Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Bagaimana Anda memandang cinta dalam pernikahan?
Saya memandang itu bukan segalanya.
Cinta “hanyalah” salah satu bentuk bantuan dari Allah agar kewajiban lebih ringan dijalankan.
Maknanya, jangan memutuskan menghentikan pernikahan hanya karena sudah tidak ada rasa. Tidak cinta. Saat menerima atau menolak calon juga jangan menjadikan cinta sebagai standar kebaikan karena bisa menipu. Rasulullah cinta kepada khadijah, tapi biasa saja, hanya kasihan dan bahkan tidak cinta kepada Saudah.
Adapun ayat Al-Qur’an yang berbunyi “fankiḥū mā ṭāba lakum minan nisā’” dan seterusnya, maka makna bahasa ṭāba sebenarnya ke arah aroma. Aroma yang enak disebut tābat al-rā’ihah. Lalu kata ṭāba dipakai untuk makna rida. Jadi kita dipersilakan menikahi wanita yang kita ridai. Makna rida lebih luas dari sekedar mencintai. Bisa dengan cinta, bisa tidak misalnya menikahi anak ulama untuk menghormati gurunya, atau menikahi wanita agar dapat nasabnya dan lain-lain. Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Juga bisa memudar jika sering tersakiti.
Dramatisasi cinta itu tidak islami. Cinta diakui, tapi bukan segalanya. Nikmat dari Allah sekaligus ujian. Jika tidak ada dalam rumah tangga, maka itu tidak menghalangi beramal saleh. Orang yang menjadikan cinta segalanya biasanya akan cepat memutuskan pernikahan jika merasa sudah terkikis rasa cintanya.
Diriwayatkan, Umar bin Al-Khotthob berkata sebagaimana dinukil oleh Al-Fasawi,
Artinya,
“…..Jarang sekali rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta. Yang terjadi, orang-orang saling bergaul (cukup) atas dasar Islam, nasab dan kebaikan.” (Al-Ma’rifah wa At-Tarikh juz 1, hlm 392)
19 September 2023/ 4 Rabi’ul Awal 1445 H pukul 07:06