Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada dua bagian penting yang dibahas dalam topik ini, yakni adab membawa jenazah dan adab mengantar jenazah.
ADAB MEMBAWA JENAZAH
Membawa jenazah itu buka kehinaan dan tidak merusak marwah. Malahan ia adalah kebaikan dan bentuk penghormatan untuk mayit. Alasannya, diriwayatkan Rasulullah ﷺ pernah membawa jenazah salah seorang Sahabat. Demikian pula sejumlah Sahabat dan tabi’in. Hanya saja yang boleh membawa jenazah adalah laki-laki, tanpa membedakan apakah jenazahnya laki-laki ataupun wanita.
Tatacara
Sebelum jenazah di bawa ke kuburan, khusus jika jenazahnya wanita maka disunahkan menambah semacam penutup serupa kubah di atas jenazah. Keranda di zaman sekarang yang selalu ditutupi kain saat jenazah mulai di antar ke kuburan sudah memenuhi unsur kesunahan ini.
Kemudian terkait tatacara membawa jenazah, prinsip pentingnya adalah tidak boleh membawa jenazah dengan cara yang menghinakannya. Tidak boleh juga membawa jenazah dengan cara yang membuat dikhawatirkan mayitnya jatuh.
Adapun dari sisi kaifiyyah-nya, membawa jenazah itu caranya ada dua.
Pertama, bainal ‘amudain (بين العمودين)
Kedua, tarbī‘ (التربيع)
Yang dimaksud cara bainal ‘amūdain adalah membawa jenazah di antara dua penopang.
Cara ini membutuhkan 3 orang. Satu orang dipasang di depan, sementara 2 sisanya memikul di belakang.
Satu orang yang ada di depan membawa dua penopang pada kedua ‘atiq-nya, sementara kepalanya di antara dua penopang tersebut. Makna ‘atiq adalah area antara pundak dengan leher yang biasanya dipakai untuk memikul. Jika seperti ini desainnya, berarti pemikul jenazah yang ada di depan semestinya adalah orang yang kuat fisiknya sebab dia membawa beban jenazah sendirian.
Adapun dua orang yang ada di belakang, maka satu orang diletakkan di kanan keranda sementara satunya lagi diletakkan di sebelah kirinya. Tidak cukup hanya satu orang karena jika pemikul bagian belakang hanya satu orang, maka dia tidak akan bisa melihat jalan dengan baik.
Dengan formasi seperti ini, berarti cara bainal ‘amūdain itu membutuhkan 3 orang saja untuk membawa jenazah ke kuburan.
Jika orang yang ada di depan tidak kuat sendirian, misalnya karena jenazahnya gemuk, maka dia bisa dibantu dua orang di kanan dan kirinya. Dengan demikian formasi pemikul jenazah dalam kondisi ini menjadi 5 orang, karena ada 3 orang di depan dan 2 orang di belakang. Cara seperti ini masih tetap disebut bainal ‘amudaini.
Jika 5 orang masih tidak kuat, maka bisa ditambah menjadi 7, 9 dan seterusnya selama jumlahnya ganjil. Semuanya tetap disebut cara bainal ‘amūdaini.
Adapun cara tarbī‘, maka ini membutuhkan 4 orang. Dua orang di depan dan dua orang di belakang. Penopang kanan keranda dipanggul bahu kiri, penopang kiri keranda dipanggul bahu kanan. Cara ini lebih menjaga mayit karena personilnya lebih banyak dari pada cara bainal ‘amudain yang hanya 3 orang.
Jika 4 orang masih tidak kuat (misalnya jenazahnya sangat gemuk dan berat), maka boleh ditambah menjadi 6, 8, dan seterusnya sampai cukup. Yang semacam ini pernah terjadi di zaman Sahabat, yakni saat jenazah Ibnu Umar dibawa ke kuburan. Beliau diriwayatkan bertubuh besar sehingga tidak cukup hanya 3 atau 4 orang untuk membawa jenazah beliau.
Personil yang ditambahkan ini bisa membantu memikul di sisi keranda, bisa juga menambah penopang di bawah jenazah lalu dipikul dari arah depan dan belakang. Semua cara ini masih disebut dengan cara tarbī‘.
Dua kaifiyyah membawa jenazah ini semuanya boleh dilakukan. Pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī menyatakan bahwa yang paling afdal adalah menggabung dua cara tersebut. Yakni sesekali jenazah dibawa dengan cara bainal ‘amūdain dan sesekali dengan cara tarbī‘.
Jika hanya ingin membatasi satu cara, maka yang paling utama adalah dengan cara bainal ‘amūdain. Dasarnya adalah karena diriwayatkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat melakukannya.
