Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Motivator islami saya pandang sebagai bagian dari dai. Walaupun umumnya belum masuk definisi ulama.
Insya Allah kiprah beliau-beliau itu bagus dan bermanfaat untuk umat. Malahan, kadang-kadang saya berpikir jangan-jangan motivator islami itu muncul karena lapisan ulama atau santri yang bisa baca kitab itu malah melempem dan tidak berdakwah. Jika benar demikian, berarti itu adalah jenis teguran Allah kepada ahli ilmu dengan cara membangkitkan sebagian hamba-Nya yang mungkin saja awam, tapi punya dedikasi, semangat dan himmah yang jauh lebih baik daripada mereka yang bisa baca kitab atau lulusan pesantren.
Semoga Allah membalas amal-amal beliau yang saleh dan manfaat ilmu yang diajarkan kepada umat.
Tapi menjadi motivator islami tetap harus ngaji.
Harus siap rendah hati.
Siap minta fatwa, siap “ngangsu” ilmu, siap menempatkan diri sebagai murid, walaupun kepada orang yang sama sekali tidak populer.
Bukan hanya motivator islami sebenarnya, tapi mencakup semua dai, penceramah, ustaz dan penyebar dakwah islam yang belum mencapai kualifikasi ulama dan belum memiliki bahasa Arab yang cukup untuk bisa disebut sebagai ulama.
Setiap menyampaikan hukum agama, mereka wajib memastikan berdasarkan ilmu dan ijtihad yang benar. Juga harus bersumber dari rujukan yang otoritatif. Tidak boleh “berijtihad” sendiri.
Biar tidak menyesatkan umat.
Biar tidak merasa memberi manfaat umat, tapi sebenarnya justru malah menyesatkan umat.
Tidak cukup berbekal semangat, pengetahuan agama seadanya, gabung-gabung referensi barat dengan buku-buku agama dan “diislamikan” sendiri, lalu membangun hukum-hukum sendiri atas dasar pengetahuan yang terbatas tersebut.
Contoh kekeliruan fatal oknum motivator misalnya mengatakan begini,
“Haji itu wajib. Tidak mungkin bisa haji kalau tidak kaya. Kesimpulannya, kaya itu wajib!”
Atau mengatakan,
“Tidak mungkin bisa haji jika tidak menabung. Karena itu menabung agar mampu haji hukumnya wajib.”
Ini keliru.
Penjelasan yang benar begini.
Haji itu wajib, tapi Allah hanya mewajibkan haji jika terwujud kemampuan (istiṭā‘ah/qudrah). Jika kemampuan tidak terwujud, maka gugur kewajiban haji. Tidak ada kewajiban untuk mewujudkan kemampuan/istiṭā‘ah/qudrah itu. Tidak ada ayat dalam Al-Qur’an atau riwayat hadis yang mengajarkan konsepsi demikian. Sungguh beda antara kewajiban MELAKSANAKAN HAJI dengan kewajiban MEWUJUDKAN KEMAMPUAN agar bisa haji.
Demikian pula membayar zakat.
Allah mewajibkan membayar zakat jika mencapai nisab, berusia satu tahun dan syarat-syarat wajib zakat lainnya. Tapi tidak ada kewajiban menabung harta agar mencapai nisab untuk mengejar status wajib zakat, sehingga setelah itu menjadi wajib membayar zakat.
Penjelasan hukum seperti kini sudah menjadi ijmak ulama sepanjang masa.
Pangkal kekeliruan oknum motivator itu adalah karena tidak bisa membedakan dua macam kaidah usul fikih yang agak mirip tapi sesungguhnya berbeda.
Kaidah pertama berbunyi:
Mā lā yatimmul wājibu illā bihi fahuwa wājib (مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إلَّا بِه فَهُوَ وَاجِبٌ)
Kaidah kedua berbunyi:
Mā lā yatimmul wujūbu illā bihi falaisa biwājib (مَا لَا يَتِمُّ الوُجُوْبُ إِلَّا بِه فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ)
Kaidah pertama itu benar, contoh prakteknya begini:
Salat tidak mungkin sempurna kecuali dengan thaharah. Karena perbuatan salat lima waktu hukumnya wajib dan tidak mungkin sempurna kecuali dengan thaharah, maka taharah hukumnya wajib.
Contoh lain:
Memahami Al-Qur’an adalah perbuatan yang hukumnya wajib. Tidak mungkin bisa memahami Al-Qur’an tanpa belajar bahasa Arab. Oleh karena itu, belajar bahasa Arab hukumnya wajib.
Adapun kaidah yang kedua, maka contoh prakteknya begini:
Haji itu adalah kewajiban. Tapi ia hanya wajib jika ada kemampuan. Tidak ada tuntuan untuk mewujudkan kewajiban haji itu dengan cara menabung misalnya, atau menjadi kaya, dll. Jadi yang wajib hanya hajinya, bukan mewujudkan kemampuan haji.
Bedanya dengan kaidah yang pertama:
Yang pertama itu untuk menyempurnakan PERBUATAN WAJIB (lihat, lafalnya pakai isim fā‘il/kata sifat).
Kaidah yang kedua itu untuk menyempurnakan HUKUM WAJIB (lihat, lafalnya pakai maṣdar/gerund/kata benda).
Memahami perbedaan dua kaidah ini idealnya memang mengerti bahasa Arab, mengerti usul fikih, dan mengerti furu’ fikih. Tetapi bagi orang yang cerdas dan sedikit serius merenunginya (ditambah sedikit diskusi mungkin), walaupun tidak ideal menguasai hal-hal tadi, insya Allah bisa menangkap perbedaannya.
19 Jumada al-Ūlā 1444 H/13 Desember 2022 pukul 18.31