Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Seorang lelaki tua renta menjelang kematiannya memanggil salah satu anaknya lalu berkata,
“Anakku, tanah tempat berdiri rumah kita ini diminta kembali oleh anak-anak pakdhemu. Bagaimana pendapatmu?”
Sang anak dengan keheranan hanya menjawab pasrah,
“Kalau diminta ya sudah, Pak. Tidak mengapa berikan saja”.
Setelah itu lelaki tua itu wafat dengan meninggalkan sebidang tanah dengan rumah yang berdiri di atasnya.
Beberapa saat kemudian, datanglah “si anak-anak pakdhe” tersebut. Cocok dengan “sounding” almarhum, mereka datang untuk “meminta kembali” tanah.
Tidak semua tanah yang diminta, hanya sebagian saja.
Ada kesan bahwa sekitar separuh dari tanah itu adalah hak milik “si anak-anak pakdhe”, sementara separuh sisanya dan bangunan rumah adalah hak milik almarhum. Jika benar hak almarhum hanya separuh tanah dan bangunan rumah, berarti hanya itulah yang bisa diwariskan untuk anak-anaknya.
Tapi sang anak almarhum heran.
Jika benar itu hak “si anak-anak pakdhe”, mengapa baru diminta saat almarhum menjelang wafat?
Sang anak juga heran, karena sertifikat tanah dan rumah jelas tertulis atas nama Almarhum.
Saat “si anak-anak pakdhe” dikonfrontasi dengan fakta keabsahan sertifikat tersebut, mereka mengklaim bahwa almarhum memalsukan tanda tangan sehingga bisa memiliki sertifikat atas namanya.
Sang anak makin bingung, sebenarnya bagaimana sejarah tanah dan rumah tersebut?
Apakah tanah itu sebelumnya hak penuh “si pakdhe” lalu dihibahkan separuh untuk almarhum?
Ataukah tanah itu milik “si pakdhe” lalu dijual kepada almarhum tapi baru lunas separuh?
Ataukah sebenarnya “si pakdhe” hanya berhak separuhnya, lalu karena kasihan melihat adiknya miskin, kemudian mengizinkan dipakai oleh sang adik (almarhum) hingga sang adik beranak cucu dan sampai “si pakdhe” wafat juga tidak diterangkan kepada anak-anaknya?
Bagaimana sebenarnya status penggunaan tanah itu?
Semuanya gelap.
Sang anak tidak tahu sejarahnya.
Yang ditahu anak hanyalah pertanyaan Almarhum menjelang wafat,
“Anakku, tanah tempat berdiri rumah kita itu diminta kembali oleh anak-anak pakdhemu. Bagaimana pendapatmu?”
Sebuah pertanyaan yang memberi kesan bahwa “anak-anak pakdhe” memang punya hak. Sebab andai tidak punya hak, nada pertanyaannya mungkin sudah emosi. Orang umumnya marah atau minimal jengkel jika ada orang lain yang tidak punya hak dengan seenaknya ingin menguasai harta yang bukan haknya.
Juga hanya tahu bahwa sepupu-sepupunya datang untuk “meminta kembali” sebagian tanah yang ditempati mereka.
Karena kasus ini, akhirnya hubungan di antara dua keluarga itu berpotensi kurang enak. Sebab anak-anak almarhum bukan orang-orang yang kaya sehingga bisa dengan mudah menyelesaikan perselisihan itu memakai hartanya. Anak-anak “si pakdhe” juga heterogen, ada yang kaya dan ada yang kurang sehingga masih terasa berat untuk merelakan sebagian tanah yang ditempati almarhum dan anak-anaknya.
***
Kasus ketidakjelasan sejarah properti dalam satu unit keluarga seperti di atas cukup sering terjadi. Dampak dari kasus tersebut berpotensi membuat hubungan kekerabatan jadi merenggang, silaturahmi terancam putus dan ketegangan antar keluarga jadi muncul.
Oleh karena itu, fakta-kata semisal itu di masyarakat seharusnya menyentak kesadaran kita agar dalam mendidik anak itu kita harus mengagendakan untuk mengajarkan pengetahuan tentang properti yang dimiliki.
