Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ringkasnya, memandikan jenazah itu seperti mandi besar/janabat bagi orang hidup. Jadi sudah pasti ada aktivitas istinja’/membersihkan najis, membersihkan gigi, mewudukan, mengkeramasi, membersihkan daki/kotoran dan meratakan air ke seluruh tubuh.
Terkait hukumnya, memandikan mayat itu fardu kifayah. Di antara dalilnya adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Mandikan dia (jenazah Sahabat) dengan air dan daun bidara.” (H.R. al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk memandikan mayit. Selama hidup Nabi ﷺ, mayat yang ada juga selalu dimandikan. Rasulullah ﷺ juga mempraktekkannya untuk putri beliau sendiri saat wafat. Padahal memandikan mayat ada potensi melihat auratnya. Rasulullah ﷺ juga hanya mengecualikan untuk kasus tertentu untuk tidak memandikan mayat seperti untuk orang yang mati syahid. Hal ini menunjukkan hukum asalnya memandikan mayit itu fardu kifayah, yakni jika sudah dilakukan maka gugur dosa untuk muslim lainnya. Selain itu, sudah ada ijmak yang menyepakati bahwa memandikan mayit itu farfdu kifayah.
Orang yang mati tenggelam tetap wajib dimandikan walaupun tubuhnya sudah basah dan terendam air. Alasannya, terendam tidak masuk definisi dimandikan. Seandainya pun kita bisa melihat malaikat memandikan seseorang, maka tetap wajib jenazah tersebut dimandikan karena syariat memandikan adalah taklif untuk manusia. Walaupun matinya karena bunuh diri sekalipun, maka memandikannya juga tetap wajib, walaupun kita tahu bunuh diri adalah dosa besar. Hanya orang yang mati syahid saja yang tidak perlu dimandikan. Demikian pula kafir zimmi, ia tidak wajib dimandikan.
Yang terkena tugas wajib memandikan adalah setiap muslim yang mengetahui kematiannya tanpa membedakan saudaranya ataukah bukan. Bahkan seandainya yang melaksanakan kewajiban memandikan adalah jin, maka itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi oleh manusia.
Adapun waktu memandikannya maka disunahkan secepat-cepatnya begitu sudah dipastikan kematian jenazah. Status menyegerakan mandi termasuk semua prosesi sampai dimakamkan adalah sunah, bukan wajib. Dasarnya adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Dari Al Hushain bin Wahwah bahwa Thalhah bin Al Bara` sakit, kemudian Nabi ﷺ mengunjunginya. Lalu beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Thalhah telah mendekati kematiannya, maka beritahu aku (ketika dia meninggal) dan bersegeralah untuk mengurus jenazahnya, karena sesungguhnya tidak layak jasad seorang muslim ditahan diantara keluarganya.” (H.R. Abū Dāwūd)
Lafal utama dalam riwayat di atas yang dijandikan dasar adalah perintah “wa ‘ajjilū” (dan segerakanlah-mengurus pemakamannya-). Perintah tersebut menunjukkan menyegerakan (mubādarah) mengurus jenazah, termasuk di antaranya memandikan hukumnya adalah sunah.
Adapun prosesi memandikan jenazah, maka kita bisa membaginya menjadi 3 tahapan yaitu,
- Persiapan
- Prosesi inti
- Finishing
PERSIAPAN
Ada 7 hal yang perlu kita siapkan sebelum memandikan jenazah.
Pertama, Pasang Parfum
Ada dua lokasi yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama tempat jenazah sebelum dimandikan. Kedua, tempat jenazah saat nanti mandikan.
Peletakan parfum di tempat jenazah sebelum dimandikan adalah karena dikhawatirkan dari jenazah muncul bau yang kurang sedap. Jadi guna parfum tersebut adalah untuk menyamarkan bau tersebut. Adapun peletakan parfum di tempat memandikan adalah karena jenazah nanti akan dikeluarkan fesesnya. Jadi parfum itu dipasang untuk menyamarkan bau feses. Di zaman dulu, pewangi yang digunakan adalah semacam dupa. Di zaman sekarang, pewangi apapun boleh dipakai untuk maksud ini. Jika hendak berhemat, parfum cukup satu saja yang dipakai bergantian di tempat sebelum dimandikan lalu dipindah ke tempat dimandikan saat tiba saat memandikan.
