Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Orang awam itu tidak dituntut untuk berijtihad.
Malahan, orang awam itu haram berijtihad.
Jika sampai dia berijtihad lalu kebetulan benar, maka dia tetap berdosa!
Dikatakan berdosa karena dia berbicara tanpa ilmu dan berani mengatasnamakan Allah padahal dia tidak punya alat untuk memahami dalil.
***
Satu-satunya tugas awam terkait hukum adalah serius mencari rujukan yang benar.
Itulah “ijtihad”nya.
Dengan kata lain, jika pakai istilah ijtihad, orang awam wajib “berijtihad” untuk memilih mana mujtahid yang dijadikan rujukan. Atau minimal “berijtihad” untuk memilih mana ulama yang paling berilmu yang bisa dipercaya menyampaikan ijtihad mujtahid tertentu.
Setelah dapat ulama yang dipercayai, maka dia menuntut ilmu kepada ulama tersebut dan meminta fatwa kepadanya sesuai kemampuannya di tempat masing-masing.
Itulah hisab untuk orang awam di akhirat nanti.
***
Hari ini terkadang dalam satu permasalahan banyak sekali fatwa yang berbeda-beda dan saling berbenturan.
Bagi orang awam, yang seperti ini seringkali membuat bingung: Mana yang benar? Mana yang harus dipilih? Mana yang wajib diamalkan?
Tentu saja tidak mungkin mengamalkan semua. Jadi wajib hukumnya memilih salah satu.
Standar memilih rujukan itu tidak boleh hanya karena kesamaan organisasi, kesamaan afiliasi, kesamaan circle, cinta-benci urusan duniawi dan semua standar/kriteria batil lainnya.
Kriteria memilih rujukan adalah al’amiyyah (الأعلمية), yakni dipilih siapa yang diyakini lebih berilmu.
Artinya, awam harus serius meneliti dan serius “berijtihad” sampai dia mantap bahwa mujtahid A adalah lebih berilmu daripada mujtahid B. Atau minimal harus meneliti bahwa ulama A lebih berilmu, lebih teliti, lebih mendalam, lebih luas kajiannya, lebih tajam analisisnya dan lebih berhati-hati daripada ulama B dalam menukil pendapat mujtahid atau mufti.
****
Di zaman Nabi ﷺ ada seorang wanita yang bernama Subai’ah (سبيعة).
Beliau hamil.
Lalu suaminya wafat.
Hanya beberapa malam semenjak sang suami wafat, Subai’ah ini melahirkan.
Begitu selesai melahirkan, dia memandang dirinya sudah lepas dari masa idah, sehingga mulai berdandan cantik untuk mencari suami baru.
Tapi di jalan beliau bertemu dengan seorang lelaki yang naksir kepadanya bernama Abū al-Sanābil (أبو السنابل).
Abū al-Sanābil ini menegurnya. Wong suami baru wafat, belum sampai 4 bulan 10 hari kok sudah berdandan. Abū al-Sanābil berpendapat berdasarkan umumnya lafaz Al-Qur’an bahwa masa idah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari, tidak peduli apakah dalam kondisi hamil ataukah tidak.
Mendengar teguran tersebut Subai’ah bergegas datang kepada Rasulullah ﷺ untuk mengkonfirmasi. Ternyata jawaban Rasulullah ﷺ malah membela Subai’ah. Artinya masa idah wanita hamil berakhir dengan melahirkan, walaupun nifasnya belum selesai. Jadi sudah sah dan boleh berdandan untuk mencari suami setelah melahirkan.
***
Begitulah.
Jika Anda mendapati fatwa berseliweran, lalu terasa ada yang janggal, maka jangan langsung ditelan. Tanyakan kepada ulama yang lebih berilmu di sekitar Anda yang Anda percayai. Seperti Subai’ah yang merasa janggal dengan fatwa Abū al-Sanābil sehingga mengklarifikasi dengan bertanya langsung kepada Rasulullah ﷺ. Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī berkata,
Artinya,
“Pada kisah Subai’ah itu terdapat (prinsip untuk) merujuk pada orang yang paling berilmu dalam kasus-kasus yang terjadi.” (Fatḥu al-Bārī)
16 Januari 2024/ 5 Rajab 1445 H pukul 11.09