Bukan dengan maksud menumpuk kecintaan terhadap harta, juga bukan untuk mengajarkan sifat “kemaruk” bin tamak terhadap dunia, tetapi mengajarkan sejarah properti dan pengetahuan tentangnya semata-mata dengan semangat ketakwaan. Yakni menghindari kezaliman, memperjelas hak dan kewajiban, menghindari konflik, memecahkan problem, dan meringankan yang sudah ada di kuburan.
Jika posisi kita menjadi anak dan melihat orang tua kurang memberi perhatian terhadap pengenalan properti, maka kita yang harus pro aktif dan mencari tahu sejarah semua properti orang tua, agar saat beliau wafat tidak sampai terjadi masalah antar keluarga gara-gara warisan hanya karena tidak mengerti sejarah propertinya.
Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada kita untuk memburu apapun yang bermanfaat untuk urusan dunia maupun akhirat kita. Mencari tahu sejarah properti orang tua termasuk hal bermanfaat karena bisa mencegah salah paham, memecahkan problem, memblokir kezaliman, mengurai keruwetan, meringankan beban orang dan membantu ketakwaan. Oleh karena itu, belajar sejarah properti orang tua termasuk mengajarkannya kepada anak harus menjadi salah satu agenda dalam hidup kita. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya
“Seriuslah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu” (H.R.Muslim)
Mengomentari hadis ini, Abu al-‘Abbas al-Qurtubi menjelaskan maknanya sebagai berikut,
Artinya,
“Bersungguh-sungguhlah untuk mengoleksi apapun yang bermanfaat bagimu baik urusan din maupun duniamu, yang dengannya engkau bisa menggunakannya untuk menjaga dinmu, menjaga keluargamu/tanggunganmu dan kemuliaan akhlakmu. Jangan melalaikan memburu hal seperti itu dan jangan lemah dengan alasan pasrah dengan takdir. Jika engkau seperti itu, maka engkau dianggap lalai dan dicela karena kelalaian itu baik secara syar’i maupun secara tradisi.” (al-Mufhim, juz 6 hlm 682)
Adapun properti yang dikenalkan, maka cukup yang besar-besar saja. Yakni properti yang punya potensi menjadi sumber pertengkaran. Yang termasuk jenis ini adalah tanah, rumah/bangunan, tempat usaha, kendaraab dan harta apapun yang nilainya besar. Adapun properti yang kecil-kecil seperti ponsel, tas, pakaian, alas kaki dan semisalnya tidak masalah jika diabaikan karena biasanya hal-hal demikian tidak terlalu menjadi penyebab masalah.
Adapun level kedalaman mengenal sejarah properti, maka itu dikembalikan pada maksud mengenal properti, yakni mencegah segala mafsadat/kerusakan/mudarat yang timbul akibat kekaburan sejarah properti. Oleh karena kebanyakan perselisihan terkait properti itu seringkali berhubungan dengan status kepemilikannya, maka semua sejarah akad dan taṣarruf properti harus diketahui lengkap dengan bukti-buktinya. Semua dokumen yang membantu juga harus disimpan baik-baik. Semua saksi yang terkait dengan akad dan taṣarruf itu harus dicatat. Jika bukti kepemilikan belum jelas dan masih kabur, sedapat mungkin segera diuruskan sertifikat kepemilikannya.
Jika terkait tanah misalnya, harus diketahui siapa pemilik awal tanah itu, setelah itu berpindah ke tangan siapa saja. Perpindahan itu juga harus jelas, apakah melalui akad jual beli, hibah, warisan, hak pakai atau apa. Bukti-bukti dari transaksi atau saki-saksi juga harus didokumentasi dengan baik.
Jika terkait bangunan, maka juga harus diketahui dengan jelas. Siapakah yang membangun, atas biaya siapa, prosentase kepemilikan bangunan itu, apakah hak milik pribadi atau komunal, apakah milik keluarga ataukah yayasan, apakah sudah diwakafkan ataukah belum. Bukti-bukti akad, transaksi dan saksi-saksi juga harus didokumentasi dengan baik.
Jika jauh hari proses mengenal properti ini sudah disiapkan, maka saat terjadi perselisihan seputar tinggalan seperti kasus lelaki tua dalam kisah di atas, maka insya Allah permasalahan bisa diselesaikan dengan baik dan tidak harus sampai mengorbankan persaudaraan yang mengakibatkan putusnya silaturahmi.
19 Muharam 1444 H/ 17 Agustus 2022 pukul 07.28