Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Hak guru itu dihormati. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Seyogyanya seorang murid memandang gurunya dengan mata penghormatan.” (al-Majmū‘ juz 1 hlm 36)
Untuk melaksanakan adab menghormati guru ini, al-Syāfi‘ī sampai tidak berani membolak-balik halaman buku dengan suara keras yang dikhawatirkan akan didengar Imam Malik.
Al-Rabī’ tidak berani minum dalam keadaan dilihat oleh Imam al-Syāfi‘ī.
Syarik menolak menjawab pertanyaan anak khalifah yang dipandang tidak beradab saat bertanya hadis.
***
Wajar, orang yang menunjukkan jalan menuju Allah itu tentu jasanya sangat besar.
Sebab, tidak ada keuntungan yang lebih besar daripada selamat di akhirat. Jika ada hamba Allah yang mengajari kita ilmu jenis ini, maka kebaikannya tidak bisa ditukar dengan harta sebesar apapun. Walaupun kita membayarnya dengan emas sepenuh bumi sekalipun.
Jadi, jika kita menghormati dan memuliakan guru yang seperti itu, maka itu sudah sepantasnya dan sudah selayaknya. Sebab, sebanyak apapun kita membalas dengan hal-hal duniawi, maka itu tetap tidak sebanding dengan kebaikan yang beliau berikan.
Kemampuan menjaga adab untuk senantiasa menghormati guru inilah yang bisa membuat kita mendapatkan berkah ilmu beliau, membuat ilmu bermanfaat dan membuat ilmu lebih menancap dalam hati. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Yang demikian itu lebih dekat agar bisa mengambil manfaat dari guru dan menancapnya ilmu pada benak yang didengar dari beliau.” (al-Majmū‘ juz 1 hlm 36)
***
Hanya saja, adab untuk memandang guru dengan pandangan penghormatan ini ada ujiannya.
Di antara ujiannya adalah kita dibuat tahu aib sang guru!
Secara alami, orang yang tahu aib orang lain biasanya pandangan matanya berubah.
Dari menghormati berubah menjadi mencibir!
Menghina!
Merendahkan!
Buruk sangka!
Nah, jika mencibir, merendahkan, menghina dan buruk sangka itu dialamatkan kepada guru yang selama ini kita menimba ilmu din kepadanya, maka itu bermakna kita melanggar prinsip untuk menghormati guru. Merendahkan seorang muslim saja sudah bernilai dosa, apalagi merendahkan guru yang berjasa kepada kita. Dobel dosanya, yakni dosa iḥtiqār (merendahkan) dan dosa kufur nikmat.
Maksiat seperti itu bisa menghancurkan semua yang kita bangun selama ini.
Yakni, ilmu yang kita timba dari beliau akhirnya tidak bermanfaat dan hilang berkahnya. Ini yang rugi jelas kita, bukan sang guru.
Oleh karena itu, ada riwayat di mana sebagian salaf berdoa supaya jangan sampai tahu aib gurunya. Sebab tidak mudah memenajemen hati untuk tetap hormat kepada guru dalam keadaan sudah tahu betul aibnya. Jika gagal memanajemen hati, lalu akhirnya mencibir gurunya sendiri, maka hancur sudah jerih payahnya selama ini dan hilanglah berkah ilmunya.
Jadi, daripada berpayah-payah memanajemen hati untuk tetap hormat dalam keadaan sudah tahu aib guru, lebih baik kita tidak usah tahu sama sekali aib guru. Kita berdoa supaya Allah menutup mata kita sehingga tidak perlu tahu aib sang guru. Toh mustahil juga berharap manusia sebaik apapun tidak punya cacat dan tidak punya aib. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Sebagian mutaqadimin jika pergi kepada gurunya maka beliau bersedekah dan berdoa, ‘Ya Allah tutupilah aib guruku dariku dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmu beliau dariku’.” (al-Majmū‘ juz 1 hlm 36)
***
Apalagi jika guru yang dibahas adalah gurunya guru. Yakni Rasulullah ﷺ. Tentu hak beliau jauh berlipat-lipat untuk dihormati dan dimuliakan.
Perhatikan semua orang yang menghina dan merendahkan Rasulullah ﷺ dalam sejarah. Ketika dia tidak menyesal dan tidak bertobat, maka sampai mati dia tidak akan mendapatkan manfaat ilmu Rasulullah ﷺ dan mati dalam keadaan kafir.
***
Memandang kesalahan dan aib guru seharusnya begini:
Guru yang saleh dan baik tentu tidak pernah melalukan maksiat atau dosa terang-terangan. Jika sampai dilakukan terang-terangan, berarti jatuh statusnya sebagai orang adil sehingga tidak layak diambil ilmunya.
Tapi setiap manusia pasti punya aib dan punya cacat. Walau guru yang baik sekalipun.
Selama aib tersebut dilakukan sembunyi-sembunyi maka itu urusan beliau dengan Allah.
Urusan kita dengan guru hanyalah mengambil ilmu untuk kemaslahatan akhirat kita.
Dari sini kita bisa memahami mengapa doa sebagian salaf adalah minta kepada Allah supaya menutupi aib gurunya darinya. Sebab aib guru memang bukan urusan kita. Tidak penting tahu dan memang tidak perlu tahu. Malahan jika dibuat tahu itu ujuan yang sangat besar bagi kita. Sebab tidak semua orang berhasil untuk memanajemen hati sehingga tetap memberikan hak guru untuk dihormati setelah tahu aibnya. Seringkali orang gagal sehingga berbalik menjadi mencibir yang itu akan membuat ilmunya menjadi tidak berkah dan tidak bermanfaat.
***
Jika menghormati guru adalah adab menuntut ilmu, maka sebagai konsekuensinya seorang guru juga berhak menolak murid yang tidak beradab. Sebab, kalaupun diterima sebagai murid, maka ilmunya juga tidak akan manfaat karena saat berguru dia sudah mengawali dengan maksiat.
Lagipula berdakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah fardu kifayah. Jadi, seorang guru boleh menolak murid yang nir-adab agar menjadi pelajaran supaya dia belajar ke ulama lain dan lebih berhati-hati lagi dalam urusan adab.
Ada riwayat bagaimana Imam Malik menolak orang masuk ke dalam majelis beliau karena adabnya yang buruk. Bahkan beliau juga pernah mengusir orang dari majelisnya yang mengajukan pertanyaan tidak beradab.
25 Zulkaidah 1444 H/ 14 Juni 2023 pukul 08.01