Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika Anda ingin mengetahui ikhtilaf antara Ibnu Ḥajar al-Haitamī, al-Ramlī dan al-Syirbīnī saat mentarjih pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī, maka di antara rujukan terbaik dalam topik ini adalah kitab al-Manhal al-Naḍḍākh karya Ibnu al-Qarahdagī.
Nama lengkap kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang dalam mukadimah adalah al-Manhal al-Naḍḍākh fī Ikhtilāf al-Asy-yākh (الْمَنْهَلُ النَّضَّاخُ فِيْ اخْتِلَافِ الأَشْيَاخِ).
Makna manhal adalah tempat mereguk air minum. Makna al-naḍdākh adalah deras mengalir. Seakan-akan dengan judul ini, pengarangnya ingin mengenalkan kitabnya yang memiliki karakteristik kaya isi dan padat ilmu bagaikan sumber yang airnya melimpah-limpah sehingga bisa diminum dengan puas oleh siapapun yang kehausan. Ilmu yang siap direguk oleh santri yang haus pengetahuan adalah informasi tentang ikhtilaf ulama-ulama besar mazhab al-Syāfi‘ī di fase kedua tahrir mazhab.
Pengarangnya bernama Umar al-Qarahdagī atau lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Qarahdagī (ابن القره داغي). Nama lengkap beliau Umar bin al-Syaikh Muhammad Amīn bin al-Syaikh Ma‘rūf al-Qarahdāgī al-Gaffārī al-Mardūkhī. Nama terkenalnya Ibnu al-Qarahdagī, yakni dinisbahkan kepada laqab kakeknya yang asli lahir di Qaradagh.
Sampai di sini bedakan dengan Prof. Ali al-Qarahdagī yang banyak mengarang buku terkait ekonomi Islam karena keduanya beda generasi. Ibnu al-Qarahdagī itu hidupnya antara tahun 1886-1936 sementara Prof. Ali al-Qarahdagī yang tinggal di Qatar termasuk ulama kontemporer yang sezaman, bahkan banyak beraktifitas bersama syaikh Yusuf al-Qaraḍāwī. Malahan harus diketahui bahwa di sana ada banyak nama ulama yang diakhiri laqab al-Qarahdagī. Jika tidak teliti maka bisa salah identifikasi.
Ibnu al-Qarahdagī lahir tahun 1303 H/1886 M di kota al-Sulaimāniyyah di Irak. Di sanalah beliau tumbuh berkembang di bawah asuhan ayahnya yang juga berilmu. Belajarnya dikenal serius dan sangat teliti sehingga gurunya sendiripun sampai percaya kepadanya jika ada persoalan yang perlu ditahkik. Awalnya beliau belum terkenal, tetapi begitu mulai menulis dan tersebar karangannya, terlihatlah kualitas keilmuannya sehingga menjadi populer dan banyak yang ingin belajar kepada beliau. Penguasaannya terhadap mazhab al-Syāfi‘ī mengagumkan. Ada satu kisah menarik terkait hal ini. Begini kisahnya.
Sudah menjadi kebiasaan sejumlah murid beliau, bahwa sebelum mengaji kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj, para murid ini akan belajar dulu malam sebelum kajian. Tujuannya nya agar saat ngaji, mereka tidak sampai terluput fawāid tambahan yang tak tertulis dalam kitab.
Suatu hari ada bagian pembahasan dalam kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj tersebut yang susah dipahami. Jadi mereka menunda pertemuan kajian dengan sang guru. Lalu mereka semua bekerja keras berusaha memecahkannya.
Malam pertama mereka gagal memecahkan maknanya. Lalu mereka menunda pertemuan dengan Ibnu al-Qarahdagī lagi. Kemudian di malam kedua mereka mencoba memecahkannya lagi, tapi masih gagal. Begitu masuk malam ketiga barulah ada salah seorang yang berhasil memecahkannya kemudian mendiskusikannya dengan kawannya dan semua setuju dengan pemecahan tersebut.
