Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Pernyataan berikut ini salah dan misleading sebab mazhab al-Syāfi‘ī tidak seperti ini,
“Saya pinjami kamu uang 20 juta ini dan tempo pelunasannya adalah 3 bulan”, dalam madzhab Syafi’i hal semacam ini tidak boleh.
Pernyataan di atas memang kurang tepat sehingga perlu dikoreksi, dirinci dan diubah redaksinya. Agar tidak menimbulkan salah paham dan salah konsep terkait pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī dalam topik ini.
Yang dillarang dalam akad utang-piutang dalam mazhab al-Syāfi‘ī adalah isytirāṭ (menetapkan syarat), bukan tawāfuq (saling menyepakati). Kalau tawāfuq dalam akad utang piutang, ya boleh-boleh saja.
Misalnya menghutangi 20 juta, lalu pemberi utang bilang,
“Nanti kembalikan 3 bulan lagi, ya!”
Kemudian penerima utang menjawab,
“Oke.”
Atau pengutang bilang, “Pinjami saya 20 juta nanti saya kembalikan 3 bulan lagi.” kemudian pemberi utang bilang, “Oke”.
Ini boleh, karena bukan isytirāṭ.
Bedanya dengan isytirāṭ: menetapkan syarat itu tidak mau mengutangi jika pihak yang berutang tidak menerima.
Misalnya pemberi utang bilang,
“Saya mau mengutangi 20 juta dengan syarat engkau mengembalikan 3 bulan lagi.”
Lalu penerima utang tidak mau, sehingga uang tidak cair. Begitu mau, baru uang dicairkan.
****
Isytirāt itupun tidak terlarang mutlak.
Yang terlarang adalah jika memberi keuntungan kepada pemberi utang.
Misalnya di zaman perang dan banyak perampokan, lalu mensyaratkan pelunasan dalam tempo 3 bulan. Ini jauh dari sifat irfāq/menolong. Karena memastikan keamanan hartanya tanpa peduli yang berutang dapat harta dari mana. Yang seperti ini dimaknai serupa dengan riba.
Tapi kalau tidak ada keuntungan apapun, mensyaratkan pun juga tetap membuat akad piutang sah dan syaratnya mulgā (tidak berlaku).
Lihat dalam Ḥāsyiyah al-Syirwānī berikut ini,
***
ULASAN LEBIH DALAM
Saya katakan:
Mengklaim mazhab al-Syāfi‘ī melarang penetapan tempo pelunasan utang SECARA MUTLAK adalah kesimpulan yang salah.
Jadi penyataan berikut ini tidak bisa dibenarkan, minimal dikatakan kurang akurat,
“”Saya pinjami kamu uang 20 juta ini dan tempo pelunasannya adalah 3 bulan”, dalam madzhab Syafi’i hal semacam ini tidak boleh.”
Minimal ada dua kesalahan dalam pernyataan di atas.
KESALAHAN PERTAMA:
Tidak membedakan antara isytirāṭ (الاشتراط) dan tawāfuq (التوافق).
Yang dipersoalkan mazhab al-Syāfi‘ī adalah isytirāt bukan tawāfuq. Sebab isytirāṭ (menetapkan syarat) tempo pelunasan utang itu BERPOTENSI riba. Bukan pasti dan mutlak riba sehingga tidak boleh secara mutlak. Kata POTENSI harus ditekankan, karena pernyataan di atas memberi kesan memutlakkan tidak bolehan penyebutan/penetapan waktu pelunasan.
Contoh mensyaratkan yang ada potensi dilarang misalnya mengatakan,
“Saya utangi kamu 3 juta DENGAN SYARAT kamu kembalikan dalam waktu 3 bulan.”
Apapun redaksinya, jika dalam bahasa Arab bermakna syarat, maka itulah sebenarnya yang dipermasalahkan dalam mazhab al-Syāfi‘ī.
Isytirāṭ itulah yang disoroti al-Nawawi dalam Minhāj al-Ṭālibīn saat membahas topik utang piutang,
Bahkan pernyataan al-Māwardi yang disangka ustaz Abduh membenarkan statusnya ternyata juga dipahami keliru. Sebab al-Mawardi saat memberi contoh menghutangi dengan ketentuan tempo pelunasan sebulan kedepan itu konteksnya juga MENETAPKAN SYARAT/ISYTIRĀṬ. Perhatikan kata FA IN SYARAṬA dalam ungkapan al-Mawardī berikut ini,
Termasuk juga ungkapan dalam Rauḍatu al-Ṭālibīn. Itu semua juga dibahas dalam konteks syarat. Perhatikan ungkapan SYARTUL AJAL dan FALAU SYARAṬA dalam ibarah berikut ini,
Adapun jika penyebutan tempo itu tidak masuk dalam syarat, tapi hanya bentuk tawāfuq (saling sepakat) untuk mengusahakan kembali utang dalam tempo tertentu, maka yang semacam ini sama sekali tidak masalah. Misalnya pemberi utang setelah akad bilang,
“Nanti kembalikan 3 bulan lagi, ya.”