Kedua, Masukkan Jenazah ke Tempat Khusus untuk Memandikan
Masukkan jenazah ke sebuah tempat untuk dimandikan yang memenuhi dua kriteria yakni tertutup/sātirun (ساتر) dan sepi/khālin (خال). Tidak dibedakan apakah tempat tersebut permanen ataukah portabel. Tempat yang beratap/berplafon lebih afdal karena lebih tertutup. Alasan dimasukkan tempat seperti ini adalah karena mayit seandainya hidup dan dimandikan, tentu beliau ingin tempat tertutup dan sepi yang hanya dihadiri keluarganya. Lebih-lebih suasana mandi memungkinkan tersingkapnya sesuatu yang semestinya tidak boleh dilihat/diketahui. Jadi, tempat paling ideal untuk memandikan jenazah adalah yang memenuhi kriteria tersebut, yakni tertutup dan sepi.
Tempat tersebut tidak boleh dimasuki kecuali hanya yang memandikan dan asistennya. Wali mayit boleh masuk meskipun tidak memandikan, tidak membantu dan hanya memberikan instruksi atau mengawasi. Dalil hal ini adalah karena saat Rasulullah ﷺ wafat, yang memandikan adalah Ali dan al-Faḍl dan mereka adalah kerabat Rasulullah ﷺ, lalu Usamah bin Zaid yang mengambilkan air dan al-Abbās sebagai wali Nabi ﷺ yang mengawasi.
Ketiga, Atur Posisi Jenazah
Di tempat untuk memandikan itu letakkan mayit di atas ranjang atau papan dengan posisi terlentang. Tujuan diletakkan di tempat tinggi adalah agar percikan air tidak mengenai mayit. Dalilnya Rasulullah ﷺ dimandikan di atas ranjang/sarīr.
Posisi kepala jenazah diangkat sedikit agar air mudah mengalir ke bawah saat dimandikan, kemudian wajah mayit disunahkan ditutupi kain sejak awal diletakkan dalam ranjang/papan.
Keempat, Atur Pakaian Jenazah
Disunahkan jenazah diberi gamis saat dimandikan karena itu lebih menutup auratnya. Jangan ditelanjangi. Dalilnya adalah karena Rasulullah ﷺ dimandikan dalam keadaan masih memakai gamis. Ibnu Mājah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya ia berkata: “Ketika mereka akan memandikan Nabi ﷺ, tiba-tiba dari dalam ada seseorang yang berseru: “Jangan kalian lepas gamis Rasulullah ﷺ.” (H.R. Ibnu Mājah)
Hanya saja, pilihlah gamisnya yang lusuh/usang atau rendah kualitasnya. Tujuannya agar air mudah sampai ke kulit. Jika gamisnya luas, maka saat memandikan gunakan lubang pada lengan baju. Tidak usah membuat lubang baru pada gamis. Tetapi jika gamisnya sempit maka lubangilah di area dikhrīḍ/gusset.
Jika tidak ada gamis, atau tidak memungkinkan memandikan dengan memakai gamis, maka tutupilah antara pusar dengan lutut dengan kain dan haram melihat area yang ditutup itu.
Kelima, Atur Rambut Jenazah
Jika rambut mayit panjang, maka disunahkan mengkepangnya menjadi tiga. Yakni satu di ubun-ubun dan dua di tanduknya. Kemudian kepangan rambut itu disampirkan ke belakang tubuh mayit. Dalil sunahnya mengkepang rambut mayit adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Bahwasanya Ummu ‘Aṭiyyah berkata, ‘Kami menyisir (rambut)nya (putri Rasulullah ﷺ ) sebanyak tiga kepangan.” (H.R. al-Bukhārī)
Riwayat lain berbunyi,
Artinya,
“Maka kami mengkepang rambutnya sebanyak tiga kepangan dan kami letakkan di belakang tubuh jenazah.” (H.R. al-Bukhārī)
Keenam, Siapkan Air
Sediakan air dingin dalam bejana besar untuk memandikan jenazah. Pastikan bejana jauh dari tempat memandikan agar cipratan air tidak kembali ke bejana.
Diutamakan suhu airnya dingin. Alasannya, air dingin itu lebih mengencangkan badan jenazah, berbeda dengan air panas/hangat yang sifatnya mengendurkan kulit. Adanya bejana dan gayung tidak menjadi keharusan karena itu hanya alat. Di zaman sekarang bisa digantikan dengan selang dan air lewat pipa kran yang berasal dari tandon, PDAM maupun yang langsung disedot dari tanah.
