Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sebenarnya konsepsi dasar selawat kepada Nabi Muhammad ﷺ itu untuk BERTERIMA KASIH.
Matur nuwun.
Balas jasa.
Membalas kebaikan dengan doa.
Juga tanda cinta.
Mencintai hamba saleh karena Allah.
Bukan untuk menarik dunia.
Apalagi memuaskan hasrat kebendaan yang tidak akan pernah ada habisnya itu.
Begini penjelasannya.
***
Allah itu benci sekali dengan orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.
Entah tidak bisa berterima kasih kepada Allah atau hamba.
Masalah tidak bisa berterima kasih kepada Allah ini banyak sekali disebut dalam Al-Qur’an. Hamba yang bisa berterima kasih disebut syākirīn, yang tidak tahu diri dan tidak mau berterima kasih kepada Allah dengan menyembah hanya kepada-Nya disebut kāfirin. Memang tidak tahu berterima kasih itu bahasa Arabnya kufrun. Lawan dari syukrun.
Termasuk berterima kasih kepada hamba.
Allah benci dengan hamba yang tidak bisa berterima kasih kepada orang tuanya dengan berbakti kepada mereka. Mereka disebut anak-anak durhaka. Pasti ke neraka jika tidak bertobat.
Allah juga benci dengan wanita-wanita yang tidak bisa berterima kasih kepada suaminya. Rasulullah ﷺ menyebutnya “wa yakfurnal ‘asyīr”. Yakni istri-istri yang kufur terhadap suami. Di antara penyebab banyak wanita masuk neraka ya karena tidak bisa berterima kasih kepada suaminya ini.
Oleh karena itu ada syariat mukāfa’ah.
Yakni membalas kebaikan orang dengan kebaikan serupa dalam rangka berterima kasih kepadanya. Jika tidak mampu membalas setara, maka minimal mendoakan jazākallāhu khairan ‘annī.
Nah, jika kebaikan-kebaikan duniawi seperti kebaikan orang tua dan suami saja diwajibkan untuk berterima kasih, maka bagaimana mestinya kita membalas kebaikan besar Rasulullah ﷺ yang mengajari kita ilmu agar selamat dalam kehidupan setelah mati?!
Jasa dan kebaikan Rasulullah ﷺ itu jutaan, milyaran, triliunan kali daripada kebaikan orang tua dan suami. Sudah pasti kita tidak akan sanggup membalas kebaikan Rasulullah ﷺ dengan balasan setara.
Karena Allah tahu kita lemah dan tidak akan sanggup membalas kebaikan beliau, maka Allah mengajari kita membalas budi Rasulullah ﷺ dengan cara membaca selawat kepada beliau.
Saking besarnya hak Rasulullah ﷺ untuk dibalas jasanya itu, maka Allah sampai memerintahkan secara khusus kepada kaum muslimin untuk berselawat dan bersalam kepada beliau.
Hukum berselawat ini bukan hanya sunah, tapi wajib!
Minimal sekali seumur hidup, jika umur tinggal beberapa menit misalnya.
Juga di wajibkan dibaca satu kali setiap kali salat, yakni saat tasyahud akhir.
Jadi sehari minimal kita berterima kasih kepada Rasulullah ﷺ sebanyak 5 kali.
Lebih bagus lagi jika ditambahi sebanyak-banyaknya, baik di dalam salat maupun di luar salat.
Ibnu Abdis Salām berkata,
Artinya,
“Selawat kita kepada Nabi ﷺ itu bukan bentuk syafaat kita kepada beliau. Orang seperti kita tidak pantas memberi syafaat kepada orang seperti beliau. Akan tetapi (makna selawat kita kepada beliau adalah) Allah memerintahkan kita untuk membalas orang yang telah berbuat baik kepada kita. Jika kita tidak mampu membalasnya, maka kita membalas dengan doa. Maka Allah mengajari kita untuk berselawat kepada beliau karena Dia tahu kita tidak akan mampu membalas (jasa besar) nabi kita.” (Fatḥu al-Bārī, juz 11 hlm 168)
Itulah sebenarnya konsep selawat yang benar.
Jadi, selawat dibaca dalam konteks melakukan amal saleh.
Bentuk melaksanakan perintah Allah.
Bentuk berterima kasih kepada Rasulullah ﷺ atas jasa-jasa besar beliau membimbing kita meniti jalan Allah.
Jika seperti ini kesadaran kita saat membaca selawat, maka itulah bacaan selawat yang paling ikhlas dan paling layak untuk diharapkan diterima Allah.
Bacaan dengan kesadaran seperti itu pulalah yang paling layak untuk diganjar semua janji-janji Allah terkait ibadah ini. Baik janji di akhirat seperti mendapatkan syafaat, diampuni dosanya, diberi 10 selawat dari Allah dll maupun janji di dunia, seperti dipenuhi kebutuhannya. “Iżan tukfā hammaka” demikian sabda Rasulullah ﷺ.
4 Safar H/ 21 Agustus 2023 pukul 17.02