Lalu penerima utang bilang, “Oke.”
Yang seperti ini tidak masalah karena termasuk tawāfuq, bukan isytirāṭ. Perhatikan pernyataan al-Syirwānī berikut ini,
KESALAHAN KEDUA:
Dalam pernyataan di atas, ada kesan bahwa menetapkan tempo pelunasan itu tidak boleh secara mutlak!
Ini bagi saya kesalahan fatal memahami ungkapan ulama-ulama al-Syāfi‘ī yyah.
Saya tidak bisa mengerti bagaimana dasar penyimpulan tersebut. Di seluruh referensi yang saya baca, tidak ada satupun ulama al-Syāfi‘ī yang menulis lafal “muṭlaqan” saat membahas penetapan ajal/tempo pelunasan.
Dalam kitab Minhāj al-Ṭālibīn karya al-Nawawi sekalipun, sangat jelas bahwa penetapan syarat itu memperhatikan garaḍ/tujuan pemberi utang. Yakni dari sisi apakah memberi keuntungan pemberi utang ataukah tidak. Perhatian IN SYARṬIYYAH dalam ungkapan beliau berikut ini,
Malahan al-Nawawi secara implisit menjelaskan bahwa menetapkan tempo dalam akad dalam utang piutang jika sama sekali tidak menguntungkan pemberi utang, itu justru sebuah KEBAIKAN TAMBAHAN, karena beliau menyamakan penetapan syarat seperti ini dengan orang yang berutang uang kualitas prima dikembalikan dengan uang kualitas rendah (ka syarṭi mukassarin ‘an ṣaḥīḥ). Yakni bermakna qarḍun ḥasan.
Ini masuk akal, karena mengutangi tanpa penjelasan kapan jatuh tempo, itu justru bisa menyusahkan penerima utang karena sewaktu-waktu bisa ditagih. Baru kemarin mengutangi, sehari kemudian sudah langsung ditagih! Ini sungguh menyusahkan. Beda jika diberi tempo, misalnya dibayar 3 bulan lagi. Yang seperti ini justru malah memberi nafas bagi penerima utang untuk mengusahakan pelunasan utangnya.
Yang dipermasalahkan dalam mazhab al-Syāfi‘ī adalah penetapan tempo sebagai syarat yang sifatnya menguntungkan pemberi utang, misalnya di zaman negara tidak aman dan banyak perampokan. Orang yang menetapkan waktu 3 bulan dalam situasi seperti ini berarti berusaha mengamankan haknya, tanpa peduli apakah penerima utang bisa melunasi atauklah tidak. Ini bertentangan dengan semangat mengutangi yang sifatnya menolong. Oleh karena itu al-Nawawi menyebut kondisi seperti ini mirip dengan orang yang berutang uang kualitas jelek dan mensyaratkan dikembalikan uang kualitas bagus, dan itu dihitung riba. Al-Nawawi berkata,
Bahkan dalam kitab Mugnī al-Muḥtāj masih ada qaid tambahan, yakni penerima utang dalam kondisi MALĪ’ (mampu membayar). Mafhumnya, jika menetapkan syarat tempo pelunasan dan pemberi utang punya tujuan tertentu, tapi penerima utang sulit keuangannya (mu‘sir), yang seperti itupun tetap boleh dan sah! Perhatikan ucapan al-Khaṭīb al-Syirbīnī berikut ini,
KESIMPULANNYA:
Penetapan tempo dalam akad utang piutang dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu tidak bisa diungkapkan dengan redaksi mutlak. Harus diterangkan kondisi-kondisinya.
Contoh kalimat yang benar,
“Boleh saja menetapkan tempo pelunasan dalam akad utang piutang dalam dalam mazhab al-Syāfi‘ī asalkan tidak ada unsur menguntungkan pemberi utang.”
Atau,
“Tidak boleh menetapkan tempo pelunasan dalam akad utang piutang dalam dalam mazhab al-Syāfi‘ī jika ada unsur menguntungkan pemberi utang.”
Atau,
“Saya mau pinjamkan uang 20 juta ini dengan syarat kembalikan 3 bulan lagi,” sementara pemberi utang tidak punya keuntungan apapun dengan penetapan syarat tersebut.
Yang jelas salah adalah jika mengatakan bahwa penetapan tempo pelunasan utang itu tidak boleh secara mutlak. Ini salah memahami ungkapan ulama-ulama al-Syāfi‘ī.
12 Jumadal Akhirah 1444 H/5 Januari 2022 M pukul 06.35