Jika cuaca sangat dingin atau ada kotoran khusus atau kebutuhan lain dan butuh air hangat, maka boleh pakai air hangat, asal jangan terlalu panas airnya agar tidak cepat merusak mayat. Di zaman Nabi ﷺ ada wanita yang ingin anaknya dimandikan dengan air hangat dan tidak disalahkan Nabi ﷺ. Al-Nasā‘ī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ummu Qais dia berkata: “Anakku meninggal maka aku sangat bersedih, aku katakan kepada yang memandikannya: ‘Jangan kamu mandikan anakku dengan air dingin, karena jika demikan berarti kamu berarti telah membunuhnya.” Ukasyah bin Mihsan lalu pergi menemui Rasulullah ﷺ mengabarkan perkataannya Ummu Qais. Rasulullah ﷺ pun tersenyum kemudian bersabda: ‘Bicara apa dia. Semoga panjang umurnya.’ maka kami tidak mengetahui seorang wanita yang lebih panjang umurnya dari dia.'”
Sebagian ulama al-Syāfi‘iyyah ada yang menganjurkan memakai air asin. Adapun memakai air zamzam maka semestinya tidak dilakukan karena ada ulama yang berpendapat mayat manusia itu najis.
Ketujuh, Siapkan Dua Kain Bersih
Siapkan dua kain bersih kira-kira seukuran sapu tangan atau handuk kecil sebelum memandikan. Fungsi dua kain itu nanti adalah untuk mengistinjakkan mayit dan membersihkan mulut sekaligus hidungnya.
Jika hendak memakai pakai dua sarung tangan dan masker agar lebih higienis, maka hal ini tidak dibahas dalam kitab-kitab fikih, hanya saja itu tidak masalah karena termasuk perkara teknis.
PROSESI INTI
Setelah semua persiapan dilakukan, masuklah ke prosesi inti.
Dalam prosesi ini, orang yang memandikan tidak disyaratkan berniat memandikan agar mandinya mayit disebut sah. Sebab tujuan memandikan jenazah hanyalah untuk merealisasikan kebersihan (nażāfah), bukan thaharah, yakni menghilangkan hadas mayit.
Dalam prosesi inti, ada dua kegiatan utama yang dilakukan yaitu mukadimah dan memandikan.
Mukadimah
Dalam mukadimah, ada empat kegiatan yang dilakukan.
Pertama, Keluarkan feses jenazah
Jenazah jangan langsung dimandikan, tapi keluarkan dulu najis tubuhnya, yakni fesesnya. Caranya:
Dudukkan mayit dengan lembut, tapi jangan sampai duduk tegak. Malahan buatlah agak doyong sedikit ke belakang untuk memudahkan keluarnya feses. Lalu letakkan tangan kanan Anda pada pundak mayit dengan ibu jari tangan kanan menyangga tonjolan tengkuk untuk mencegah kepala terkulai. Kemudian punggung mayit sandarkanlah pada lutut kanan Anda agar mayit tidak jatuh. Setelah itu urutlah perut mayit dengan serius memakai tangan kiri untuk mengeluarkan semua kotorannya. Maksud mengurut perut dengan serius adalah berkali-kali, bukan diurut dengan ditekan keras karena yang seperti itu tidak menghormati mayit padahal menghormatinya wajib. Tujuan mengeluarkan feses adalah agar najis tidak keluar saat dimandikan, selesai dimandikan atau selesai dikafani yang akan merusak badan dan kafannya.
Selama proses mengeluarkan najis ini, sediakan parfum semerbak di dekat lokasi memandikan, dan asisten selalu menuangkan banyak air ke arah kotoran agar bau najis tidak menyebar ke mana-mana.
Setelah itu kembalikan jenazah ke posisi terlentang.
