya kan Supeno? Kok kakaknya memanggil adik laki-lakinya dengan panggilan Sri?”
Lalu beliau menjawab,
“Iya, itu kebiasaan orang-orang kuno. Memanggil orang dengan nama anak pertama”
Dari situ saya teringat informasi tradisi ini dari ayah, sehingga menyimpulkan bahwa pengetahuan ini memang benar dan penting untuk memecahkan sejumlah informasi nasab dan silsilah keluarga yang sering mengalami waham.
Bagaimana dengan daerah Anda?
Pernahkah mendengar tradisi serupa?
29 Dzulhijah 1443 H/ 28 Juli 2022 pukul 13.50