Diriwayatkan Rasulullah ﷺ memikul jenazah Sa’ad bin Mu‘āż dengan cara bainal ‘amūdain sebagai berikut,
Artinya,
“Dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau membawa jenazah Sa’d bin Mu‘āż di antara dua penopang.” (Ma‘rifatu al-Sunan wa al-āṡār, juz 5 hlm 264)
Diriwayatkan jenazah Abdurrahman bin ‘Auf juga dibawa dengan cara bainal ‘amūdain,
Artinya,
“Aku melihat Sa’d bin Abū Waqqāṣ membawa jenazah ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf dalam keadaan berdiri di antara dua penopang yang dimajukan dan beliau meletakkan keranda di atas pundaknya.” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 327)
Juga jenazah ibu Utsmān,
Artinya,
“Dari Isa bin Ṭalḥah beliau berkata, ‘Aku melihat ‘Ustmān bin ‘Affān membawa keranda ibunya di antara dua penopang. Beliau tidak melepaskannya hingga meletakkannya” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 328)
Juga jenazah Sa’ad bin Abū Waqqāṣ,
Artinya,
“Aku melihat Abū Hurairah membawa keranda Sa’ad bin Abū Waqqāṣ di antara dua penopang.” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 328)
Juga jenazah Rāfi’ bin Khadīj,
Artinya,
“Dari Yūsuf bin Māhak beliau berkata, ‘Aku menyaksikan jenazah Rāfi‘ bin Khadīj dan di sana ada Ibnu Umar dan Ibnu Abbās. Maka Ibnu Umar pergi cepat hingga mengambil bagian depan keranda di antara dia penopang lalu meletakkannya pada pundaknya kemudian berjalan membawanya’.” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 329)
Juga jenazah al-Miswar bin Makhramah,
Artinya,
“Aku melihat Ibnu al-Zubair membawa keranda jenazah al-Miswar bin makhramah di antara dua penopang.” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 329)
Juga jenazah Jābir bin “Abdullāh,
Artinya,
“Aku melihat al-Muṭṭalib berada di antara dua penopang keranda Jābir bin ‘Abdullāh.” (al-Sunan al-Kabīr li al-Baihaqī juz 7 hlm 329)
Adapun jika jenazahnya anak kecil, kemudian dibawa oleh satu orang saja maka yang demikian itu boleh, karena tidak ada unsur penghinaan jenazah dengan cara tersebut.
Tabarruk
Jika ingin ber-tabarruk dengan membawa jenazah dalam kaifiyyah tarbī‘, maka mulailah dengan menuju penopang depan keranda sebelah kiri. Ambil penopang tersebut dan panggullah dengan bahu kanan Anda.
Setelah itu serahkan penopang tersebut kepada orang lain, kemudian mundurlah ke belakang menuju penopang keranda sebelah kiri. Ambil penopang tersebut dan panggullah dengan bahu kanan Anda.
Setelah itu Anda menuju penopang keranda bagian depan sebelah kanan. Tapi lewatlah depan, melewati penopang depan sebelah kiri tadi. Jangan lewat belakang. Setelah itu ambil penopang depan sebelah kanan itu dan panggullah dengan bahu kiri Anda.
Setelah itu silakan mundur ke belakang untuk mencari penopang belakang sebelah kanan. Ambil penopang tersebut dan panggullah dengan bahu kiri Anda.
Jika Anda sudah memanggul 4 penopang itu seluruhnya, berarti Anda sudah bertabarruk saat membawa jenazah dengan cara tarbī‘.
Jika setelah itu Anda masuk di antara dua penopang bagian depan dan membawa keranda sendirian, berarti Anda sudah bertabarruk dengan menggabung cara bainal ‘amūdain dan cara tarbī‘.
Qultu: Patut dicatat, makna tabarruk dalam konteks ini adalah Anda tahu bahwa Allah senang dengan amal saleh memanggul mayit, lalu berharap Allah memberkahi kita dengan amal saleh tersebut .
Menyegerakan
Saat membawa jenazah disunahkan berjalan dengan cepat. Dasarnya adalah hadis berikut,
Artinya,
“Dari Nabi ﷺ beliau bersabda:”Bercepat-cepatlah membawa jenazah, karena bila jenazah itu dari orang shalih berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya dan jika tidak, berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian”. (H.R. al-Bukhārī)
Maksud cepat adalah melebihi jalan biasa tapi tidak sampai melampaui cara jalan khabab/romal (jalan cepat dengan langkah pendek-pendek). Jadi, jalannya melebihi jalan biasa tapi tidak terlalu cepat agar tidak membuat pengantar lemah tertinggal dan juga tidak menyusahkan pemanggul keranda. Jika mayit dikhawatirkan cepat berbau, atau meletus atau menggembung maka dipercepat lagi jalannya walau sampai level khabab.
Jika dibawa cepat dikhawatirkan membuat jenazah berubah misalnya goyangan cepat membuat meletus, maka pelan-pelan saja.
ADAB MENGANTAR JENAZAH
Mengantar jenazah hukumnya sunah muakad bagi lelaki. Dalilnya adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:”Barangsiapa mengantarkan jenazah muslim, karena iman dan mengharapkan balasan dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai dishalatkan dan selesai dari penguburannya, maka dia pulang dengan membawa dua qiroth, setiap qiroth setara dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa menyolatkannya dan pulang sebelum dikuburkan maka dia pulang membawa satu qiroth.” (H.R. al-Bukhārī)
Jika jenazahnya kafir, misalnya ada seorang muslim punya kerabat kafir yang meninggal, maka mengantarkan jenazah tersebut tidak makruh.