Kedua, Istinjakkan Jenazah
Setelah semua feses diperkirakan keluar semua, langkah berikutnya adalah mengistinjak-kan/menceboki mayit. Caranya:
Pastikan qubul dan dubur mayit disiram/disemprot air hingga bersih. Setelah itu ambil kain bersih yang sebelumnya sudah disiapkan, kemudian gunakan untuk membersihkan anusnya, kelaminnya, sekitar anus-kelamin dan rambut kelamin dengan cara mengusapkannya sebagaimana saat beristinjak orang yang hidup. Mengistinjakkan mayit dilakukan dengan tangan kiri. Jika anus dibersihkan dengan satu kain, sementara kelamin dibersihkan dengan kain yang baru, maka itu lebih maksimal dan lebih bersih untuk mayit. Jika memilih melakukan yang terakhir ini, berarti kain bersih yang disediakan ada tiga yaitu kain untuk istinjak dubur, kain untuk istinjak qubul dan kain untuk membersihkan mulut+hidung. Saya memandang, jika kain diganti tisu maka yang demikian itu semoga juga bisa mewakili asalkan tisunya memakai jumlah yang cukup sampai najis diperkirakan sudah benar-benar bersih.
Setelah itu kainnya dilepas dan tangan dicuci memakai air dan sabun.
Jika istinjak ini ditiadakan dan mayit langsung dimandikan sekaligus dibersihkan najisnya (gaslatun wāḥidah), maka yang seperti ini juga boleh dan sah walaupun kehilangan keutamaan.
Ketiga, Bersihkan Kotoran Selain Najis
Setelah mengistinjakkan mayit, langkah berikutnya adalah menghilangkan kotoran jenazah selain najis. Daki-daki bisa dicek, percikan lumpur, tinta, cat, lem, kotoran mata, kotoran telinga, kotoran di bawah kuku dan semisalnya bisa dibersihkan semua.
Di tahap ini tidak perlu memotong kuku mayit, mencukur kumisnya, mencukur/menggundul rambutnya, mencukur bulu kemaluannya, mengkhitannya (misalnya mualaf belum sempat khitan lalu wafat), atau mencabut bulu ketiaknya. Malahan itu hukumnya makruh jika dilakukan. Alasannya, tubuh jenazah itu semuanya terhormat, bahkan rambut tercabut saja kita disuruh untuk mengembalikan ke kepala atau dimasukkan ke dalam kafan. Hal ini bermakna kita dilarang merusak tubuh mayit sekecil apapun.
Keempat, Bersihkan Mulut dan Hidungnya
Setelah membersihkan kotoran jenazah, ambillah kain yang baru, kemudian lilitkan pada jari telunjuk tangan kiri, kemudian basahi dengan air dan gunakan untuk membersihkan gigi mayit. Jika gigi mayit terkatup rapat maka tidak perlu memaksa membuka giginya karena dikhawatirkan air nanti masuk ke perutnya sehingga mempercepat pembusukannya. Pakailah tangan kiri dalam momen ini karena ada ulama yang berpendapat mayat manusia itu najis, sebagai bentuk khurūjan minal khilāf.
Setelah itu bersihkan hidung memakai jari kelingking yang dibasahi sedikit air. Membersihkan gigi dan hidung ini seperti yang juga dilakukan orang hidup saat berkumur dan istinsyaq.
Begitu selesai pada tahap keempat mukadimah ini, maka kita langsung masuk ke prosesi paling inti yakni memandikan jenazah.
MANDI
Saat memandikan jenazah ada tiga tahapan yang dilakukan yaitu mewudukan mayit, mengkeramasi, dan membasuh seluruh badan
Pertama, Mewudukan Mayit
Jangan langsung memandikan, tapi wudukan dulu mayit seperti mewudukan orang hidup. Dalilnya adalah karena Rasulullah ﷺ memerintahkan Sahabiyah untuk mewudukan putri beliau yang wafat sebelum memandikan. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ummu ‘Aṭiyyah beliau berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda kepada para wanita saat memandikan putri beliau, ‘Mulailah dari tubuhnya sebelah kanan dan tempat-tempat wudunya.” (H.R.al-Bukhārī)
Semua gerakan wudu disunahkan dilakukan sebanyak tiga-tiga sebagaimana wudu orang hidup. Kumur-kumur dan istinsyāq juga termasuk definisi wudu dalam hadis di atas, jadi kedua gerakan tersebut juga dilakukan. Cara mengkumur-kumurkan adalah: Masukkan air ke dalam mulut lalu putar dengan jari, lalu keluarkan airnya dengan memiringkan kepalanya. Cara meng-istinsyaq-kan adalah: Ambil air pakai jari lalu masukkan ke dalam hidung dan buang sisa airnya walaupun sedikit.
