Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Motivasi belajar nasab minimal dua.
Pertama, ada perintah lugas Rasulullah ﷺ.
Kedua, untuk menjalankan syariat silaturahmi.
Terkait perintah lugas Rasulullah ﷺ, hal itu diriwayatkan oleh al-Tirmiżi sebagai berikut,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ‘Pelajarilah nasab/kerabat kalian’.” (H.R. al-Tirmiżī)
Seandainya tidak ada dalil lain kecuali hanya hadis ini saja, maka seharusnya itu sudah cukup untuk membuat bersemangat mempelajari nasab kita masing-masing. Sebab, ketika sebuah perbuatan diperintahkan Rasulullah ﷺ, maka hukum asalnya perbuatan tersebut pastilah amal saleh. Jika tidak wajib maka minimal sunah. Jadi, berdasarkan hadis ini minimal kita sudah bisa meyakini bahwa aktivitas belajar nasab adalah amal saleh, karena langsung diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ.
Terkait motivasi kedua, maka sudah diketahui bahwa silaturahmi itu hukumnya fardu ain. Bukan sekedar sunah, apalagi mubah. Wajib diagendakan, tidak boleh hanya menunggu waktu luang. Untuk bisa menjalankan silaturahmi, maka tidak mungkin itu dilakukan kecuali dengan belajar nasab. Agar tahu kerabat mana saja yang wajib disambung tali silaturahminya. Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini belajar nasab menjadi wajib karena tidak mungkin bisa menjalankan kewajiban silaturahmi tanpa mengenal kerabat. Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan bahwa maksud belajar nasab itu adalah untuk menjalankan syariat silaturahmi Al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ‘Pelajarilah nasab/kerabat kalian sampai level dengannya kalian bisa menyambung tali kekerabatan kalian’.” (H.R.al-Tirmiżī)
Adapun sekeras apa level kita mempelajari nasab, maka itu harus difahami dari lafal sabda Nabi ﷺ yang berbunyi “ta’allamū” (تَعَلَّمُوا).
Kata ta’allamū (تَعَلَّمُوا) adalah fi’il amr (kata kerja perintah) dari kata ta’allama (تَعَلَّمَ). Kata ta’allama dipecah dari kata ‘alima (عَلِمَ) atau al-‘ilmu (العِلْمُ). Makna ‘alima sendiri adalah “mengetahui”. Kata ‘alima tersebut lalu diubah mengikuti wazan tafa’-‘ala (تَفَعَّلَ) sehingga menjadi ta’allama (تَعَلَّمَ). Makna yang diberikan wazan tafa’-‘ala dalam konteks ini adalah takalluf (التَّكَلُّفُ), yakni berpayah-payah diri atau berjuang keras atau bersusah susah diri untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya kata taṣabbara (تَصَبَّرَ). Kata tersebut bermakna berjuang keras untuk mendapatkan ṣabr (الصَّبْرُ)/ketabahan, atau berpayah-payah diri atau bersusah-susah diri untuk mendapat ketabahan. Dengan demikian, ta’allama bisa dimaknai “Aktivitas berjuang keras/berpayah-payah diri/bersusah-susah diri untuk mendapatkan ilmu”.
Sampai di sini kita mulai bisa merasakan di level apa Rasulullah ﷺ memerintahkan kita untuk mengenal nasab dan kerabat itu.
Sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,
Seakan-akan mengandung makna, “berjuang keraslah, berpayah-payah lah dan bersusah-susah dirilah untuk memperoleh pengetahuan terkait nasab dan kerabat kalian”.
Jadi, tidak cukup kalian hanya asal dengar lalu tidak peduli apakah ingat dan hafal nama kerabat ataukah tidak. Juga belum cukup asal datang ke kerabat tapi tidak mencari tahu tentang nasab dan identitas mereka. Yang benar, bersungguh-sungguhlah dan berpayah-payahlah kalian dalam belajar tentang nasab dan identitas mereka sampai level kalian bisa menjalankan silaturahmi sebaik-baiknya sebagaimana diperintahkan Allah kepada kalian.
Jika seperti ini level belajar nasab yang diperintahkan Nabi ﷺ, berarti setiap mukmin dituntut untuk memburu pengetahuan nasab dengan segala wasilah yang tersedia di depannya.
Secara fakta, kerabat yang hendak dilacak informasi tentangnya itu pasti terdiri dari dua kelompok.
Pertama kelompok yang masih hidup.
Kedua kelompok yang sudah wafat.
Oleh karena itu secara alami pelacakan informasi tentang kerabat mau tidak mau pasti akan menyesuaikan dengan dua fakta yang berbeda ini.
Untuk kerabat yang masih hidup, informasi tentang mereka bisa didapatkan dengan menemui langsung. Untuk yang sudah wafat, mau tidak mau pelacakan informasi tentang mereka hanya mungkin dengan jalan memburu sejarah/berita tentang mereka dari narasumber yang mengetahui mereka. Al-Baihaqi berkata,
Artinya,
“Pengetahuan tentang asal-usul nasab hanyalah mungkin dengan informasi sejarah yang saling menguatkan. Tidak mungkin mayoritas pengetahuan tentang hal itu didapatkan dengan persaksian secara langsung.” (al-Sunan al-Kubra, juz 10 hlm 264)
Berdasarkan hal ini, aktivitas belajar nasab dan pelacakan informasi kekerabatan secara alami misalnya akan melibatkan sejumlah aktivitas berikut ini,
- Rihlah
- Wawancara
- Triangulasi/pengecekan kebenaran data/pencocokan data
- Dokumentasi
- Klasifikasi
- Sistematisasi
- Baganisasi
- Tabulasi
- Menghafal
- Mereview/murajaah
- Mengajarkan
- Mengevaluasi
- Membuat soal latihan
- Membuat soal ujian
- Identifikasi lapangan
Termasuk juga semua hal yang belum disebutkan dalam daftar di atas yang masih tergolong aktivitas untuk merealisasikan aktivitas “berjuang keras mendapatkan pengetahuan tentang kerabat”.
Tampak, bahwa “hanya” dari perintah belajar nasab dari Rasulullah ﷺ, secara tidak sadar kita akan melakukan aktifitas penelitian sederhana dalam istilah modern saat ini. Al-Munawi juga menyebut makna ini dalam kitabnya: Al-Taisīr Bi Syarḥi Al-Jāmi‘ Al-Ṣagīr. Beliau berkata,
Artinya,
“Kenalilah ansāb kalian”, makna ansāb adalah jamak dari nasab yakni kerabat. Maknanya, berusaha keraslah mengenal kerabat dan lalukan penelitian untuknya.” (Al-Taisīr Bi Syarḥi Al-Jāmi‘ Al-Ṣagīr juz 1 hlm 170)
1 Shafar 1444 H/29 Agustus pukul 06.43