Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Definisi tamu dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu mencakup semua orang yang singgah ke tempat kita dan menghadiri makanan kita.
Jadi bukan dibatasi pada musafir saja.
Tetangga dekat sekalipun atau teman yang bukan musafir, kalau berkunjung dan bertamu ke rumah kita maka termasuk definisi tamu juga yang kita diperintahkan untuk memuliakannya. Ibnu Ḥajar al-Haitamī berkata,
Artinya,
“Yang dimaksud tamu di sini adalah setiap orang yang menghadiri makanan orang lain.” (Tuḥfatu al-Muḥtāj, juz 7 hlm 434)
Jadi, perintah memuliakan tamu itu dalam mazhab al-Syāfi‘ī berlaku pada semua jenis tamu.
Entah musafir atau bukan musafir. Hanya saja tamu musafir itu memang lebih kuat lagi perintah memuliakannya, karena makna asli ḍaif dalam bahasa Arab itu memang garīb (stranger). Bukan orang yang sudah biasa dan kita kenal. Ibnu Ḥajar al-Haitamī berkata,
Artinya,
“Makna asli ḍaifun/tamu adalah orang asing/stranger. Dari situ perintah menjamunya dan memuliakannya lebih dikuatkan tanpa perlu memaksa-maksa diri.” (Tuḥfatu al-Muḥtāj, juz 7 hlm 434)
Pembedaan antara memuliakan tamu stranger dan bukan stranger menunjukkan definisi tamu itu mencakup musafir dan bukan musafir.
Al-Nawawi menegaskan bahwa dalam mazhab al-Syāfi‘ī memuliakan tamu itu diperintahkan kepada orang yang tinggal menetap (الحاضر) maupun nomaden (البادي). Hal ini menunjukkan definisi tamu dalam mazhab al-Syāfi‘ī mencakup musafir maupun bukan musafir. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Para ulama berbeda pendapat apakah menjamu tamu itu diperintahkan kepada pemukim tetap ataukah orang nomaden saja? Al-Syāfi‘ī dan Muhammd bin al-ḥakam berpendapat itu berlaku bagi keduanya.” (Syarḥu al-Nawawi ‘alā Muslim, juz 2 hlm 18-19)
Adapun penjelasan yang mengatakan bahwa tamu itu definisinya hanya musafir, maka saya menemukan pembatasan lugas seperti itu di artikel ini,
Saya belum tahu dasar fatwa dalam artikel di atas itu mazhab apa.
21 Zulhijah 1444 H/ 9 Juli 2023 pukul 18.55