Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dilihat dari cara seseorang merujuk sebuah kitab, sebenarnya sudah bisa diperkirakan level kedalaman fikih mazhab al-Syāfi‘ī yang beliau miliki.
Jika rujukannya adalah kitab semisal Safinatu al-Ṣalah, Safīnatu al-Najāh, Dan Sullamu al-Taufīq, berarti beliau adalah pengajar fikih mazhab al-Syāfi‘ī dengan pembahasan yang sangat sederhana untuk orang awam dengan maksud langsung dipraktekkan, tanpa perlu mengerti berbagai ikhtilaf fikih.
Jika rujukannnya semisal matan Abū Syujā’, Fatḥu al-Qarīb, dan Kifāyatu al-Akhyār, berarti beliau adalah pengajar santri dan calon-calon da’i di masyarakat. Karena kitab-kitab tersebut memang isinya lebih dalam, bahkan sampai level pengetahuan istidlal dari sebuah produk fikih.
Dan seterusnya…
Jika ada orang yang bisa baca kitab Arab, lalu ingin mengetahui pendapat mu’tamad Mazhab al-Syāfi‘ī, kemudian beliau mencarinya di kitab al-Ḥāwī al-Kabīr karya al-Māwardī, maka sudah bisa dipastikan bahwa beliau tidak terlalu mengerti mazhab al-Syāfi‘ī dan juga tidak mengerti bagaimana proses tahrir Mazhab al-Syāfi‘ī.
Mengapa demikian?
Kitab al-Ḥāwī al-Kabīr itu bukan rujukan untuk mengetahui pendapat mu’tamad.
Betul, kitab itu memang ditulis atas dasar Mazhab al-Syāfi‘ī. Hanya saja, kelas kitabnya bukan masuk kelas kitab tahrir. Al-Māwardī termasuk ulama al-Syāfi‘iyyah mutaqaddimin. Al-Nawawī menyebut ulama jenis ini dengan istilah aṣḥāb (الأصحاب). Jadi, jika bertemu ungkapan al-Nawawi semisal “qāla aṣḥābunā”, jangan diterjemahkan “Sahabat-sahabat kami berkata” karena itu menimbulkan kesalahan persepsi. Terjemahan yang lebih baik misalnya, “Ulama-ulama mutaqaddimin Mazhab al-Syāfi‘ī kami berkata”. Lebih panjang memang, tapi lebih akurat dan menjaga kesalahan persepsi.
Nah, apa yang ditulis oleh ulama-ulama mutaqaddimin Mahzab al-Syāfi‘ī ini hasil kesimpulan hukumnya banyak yang bertabrakan satu sama lain dan semuanya mengklaim sebagai Mazhab al-Syāfi‘ī. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian besar-besaran nan serius untuk memastikan mana pendapat yang sah dinisbahkan pada Mazhab al-Syāfi‘ī. Pendapat yang sah itulah yang disebut dengan pendapat mu’tamad.
Jadi, merujuk al-Ḥāwī al-Kabīr untuk mengetahui pendapat mu’tamad jelas keliru. Sebab selain al-Māwardi, jelas ada puluhan bahkan ratusan ulama selevel yang sejumlah pemahamannya dimungkinkan berbeda dengan al-Māwardī. Menurut persaksian al-Nawawi, saat melakukan tahrir mazhab, beliau meneliti tidak kurang dari 100-an kitab karya ulama-ulama mutaqaddimin mazhab al-Syāfi‘ī ini. Jadi, kitab al-Ḥāwī al-Kabīr “hanyalah” salah satu dari 100-an kitab tersebut. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Alhamdulillah, saya telah mengoleksi (dan mengkaji) kitab-kitab fikih Asy-Syafi’i sekitar seratus karangan, baik yang populer maupun yang tak populer, termasuk yang di antara keduanya. Termasuk juga kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang tidak membahas fikih furu’ seperti kitab haditsul ushul, syarah-syarah hadis, thobaqot dan selainnya, yakni kitab-kitab yang (tidak membahas fikih tetapi) mengandung pembahasan berharga terkait fikih furu’ yang dimasukkan di dalamnya.”
Sekali lagi, kitab al-Ḥāwī al-Kabīr “hanyalah” salah satu dari puluhan atau bahkan ratusan rujukan yang dikaji al-Nawawi dengan serius. Jadi potensi pendapat yang tidak mu’tamad dalam kitab al-Ḥāwī al-Kabīr selalu ada dan besar.
Keliru juga jika merujuk kitab al-Umm, Nihāyatu al-Maṭlab, al-Wajīz, Baḥru al-Mażhab, Ta’līqah al-Qāḍī Ḥusain dan semisalnya untuk mengetahui pendapat mu’tamad. Apalagi kitab-kitab kontemporer walaupun mengklaim sebagai pendapat Mazhab al-Syāfi‘ī semisal al-Fiqhu al-Manhajī, al-Mu’tamad fī Fiqhi al-Syāfi‘ī. Lebih-lebih kitab yang memang ditulis dengan maksud ensiklopedis dan tidak fokus ke mazhab al-Syāfi‘ī seperti Al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, al-Fiqhu al-Islamī wa Adillatuhu, al-Fiqh ‘Alā al-Mażahib al-Arba’āh dan semisalnya.
Tentu saja penjelasan ini tidak bermakna kitab al-Ḥāwī al-Kabīr itu tidak berharga dan tidak perlu dikaji.
Bukan begitu maknanya.
Kitab al-Ḥāwī al-Kabīr tetap berharga, terutama untuk mengetahui ta‘līl (reasoning) pendapat mu’tamad Mazhab al-Syāfi‘ī (jika bertemu pembahasan yang kebetulan sesuai dengan pendapat mu’tamad). Malahan, kitab ini menurut saya jauh lebih bagus dan mendalam daripada kitab al-Damīrī yang bernama al-Najmu al-Wahhāj misalnya. Kalau di mazhab Hanbali, saya menyamakan kualitas kitab al-Ḥāwī al-Kabīr dari sisi ta’lil, kekayaan dalil, dan istidlal dengan kitab al-Mugnī karya Ibnu Qudāmah.
Mengkaji kitab al-Ḥāwī al-Kabīr juga bermanfaat untuk kita agar bisa merasakan kira-kira sebesar apa kerja raksasa al-Nawawi saat melakukan tahrir mazhab. Jika jangkauan kajian kita sudah semakin luas, kita juga bisa mencoba meraba manhaj, cara pikir, dan metode al-Nawawi saat memutuskan sebuah pendapat itu sebagai pendapat mu’tamad, kapan memakai istilah ṣaḥīh, kapan memakai istilah aṣaḥḥ, kapan memakai istilah masyhūr, dan seterusnya.
Ringkasnya, mengetahui pendapat mu’tamad itu level tersendiri dalam kajian fikih mazhab al-Syāfi‘ī. Tidak cukup hanya bisa ngomong Arab, bisa baca kitab Arab, bisa buka aplikasi Maktabah Syamilah (atau yang semisal), bisa googling dan semisalnya lalu merasa tahu pendapat mu’tamad.
Mengklaim pendapat mu’tamad secara sembrono tanpa mengerti ilmunya bisa merendahkan keilmuan seseorang. Siapapun yang tidak mengerti tahrir mazhab lalu serampangan bilang “ini mazhab al-Syāfi‘ī”, tidak salah jika dimasukkan daftar orang-orang yang tidak tsiqah dan tidak bisa dipercaya jika mengabarkan/mengajarkan pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
13 Jumadal Akhirah 1444 H/6 Januari 2022 M pukul 19.56