Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dari semua rezeki halal yang mungkin masuk ke dalam kantong seorang dai, rezeki yang
Terbaik jika diurutkan mulai kualitas tertinggi hingga level bawah adalah sebagai berikut,
- Hasil kerja halal yang tidak terkait aktivitas dakwah/mengajar
- Upah mengajar/dakwah
- Hadiah/pemberian penguasa
- Pemberian murid/muhibbin/fans/teman/saudara
- Utang
Maknanya, seorang ustaz yang berdagang/menjadi pengusaha atau menjadi tani, atau menjadi tukang cukur misalnya atau menjual jasa halal apapun, itu lebih bagus dan lebih utama daripada menggantungkan rezeki dari hasil ceramah dan berdakwah, baik diakadi maupun tidak. Sebab saat berdakwah beliau bisa lebih terbantu untuk ikhlas dan tidak mengharap uang setelah mengajar. Juga berdasarkan dalil bahwa makanan terbaik adalah yang berasal dari hasil karya tangan kita sendiri. Bukan menunggu uluran tangan orang.
Tetapi, mengajar agama lalu diberi “amplop” sebagai “bisyārah” atau mengajar dengan akad ijarah itu lebih utama dan lebih mulia daripada menggantungkan rezeki dari pemberian dan santunan penguasa. Sebab, pemberian setelah dakwah tanpa diakadi jelas mubah dan tidak merusak keikhlasan. Jika diakadi sekalipun maka juga jelas kehalalannya karena ada dalil yang memubahkannya. Berbeda dengan pemberian penguasa yang umumnya hartanya tercampur dengan yang tidak halal.
Walaupun demikian, mendapatkan hadiah dari penguasa masih lebih mulia daripada mendapatkan rezeki dari hadiah murid/muhibbin/fans/teman/saudara. Sebab, pemberian dari murid itu bisa membuat guru menjadi sulit ikhlas, karena setiap mengajar akan ada godaan berniat mendapatkan pemberian murid. Juga karena ada potensi lidah menjadi kelu untuk mengingatkan murid yang salah sementara dia sering memberi hadiah.
Tapi menerima pemberian murid masih lebih baik daripada berutang, karena khawatirnya wafat dalam keadaan belum bisa melunasi utangnya.
Di riwayatkan Imam Ahmad berkata,
Artinya,
“Upah mengajar lebih baik daripada hadiah penguasa dan hadiah penguasa lebih baik daripada pemberian saudara (dalam din)/para murid.” (Majmū’ al-Fatāwā, juz 30 hlm 193)
5 Zulhijah 1444 H/ 23 Juni 2023 pukul 19.05