Begitu merasa sudah paham, mereka minta kajian kepada Ibnu al-Qarahdagi. Mereka berharap sang guru bingung juga dan ber-tawaqquf untuk pertama kalinya. Tapi saat tiba hari kajian, dengan entengnya sang guru menjelaskan dengan sangat bagus apa yang didiskusikan sejumlah muridnya sampai 3 hari itu. Peristiwa ini semakin membuat mereka semakin percaya dengan kedalaman ilmu sang guru.
Jadwal mengajarnya sangat padat. Beliau biasa mengajar semenjak terbit matahari sampai zuhur, lalu salat, kemudian makan siang, lalu beristirahat, dan setelah itu mengajar lagi! Karyanya cukup banyak di berbagai bidang ilmu syar’i maupun sains. Tapi di antara yang terpenting adalah al-Manhal al-Naḍḍākh ini.
Sebagaimana diterangkan singkat di awal tulisan, fokus kitab ini adalah menjelaskan ikhtilaf antara Ibnu Ḥajar al-Haitamī, al-Ramlī dan al-Syirbīnī saat mentarjih pendapat mu’tamad Mazhab al-Syāfi‘ī. Dengan demikian, ia mirip dengan kitab Bidāyatu al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, hanya saja karya Ibnu al-Qarahdagī fokus pada ikhtilaf internal mazhab al-Syāfi‘ī di fase kedua tahrir mazhab.
Kitab ini termasuk karya yang ditulis pengarang di akhir hayatnya, walaupun bisa dikatakan konsepnya sudah disiapkan sejak masa mudanya. Penulisannya tidak ditulis sekali jadi tetapi dituntaskan dalam waktu yang terpisah-pisah.
Adapun syaikh-syaikh al-Syāfi‘īyyah yang ikhtilaf-nya dibahas dalam kitab ini, maka terutama sekali adalah tiga orang yaitu Ibnu Ḥajar al-Haitamī (w. 974 H), Syamsuddin al-Ramlī (w. 1004 H)), dan al-Khaṭīb al-Syirbīnī (w. 977 H). Setelah itu di beberapa tempat dilengkapi juga dengan pendapat Syihābuddīn al-Ramlī (w.957 H), Ibnu Qāsim al-‘Abbādī (w. 944 H), al-Syabrāmallisī (w. 1087 H), dan Zakariyyā al-Anṣārī (w. 926 H).
Referensi yang dipakai saat menyusun kitab ini yang paling utama ada 3 yaitu, Tuḥfatu al-Muḥtāj karya al-Haitamī, Nihāyatu al-Muḥtāj karya al-Ramlī, dan Mugnī al-Muḥtāj karya al-Khaṭīb al-Syirbīnī. Jadi perbandingan utama memang berputar pada ketiga karya ini. Pada sebagian kasus, pengarang merujuk pada Ḥāsyiyah Ibnu Qāsim al-‘Abbādī ‘alā Tuḥfat al-Muḥtāj, Ḥāsyiyah al-Syabrāmallisī ‘Alā Tuḥfat al-Muḥtāj, Syarḥu al-Minhāj Zakariyyā al-Anṣārī.
Simbol saat merujuk ulama-ulama tersebut adalah sebagai berikut
- (حج) = untuk Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam Tūhfatu al-Muḥtāj
- (رم) = untuk Syamduddin al-Ramlī dalam Nihāyatu al-Muḥjāj
- (خط)= untuk al-Khaṭīb al-Syirbīnī dalam Mugnī al-Muḥtāj
Terkadang Ibnu al-Qarahdāgī menyebut salah satu dari 3 orang ini, lalu sisanya diungkapkan dengan ungkapan tastniyah semisal qālā (قالا)
- (سم) = untuk Ibnu Qāsim al-‘Abbādī
- (ع ش) = untuk al-Syabrāmallisī
- (الشيخ) = untuk Zakariyyā al-Anṣārī
Kelebihan kitab ini adalah detail diksinya, mendalam pembahasannya, ringkas bahasanya,padat isinya. Pentahkiknya bersaksi pengarangnya sangat amanah dan teliti dalam menukil.
