Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika seorang suami mengetahui istrinya berbuat kemungkaran, maka fardu ain hukumnya bagi suami untuk mencegahnya. Entah kemungkaran itu di dunia maya maupun di dunia nyata.
Misalnya istri menggunjing, suuzan, ngemplang utang, tidak amanah, berbohong, ujub, fakhr, sombong, memfitnah orang, mengungkap aib orang, janji kirim barang tapi tidak tepat waktu, memutus silaturahmi, keluar tumah tidak izin, menolak saat diajak berhubungan suami istri, membangkang saat diperintah keluar dari organisasi tertentu, malas mandi padahal sudah suci dari haid, dan berbagai kemungkaran lainnya. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Terkadang amar makruf nahi mungkar (yang status asalnya fardu kifayah) bisa menjadi fardu ain. Misalnya jika berada di sebuah tempat yang mana tidak ada yang tahu kecuali dia atau tidak mungkin bisa menghilangkan kemungkaran itu kecuali dia. Juga seperti orang yang melihat istrinya atau anaknya atau pembantunya melakukan kemungkaran atau melalaikan hal makruf.” (Syarḥu al-Nawawi ‘Alā Muslim, juz 2 hlm 23)
***
Cara mencegah kemungkaran istri bisa dilakukan secara bertahap. Awali dulu dengan cara lembut seperti menjelaskan kemungkaran perbuatannya berdasarkan ilmu dan dalil-dalil atau menasihatinya dengan lemah lembut untuk meninggalkan maksiat tersebut.
Cara lembut ini bisa divariasikan dengan mimik wajah yang tidak suka, atau diam dalam waktu agak lama dan semisalnya. Wanita yang halus perasaannya biasanya sangat tanggap jika suaminya tidak berkenan sehingga akan segera mengubah perilakunya yang mungkin salah tapi tidak disadari.
Jika cara lembut itu tidak mempan, maka suami boleh memakai cara yang lebih tajam seperti ucapan pedas, nylekit, omelan dan semisalnya selama akurat dan tetap menjaga agar tidak sampai berkata kotor yang melampaui batas.
Contoh kalimat pedas yang direkomendasikan ulama adalah semisal kata-kata, “yā jāhil” (hei bodoh), yā aḥmaq (hei tolol) apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Kalimat setajam ini bagi wanita yang hatinya masih ada kebaikan akan terasa sekali dalam hatinya, sehingga dia akan menyadari bahwa selama ini dia kurang memperhatikan nasihat suaminya sehingga harus diingatkan dengan cara yang dicampuri unsur kemarahan karena Allah dan kalimat pedas.
Jika ucapan pedas tidak mempan juga, maka suami boleh mencegahnya dengan paksa dengan tindakan riil yang melenyapkan semua wasilah yang dipakainya untuk melakukan kemungkaran. Misalnya istri melalaikan salat karena asyik dengan ponsel, atau menjalin cinta terlarang dengan lelaki yang tidak halal dengan ponsel tersebut, maka suami boleh merampas ponselnya itu.
Jika tindakan tegas demikian masih belum menghentikan kemungkaran istri, maka suami boleh bertindak dengan ancaman fisik dan menghukum secara fisik. Misalnya mengancam menindak fisik dan riil melakukan tindakan tersebut.
Misalnya istri diingatkan jangan suka menggunjing dan menghina orang dan diancam kalau masih “ndableg”/bebal maka akan “ditapuk”/ditampar mulutnya. Ternyata istri masih melanggarnya. Nah dalam kondisi ini, boleh suami mencegahnya dengan cara melakukan tindakan fisik tersebut, dengan syarat tidak sampai level membahayakan istri dan semata-mata bermaksud hanya mendidiknya untuk meninggalkan maksiat.
***
Hanya saja, potensi melakukan maksiat dalam rumah tangga itu bukan hanya istri.
Suami juga bisa.
Misalnya istri mengetahui suami suka melihat cewek-cewek cantik/seksi di HP, menonton konten telanjang, komunikasi dengan wanita ajnabiyah yang sudah melampaui batas, atau bahkan sudah berselingkuh dan berzina.
Bisa juga kemungkaran suami itu bentuknya adalah tidak menafkahi, tidak bertanggung jawab, tidak peduli anak, mempergauli istri dengan buruk, mengabaikan istri, tidak salat, salatnya bolong-bolong, salatnya ditelat-telatkan, malas belajar ilmu din dan sebagainya.
Pertanyaannya, “Jika suami yang melakukan kemungkaran seperti itu, apakah istri juga wajib mencegah? Jika iya sejauh mana dibolehkan caranya? Apakah sama haknya dengan suami sampai level boleh mencaci, memaki, memukul, mengancam fisik, dll?”
***
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya kewajiban amar makruf nahi mungkar itu berlaku bukan hanya suami kepada istri tetapi juga bagi istri kepada suami. Jadi, jika istri mengetahui suaminya berbuat kemungkaran, maka wajib baginya untuk mencegahnya.
Hanya saja, nahi mungkar itu ada 5 tingkatan,
Pertama, ta‘rīf (التعريف), yakni menjelaskan bahwa sebuah perbuatan termasuk maksiat dan kemungkaran
Kedua, kalām laṭīf (الكلام اللطيف), yakni menasihati dengan lembut untuk meninggalkan kemungkaran tersebut
Ketiga, ta‘nīf (التعنيف), yakni menasihati dengan keras memakai kata-kata tajam dan pedas yang disertai unsur kemarahan karena Allah.
Keempat, qahr (القهر), yakni mencegah kemungkaran dengan paksa dengan cara melenyapkan wasilah yang dipakai untuk berbuat mungkar.
Kelima, tahdīd wa ḍarb (التهديد والضرب) yakni mencegah kemungkaran dengan ancaman dan tindakan fisik.
Al-Gazzālī berkata,
Artinya,
“Sesungguhnya hisbah/kontrol sosial/amar makruf nahi mungkar itu ada 5 tingkatan.” (Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn juz 2 hlm 315)
Nah, untuk istri amar makruf nahi mungkar kepada suami yang boleh hanya tingkatan pertama dan kedua, yakni menjelaskan kemungkaran sebuah perbuatan dan menasihati dengan lembut.
Adapun menasihati dengan kalimat tajam apalagi sambil berkacak pinggang, melotot dan menunjuk-nunjuk, maka itu tidak boleh karena istri wajib hormat kepada suami dan suami punya hak besar pada istri. Tidak boleh amar makruf nahi mungkar dilakukan dengan melakukan maksiat yang lain. Kekurangajaran istri kepada suami adalah dosa sebagaimana dosanya anak yang kurangajar kepada orang tuanya.
CATATAN
Amar makruf nahi mungkar kepada orang yang dihormati memang sedikit berbeda. Tidak boleh amar makruf nahi mungkar dilakukan dengan cara yang melanggar kawajiban hormat tersebut.
Ketentuan yang sama, yakni amar makruf nahi mungkar memakai tingkatan pertama dan kedua juga berlaku bagi anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya, budak kepada tuannya dan rakyat kepada penguasanya.
Oh ya, untuk amar makruf nahi mungkar dengan level 3, ada ikhtilaf jika dilakukan kepada orang yang dihormati seperti orang tua. Al-Gazzālī berpendapat itu boleh.
18 Zulkaidah 1444 H/ 7 Juni 2023 pukul 12.09