Cara Mengantar
Mengantar dengan berjalan kaki lebih utama daripada berkendaraan. Dalilnya adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Tidaklah Nabi ﷺ naik kendaraan saat menghadiri salat id dan mengantar jenazah.” (Ma’rifatu al-Sunan wa al-ātsār, juz 5 hlm 57)
Juga riwayat ini,
Artinya,
“Dari Tsauban berkata: “Kami keluar bersama Nabi ﷺ untuk mengantar jenazah, lalu beliau melihat sekelompok orang berkendaraan. Beliau berkata: ‘Tidakkah kalian malu? Sesugguhnya para Malaikat Allah berjalan dengan kaki mereka sedangkan kalian di atas kendaraan.'” (H.R. al-Tirmiżi)
Bahkan berkendaraan itu makruh jika tidak ada uzur seperti sakit misalnya. Jabatan bukan uzur, karena jalan kaki bagi pejabat dalam konteks ini malah menambah marwah. Jika ada uzur misalnya karena lemah, sakit atau jauh, maka tidak makruh naik kendaraan.
Adapun jika naik kendaraan itu saat pulang dari mengantar jenazah, maka itu tidak mengapa.
Posisi
Berjalan di depan jenazah lebih utama daripada berjalan di belakang jenazah. Dalilnya hadis ini,
Artinya,
“Dari Salim dari ayahnya, ia berkata: Aku melihat Nabi ﷺ, Abu Bakr, dan Umar berjalan kaki di depan jenazah.” (H.R. Abū Dāwūd)
Lagi pula pengantar jenazah itu syāfi‘ (pemberi syafaat), jadi semestinya memang di depan. Dari sini pula bisa dipahami bahwa pengantar jenazah yang terbaik adalah yang di depan, dan pemikul jenazah terbaik juga yang di depan. Adapun riwayat yang memerintahkan untuk berjalan di belakang jenazah maka itu dhaif.
Kesunahan mengantarkan jenazah dengan mengambil posisi di depan jenazah ini berlaku baik yang mengantarkan jenazah berjalan kaki maupun berkendaraan. Ini adalah pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī. Pernyataan al-Rāfi‘ī yang mengatakan jika berkendaraan afdalnya di belakang jenazah disepakati salah oleh para muḥarrir muta’akh-khirin.
Jika orang berjalan di belakang jenazah, maka beliau tetap mendapat keutamaan mengantarkan jenazah hanya saja tidak dapat kesempurnaan.
Posisi depan jenazah yang terbaik adalah yang paling dekat dengan jenazah. Standarnya, jika menoleh maka bisa melihat jenazah dengan sempurna.
Jika pengantarnya banyak sehingga jauh dari jenazah, maka selama masih bisa dinisbahkan masuk definisi pengantar, maka sudah mendapatkan keutamaan mengantar jenazah.
Usahakan jangan mendahului jenazah ke kuburan, sebab itu tidak dinamakan mengantarkan. Tetapi jika mendahului maka tidak dimakruhkan. Jika sudah duluan di kuburan maka boleh berdiri menunggu, boleh juga menunggu dengan duduk.
Ritual Tambahan
Dimakruhkan mengantar jenazah dengan disertai ada api dalam pedupaan atau semisalnya dan ini sudah ijmak. Makruh juga membuat pedupaan di kuburan.
Dimakruhkan membuat suasana ribut saat mengantar jenazah. Makruh juga mengobrolkan urusan-urusan dunia saat mengantar jenazah. Yang disunahkan adalah memikirkan kematian, kejadian setelah mati, fananya dunia dan semisal hal itu.
Qultu: jadi semestinya suasana mengantar jenazah itu hening dan khidmat.
Diharamkan dengan keras melakukan niyāḥah dan berteriak-teriak di belakang jenazah.
Jika jenazah lewat
Jika lewat jenazah dan tidak ingin ikut mengantarnya, maka pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī adalah tidak berdiri untuk jenazah, bahkan itu makruh. Akan tetapi ikhtiyar al-Nawawi memilih mensunahkan berdiri berdasarkan sejumlah hadis sahih dan ini juga pendapat al-Mutawalli dalam kitab al-Tatimmah. Al-Nawawi tidak setuju jika dikatakan hadis yang isinya tidak mensunahkan berdiri dianggap me-nasakh hadis yang mensunahkan berdiri. Menurut al-Nawawi, hadis itu hanya bermakna libayānil jawāz (untuk menunjukkan kebolehannya).
Disunahkan juga mendoakan jenazah yang lewat itu dan memujinya jika memang layak.
Disunahkan juga membaca,
Disunahkan juga berdoa,
Dasarnya adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Dari Anas bin Mālik r.a. dari Nabi ﷺ beliau berkata, ‘Barangsiapa melihat jenazah lalu berkata, “Allahu akbar ṣadaqallāhu wa rasūluh, hāżā mā wa’adallāhu warasūluh. Allāhumma zidnā īmānan wa taslīman” maka akan dicatat baginya 20 kebaikan.” (H.R. al-Ṭabarānī)
1 Rajab 1444 H/ 23 Januari 2023 M pukul 14. 54