Pastikan saat mengkumur-kumurkan dan meng-istinsyaq-kan mayit, kepalanya dimiringkan agar air tidak masuk ke dalam perut. Jika gigi terkatup rapat maka tidak perlu dipaksa buka, minimal air sampai pada bibir depan dan depan lubang hidung walaupun tidak sampai masuk ke dalam.
Untuk kumur-kumur dan istinsyaq tidak cukup hanya memasukkan dua jari ke dalam mulut tanpa air, karena itu hanya seperti siwak.
Saat membasuh tangan, gunakan dahan lembut (atau sikat lembut) untuk membersihkan kotoran di bawah kuku (jika sebelumnya belum sempat dibersihkan).
Mewudukan mayit ini bisa diulang lagi jika jenazah ingin dimandikan beberapa kali.
Kedua, Mengeramasi Jenazah
Setelah mayit diwudukan, langkah berikutnya adalah mengkeramasi rambut kepala mayit. Jika rambut kepala selesai, maka dilanjutkan dengan mengkeramasi jenggotnya (jika ada). Jadi, sunahnya adalah mendahulukan mengkeramasi rambut kepala dulu baru mengkeramasi jenggot. Bahan yang dipakai untuk mengkeramasi adalah sidr/daun bidara atau khiṭmī/kembang sepatu/hibiscus. Memakai shampoo-pun juga tidak masalah. Dalil sunahnya mengkeramasi memakai daun bidara/sidr (atau yang semakna dengannya seperti shampoo) adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Ummu ‘Athiyyah berkata: Ketika salah satu puteri Nabi ﷺ wafat, Nabi ﷺ keluar seraya berkata: “Mandikanlah sebanyak tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu memakai air dan sidr.” (H.R. al-Bukhārī)
Riwayat lain berbunyi,
Artinya,
“Mandikanlah dengan sidr.” (H.R. al-Bukhārī)
Memakai sidr lebih utama daripada khiṭmī karena daya kesatnya lebih bagus. Maknanya, jika memilih shampoo maka pilihlah yang daya kesatnya lebih bagus.
Setelah selesai dikeramasi, sisirlah rambut dan jenggotnya dengan lembut (jika mengempal). Saat menyisir, pakailah sisir bergigi renggang agar tidak mmebuat rambut tercabut. Jika rambut sampai tercabut, maka disunahkan dikembalikan sebagai bentuk memuliakan mayit. Rambut yang lepas itu tidak harus di kembalikan ke kepala, tapi yang penting dimasukkan ke dalam kafan. Tujuan menyisir adalah untuk menghilangkan sidr dan kotoran sebagaimana dilakukan kepada orang hidup.
Ketiga, Basuh Seluruh Badan dengan Air dan Sabun
Setelah mayit dikeramasi, barulah kita masuk prosesi yang paling inti yakni memndikan mayit.
Disunahkan saat memandikan ini memakai sidr atau khiṭmī atau sabun atau zat lain yang semakna. Dalam hadis, perintahnya memakai sidr. Para ulama menjelaskan, fungsi sidr adalah untuk merealisasikan inqā’ (membersihkan). Maknanya, zat apapun yang bisa menjalankan fungsi ini maka hukumnya seperti sidr. Sabun pada zaman sekarang memiliki fungsi membersihkan dan mengangkat kotoran sangat bagus. Jadi bisa dikatakan memandikan jenazah menggunakan sabun itu disunahkan.
Karena statusnya sunah, berarti sebenarnya tidak wajib pakai sabun. Seandainya mayit hanya diasuh dengan air dan digosok secukupnya tanpa sabun, maka itu sudah sah dan sudah menggugurkan kewajiban.
Ketika mulai memandikan mayit, awali dulu dengan membasuh bagian tubuh jenazah sebelah kanan bagian depan. Yakni mencakup leher, dada, paha, betis, dan kaki. Setelah selesai beralihlah ke sebelah kiri bagian depan tubuh. Dalil yang menunjukkan sunahnya memulai sebelah kanan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Ummu ‘Aṭiyyah beliau berkata, “Nabi ﷺ bersabda kepada para Sahabiyah saat memandikan putrinya, “Mulailah dari bagian tubuh kanannya”.” (H.R. al-Bukhārī)
Bagian depan jenazah didahulukan untuk dimandikan bukan bagian belakang seperti tengkuk, punggung, pantat dan seterusnya karena bagian depan dan wajah adalah bagian yang lebih mulia pada manusia.
