Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Mem-“pause” tawaf tanpa uzur tidak dianjurkan. Bahkan hukumnya makruh. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Dimakruhkan memotong tawaf tanpa sebab.” (al-Īḍāḥ fī Manāsiki al-Ḥajj wa al-‘Umrah hlm 242)
Jangankan untuk hal yang tidak penting, mem-“pause” tawaf wajib untuk mengikuti salat jenazah atau melakukan salat rawatib sekalipun hukumnya makruh. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Memotong tawaf wajib untuk melakukan salat jenazah atau salat rawatib itu makruh. Sebab tidak baik meninggalkan perkara fardu ain untuk melakukan fardu kifayah.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 3 hlm 84)
Tapi jika ada uzur semisal mengikuti salat wajib berjamaah atau kebutuhan mendesak (semisal buang hajat, haus sekali, lapar sekali, berhadas, capek sekali, mengantuk sekali dll) maka tidak mengapa mem-“pause” tawaf untuk melakukan uzurnya. Setelah selesai hajatnya, tawaf bisa diresume (tidak wajib mengulang dari awal), walaupun yang afdal adalah memulai dari awal lagi. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jika salat jamaah maktubah dilaksanakan sementara dia dalam keadaan bertawaf atau ada kebutuhan mendesak, maka dia (boleh) memotong tawafnya untuk kepentingan itu. Jika sudah selesai maka meresume, tetapi memulai dari awal afdal.” (al-Īḍāḥ fī Manāsiki al-Ḥajj wa al-‘Umrah hlm 242)
Mem-“pause” tawaf tidak membatalkan tawaf karena muwālāt (berturut-turut) bukan rukun tawaf. Status muwālāt adalah sunah muakad. Oleh karena itu, jika ditinggalkan karena ada uzur maka tawaf tetap sah.
17 Rajab 1444 H / 8 Februari 2022 M pukul 10.18