Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Yang dimaksud syarat sah sai dalam tulisan ini adalah hal-hal yang harus direalisasikan sebelum sai.
Ini saya bedakan dengan rukun sai yang harus dilakukan saat melakukan sai.
Syarat-syarat sah sai hanya dua saja yaitu,
Pertama, sai dilakukan setelah tawaf sahih.
Kedua, sai harus dilakukan di tempat sai/mas‘ā (الْمَسْعى).
***
Untuk syarat yang pertama, yang dimaksud tawaf sahih adalah tawaf yang tuntas dan sah.
Jadi, jika sai dilakukan padahal tawaf masih belum selesai (misalnya kurang satu putaran), maka sainya tidak sah.
Jika tawafnya lengkap 7 putaran, tetapi teringat bahwa dia batal saat tawaf itu dan belum wudu, berarti tawafnya juga tidak sah yang membuat sainya juga tidak sah.
Jika bersai lalu di tengah jalan ingat tawafnya belum lengkap atau sudah lengkap tapi tidak sah, maka dia harus menuntaskan tawafnya dulu, kemudian mengulangi sainya dari awal.
Ringkasnya tidak sah sai apapun, baik sai dalam rangka melaksanakan rukun haji maupun rukun umrah, kecuali dilakukan setelah tawaf sahih.
Adapun tawaf yang dimaksud dalam pembahasan ini, maka perlu dirinci.
Jika melaksanakan ibadah umrah, berarti yang dimaksud tawaf sahih disini adalah tawaf umrah, alias tawaf rukun yang harus dilakukan dalam umrah.
Tetapi jika melakukan ibadah haji, maka tawaf disini boleh berupa tawaf ifāḍah, bahkan boleh juga tawaf qudūm.
Jika orang yang berhaji melakukan tawaf ifāḍah lalu disusul sai, maka itu urutan yang sudah benar. Tetapi jika dia melakukan tawaf qudūm dan langsung disusul sai, maka nanti saat tawaf ifāḍah tidak perlu lagi bersai. Bahkan makruh melakukan sai lagi dalam kondisi ini.
Tidak mungkin tawaf yang dimaksud di sini adalah tawaf wadā‘, karena tawaf wada‘ itu dilakukan terakhir kali dan tidak ada ibadah apapun setelah itu termasuk sai.
Jika orang membalik urutan, misalnya sai dulu baru kemudian tawaf, maka sainya tidak sah.
Dalil yang menunjukkan bahwa sai harus dilakukan setelah tawaf adalah perbuatan Rasulullah ﷺ. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari ‘Amr bin Dinar beliau berkata: Kami pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma tentang seseorang yang tawaf di Ka’bah ketika melaksanakan ‘umrah namun belum melakukan sai antara bukit Ash Shafaa dan Al Marwah, apakah dia boleh berhubungan dengan isterinya? Dia menjawab: “Nabi ﷺ pernah datang ke Baitullah, Beliau tawaf di Baitullah tujuh kali putaran kemudian shalat dua raka’at di belakang Maqam (Ibrahim) lalu melakukan sai antara bukit Shafa dan Marwah tujuh kali. (Sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah).” (H.R.al-Bukhārī)
Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Ulama-ulama al-Syāfi‘īyyah mutaqaddimīn kami berkata, ‘Disyaratkan sai dilakukan setelah tawaf sahih” (al-Majmū‘ juz 8 hlm 72)
Adapun syarat kedua, yakni sai harus dilakukan di tempat sai/mas‘ā maka hal ini juga didasarkan pada perbuatan Rasulullah ﷺ. Artinya jika orang bersai masuk dalam area Masjidil Haram maka sainya tidak sah.
Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“al-Syāfi‘ī dan ulama-ulama al-Syāfi‘īyyah mutaqaddimīn berkata, ‘Tidak boleh bersai di selain tempat sai.’” (al-Majmū‘ juz 8 hlm 76)
Adapun suci dari hadas, maka itu bukan syarat sah sai.
Suci dari najis juga bukan syarat sah sai.
Menutup aurat juga bukan syarat sah sai.
Bahkan semua syarat sah salat bukan syarat sah sai.
Bukan syarat sah juga muwālāt (berturut-turut) antara tawaf dengan sai. Jadi, khusus untuk kasus haji (tidak berlaku untuk umrah) jika disela-selai ritual lain seperti mencukur rambut, melempar jamrah, atau bermalam di mina maka itu tidak masalah. Yang tidak boleh hanya satu: di sela-selai wukuf.
7 Sya’ban 1444 H / 27 Februari 2022 pukul 10. 57