Di momen ini, saat membasuh perut, maka gosoklah dengan lembut. Jika menggosoknya butuh lebih dari sekali, maka gosokan itu harus lebih lembut daripada sebelumnya.
Setelah itu jenazah dimiringkan dengan bertumpu pada lambung kiri mayit untuk membasuh bagian belakang sebelah kanan. Yang dibasuh dalam momen ini adalah tengkuk, pundak, punggung sampai kaki. Setelah selesai, jenazah dimiringkan dengan bertumpu pada lambung kanannya untuk membasuh bagian tubuhnya sebelah kiri yang mencakup tengkuk, pundak, punggung sampai kaki juga.
Jika urutannya tidak seperti ini, misalnya kanan depan dulu lalu kanan belakang, setelah itu kiri depan dilanjutkan kiri belakang maka seperti itu juga tidak masalah, hanya saja fokus bagian depan dulu baru berpindah ke belakang lebih afdal.
Di momen ini tidak perlu membasuh kepala lagi karena tadi sudah dikeramasi. Jadi fokusnya hanyalah memandikan area leher ke bawah saja.
Jaga betul di saat seperti ini jangan sampai mayit tertelungkup di atas wajahnya, karena itu haram. Mayit tetap terhormat, jadi tidak boleh memandikannya dengan tertelungkup karena itu bentuk penghinaan baginya.
Setelah itu siram jenazah dengan air untuk menyingkirkan semua sabun-sabun pada tubuhnya. Pastikan semua sabun telah hilang dari tubuhnya.
Keempat, Bilas dengan Air Jernih
Setelah jenazah dimandikan dengan air dan sabun dan dibersihkan sabunnya, langkah berikutnya adalah membilas jenazah dengan air jernih/bening. Nah, pembilasan memakai air jernih inilah yang dihitung sebagai satu kali memandikan (gaslatun wāḥidah). Pembersihan sebelumnya memakai air dan sabun belum bisa dihitung satu kali mandi, karena air yang bercampur sabun hanya membersihkan tapi tidak mensucikan. Karenanya, yang dihitung satu kali memandikan adalah ketika semua sabun atau sidr atau khiṭmī sudah dihilangkan dari tubuh jenazah.
Tuangilah jenazah dengan air jernih mulai ujung kepala sampai ujung kaki. Air harus meratai seluruh tubuh. Minimal meratakan air jernih ke tubuh jenazah ini dilakukan satu kali sebagaimana mandi janabah bagi orang hidup wajib meratakan air ke seluruh tubuh satu kali.
Ketentuan meratakan air jernih ke tubuh jenazah minimal satu kali ini tidak membedakan apakah mayit dalam kondisi suci saat wafat, dalam kondisi junub, ataupun haid. Semuanya sama hukumnya, yakni minimal dimandikan satu kali.
Disunahkan memandikan mayit sebanyak tiga kali sebagaimana sunahnya orang hidup meratakan air ke seluruh tubuh sebanyak tiga kali saat mandi janabah. Dalil sunahnya memandikan jenazah sebanyak tiga kali adalah sabda Rasulullah ﷺ,
Artinya,
“Mandikanlah dia sebanyak 3 kali.” (H.R. al-Bukhārī)
Jika sudah dimandikan sebanyak tiga kali ternyata jenazah masih belum bersih juga, maka bisa ditambah lagi sampai terealisasi bersih. Jika sudah terelalisasi bersih tapi hitungannya genap hitungan genap (misalnya mandi ke-4 baru bersih), maka disunahkan ditambah lagi sampai ganjil (berati ditambah mandi ke-5). Dalil sunahnya memandikan dengan hitungan ganjil adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Ummu ‘Athiyyah al-Anṣāriyyah, beliau berkata: Rasulullah ﷺ menemui kami salah satu puteri beliau wafat. Beliau bersabda, “Mandikanlah sebanyak tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu.” (H.R. al-Bukhārī)
Riwayat lain berbunyi,
Artinya,
“Mandikanlah dia dengan hitungan ganjil.” (H.R. al-Bukhārī)
Riwayat lain berbunyi,
Artinya,
“Mandikanlah dia dengan sidr dengan hitungan ganjil yaitu 4, 5 atau lebih dari itu jika kalian memandang perlu.” (H.R. al-Bukhārī)
Disunahkan air jernih yang dipakai untuk membilas jenazah itu diberi kapur barus (kāfūr) sedikit. Sebab kapur barus bisa membuat tubuh menguat dan mengusir serangga. Makruh hukumnya jika air yang dipakai membilas tidak diberi kapur barus. Pada pembasuhan yang terakhir, sunahnya memberi kapur barus lebih dikuatkan. Dalil sunahnya memberi kapur barus pada pembasuhan terakhir adalah hadis berikut,
Artinya,
“Tambahkan kapur barus atau sedikit kapur barus pada pembasuhan terakhir.” (H.R. al-Bukhārī)
Kapur barus yang dibubuhkan diusahakan sedikit saja agar tidak terlalu mengubah sifat air sehingga menghilangkan sifatnya yang mensucikan. Jika kapur barus yang diberikan berbentuk padat nan keras, maka itu malah bagus karena walalupun mengubah sifat air secara drastis, maka hal itu tidak mengapa karena pengubahannya dengan mujāwarah bukan mukhālaṭah.