Susunan kitab ini diatur dengan pembagian bab seperti pembagian topik fikih. Dimulai pembahasan ikhtilaf topik taharah, salat, zakat, puasa, … dst sampai akhir topik yakni pembebasan budak. Hasil penelitiannya menunjukkan ada hampir 2000 ikhtilaf di antara 3 muharrir besar mazhab al-Syāfi‘ī itu. Tepatnya ada 1814 ikhtilaf.
Terkait dengan tarjih terhadap ikhtilaf itu, sudah umum diketahui di kalangan pemerhati tahrir mazhab al-Syāfi‘ī bahwa Ibnu Ḥajar al-Haitamī dan Syamduddin al-Ramlī itu secara umum level keilmuannya setara. Oleh karena itu ada perbedaan pendapat hasil penelitian siapa yang dikuatkan jika mereka berbeda pendapat. Ulama-ulama Mesir lebih memilih hasil penelitian al-Ramlī sementara ulama-ulama Hijaz memilih pendapat Ibnu Ḥajar al-Haitamī .
Karena kesetaraan inilah maka ikhtilaf keduanya juga dipandang setara secara umum. Jika orang belum mampu mentarjih, maka boleh memilih secara bebas di antara pendapat keduanya. Tetapi jika sudah bisa mentarjih maka ia mentarjih berdasarkan ilmunya.
Hanya saja, dalam pendapat Ibnu al-Qarahdagī, Ibnu Ḥajar al-Haitamī itu lebih luas ilmunya daripada al-Ramlī. Karenanya, jadi jika ada ikhtilaf di antara al-Haitamī dan al-Ramlī, dan orang belum bisa melakukan tarjih maka disarankan memenangkan pendapat al-Haitamī untuk difatwakan. Penelitian al-Haitamī tetap dimenangkan baik keduanya (al-Haitami dan al-Ramlī) punya pendukung, atau tidak punya pendukung, bahkan walaupun pendukung al-Ramlī lebih banyak.
Tapi jika pendapat al-Ramlī didukung oleh al-Syirbīnī, atau didukung ulama sesudah mereka, maka penelitian al-Ramlī dimenangkan. Sebab, menurut al-Sayyid Umar al-Baṣrī dalam fatwanya, Mugni al-Muḥtaj itu selevel dengan Nihāyatu al-Muḥtāj padahal al-Sayyid Umar al-Baṣrī sendiri adalah di antara murid cemerlang al-Ramlī. Al-Kurdī dalam fatwanya juga berpendapat 3 karya tersebut levelnya berdekatan, jadi boleh saja bertaklid salah satu dari 3 penelitian mereka.
Satu fakta penting juga, al-Haitamī dalam penelitian tarjihnya banyak mengikuti hasil penelitian Zakariyyā al-Anṣārī. Al-Ramlī banyak mengikuti hasil penelitian ayahnya (Syihābuddīn al-Ramlī). Al-Syirbīnī kadang mengikuti penelitian Syihābuddīn al-Ramlī dan terkadang mengikuti Zakariyyā al-Anṣārī.
Jika mengikuti kaidah yang sudah umum terkait cara mentarjih ikhtilaf para muharrir tersebut, maka kaidahnya adalah sebagai berikut,
- Ikuti kesepakatan Ibnu Ḥajar al-Haitamī dan al-Ramlī
- Jika keduanya berbeda pendapat, bebas memilih selama belum mampu mentarjih
- Jika keduanya berbeda pendapat, dan sudah mampu mentarjih maka pilihlah berdasarkan argumentasi tarjih tersebut
- Jika ada yang luput belum dibahas dua orang tersebut, maka bertumpu pada hasil penelitian Zakariyyā al-Anṣārī
- Jika tidak ada maka bertumpu pada hasil penelitian al-Khaṭīb al-Syirbīnī
Penerbit Dār al-Basyā’ir al-Islāmiyyah mencetak kitab ini atas jasa tahqiq Prof. ‘Alī Muḥyiddīn al-Qarahdagī tahun 1428 H/2007 M dalam 382 halaman.
Ibnu al-Qarahdagī wafat pada hari Rabu, 21 Shofar tahun 1355 H/ 13 Mei 1936 M diusia sekitar 52 tahun karena kanker.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
19 Jumadal Akhirah 1444 H/12 Januari 2022 M pukul 09.52