Jika mayitnya wafat dalam keadaan berihram, maka menambahkan kapur barus malah tidak diperbolehkan.
Sampai di sini proses memandikan dianggap selesai dan masuk ke tahap berikutnya yakni finalisasi.
FINALISASI
Di tahap finalisasi, lakukan dua hal saja yakni melemaskan sendi-sendi dan menghanduki.
Pertama, Lemaskan Sendi-Sendi
Setelah selesai dimandikan, maka disunahkan untuk melemaskan sendi-sendi jenazah lagi. Walaupun sebelum dimandikan sudah pernah dilemaskan, tetapi setelah terkena air, sendi-sendi jenazah bisa kaku kembali. Oleh karena itu, disunahkan untuk dilemaskan lagi dengan cara ditekuk-tekuk. Pergelangan tangan, siku, bahu, jemari, lutut, pergelangan kaki, termasuk sendi pangkal paha semuanya ditekuk-tekuk agar lemas kembali.
Kedua, Handuki
Setelah jenazah dilemaskan sendi-sendinya, tahap terakhir adalah dihanduki sampai sekering-keringnya. Menghanduki ini hukumnya sunah. Tujuannya adalah agar tidak membasahi kafannya yang membuat jenazah cepat rusak. Handuk yang dipakai mengeringkan jenazah statusnya tidak najis.
Di semua proses tadi, yang memandikan dimakruhkan melihat apapun dari tubuh mayit, kecuali sekedar kebutuhan yakni mengetahui mana yang hendak dibasuh. Asisten lebih dilarang lagi dan hanya melihat jika benar-benar darurat.
Sampai di tahap ini, jika jenazah mengeluarkan najis melalui qubul atau dubur, maka najis tersebut wajib dibersihkan dan dihilangkan tapi tidak perlu mengulang mandinya atau wudunya. Termasuk juga jika najis keluar dari selain qubul dan dubur, yang wajib hanya membersihkan najis saja.
Jika najis keluar setelah selah dimasukkan kafan, maka yang wajib juga hanya membasuh najisnya. Kafan tidak wajib dibuka kembali untuk membasuh najisnya.
Jika setelah dimandikan mayit disentuh lawan jenis ajnabi, maka tidak ada kewajiban mewudukan mayit atau memandikannya karena taklif sudah gugur darinya. Bahkan jika disetubuhi sekalipun tidak ada kewajiban memandikan atau mewudukan ulang.
Disunahkan untuk menceritakan dan membincangkan hal menakjubkan dari mayit jika orang yang memandikan mendapati hal itu. Jika yang dilihat malah hal yang tidak baik, maka haram menceritakannya kecuali untuk kemaslahatan.
Jika mayit terpaksa ditayamumi karena tidak ada air, lalu sebelum dimakamkan ditemukan air, maka jenazah harus dimandikan dan diulangi lagi mensalatinya. Jika air ditemukan setelah dimakamkan maka kuburan tidak perlu dibongkar.
Jika sudah selesai semua, maka sampai tahap ini barulah jenazah siap dikafani.
16 Jumadal Akhirah 1444 H/ 9 Jan 2023 M