Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Suap/risywah dengan hadiah itu sangat mirip. Tetapi suap hukumnya haram mutlak sementara hadiah justru kebaikan dan amal saleh.
Minimal ada dua persamaannya:
Pertama: Sama-sama memberi harta
Kedua: Sama-sama saling rida
Kalau begitu, apa perbedaannya?
Berikut ini saya ringkaskan kerangka berfikirnya.
***
Orang ngasih harta itu semuanya pasti berharap BALASAN.
Semua balasan itu bisa dikelompokkan menjadi 5 macam.
Nomor 1-3 dibolehkan. Tapi nomor 4 dan 5 itulah yang harus diwaspadai karena berpotensi dihukumi risywah/suap.
Balasan yang mungkin diharapkan pada orang yang memberi harta adalah,
- Pahala
- Harta
- Cinta
- Kepentingan
- Aksi
Contoh kasus 1:
Kita keluar rumah lalu bertemu dengan pengemis, lalu kita beri uang. Kita sama sekali tidak berharap pujian pengemis, juga tidak berharap diapresiasi, juga tidak berharap dicoblos atau kepentingan duniawi apapun. Kita hanya berharap pujian dari Allah, rida dari-Nya dan pahala di akhirat.
Contoh kasus 2:
Ada orang miskin menghadiahi orang kaya. Dia memberi hadiah, tapi berharap dibalas setara atau lebih banyak. Misalnya menghadiahi parfum, tapi berharap dibalas dengan satu setel baju.
Termasuk jenis ini adalah mengikuti acara bertukar hadiah. Dia sudah menyiapkan hadiah, tapi juga berharap dapat balasan hadiah setara atau lebih baik.
Contoh kasus 3:
Salah seorang muhibbin yang memberi hadiah ulama atau keturunan Rasulullah ﷺ berupa uang atau mobil. Yakni berharap mendapatkan cinta dari orang saleh sehingga dia mendapatkan kebaikan akhirat.
Termasuk jenis ini juga adalah seperti para sahabat saat memberi hadiah Rasulullah ﷺ. Atau para sahabat saling memberi hadiah satu sama lain karena didorong rasa cinta karena Allah.
Contoh kasus 4:
Seorang pengusaha rajin memberi hadiah presiden, atau gubernur, atau bupati, atau camat. Tujuan memberi hadiah bukan karena cinta kepada para pejabat itu, juga bukan karena benar-benar ingin mendapatkan cintanya. Tetapi dia berharap kepentingannya di masa yang akan datang akan dibantu. Saat ini belum jelas dan belum tahu butuh apa. Tapi nanti pada saatnya baru akan tahu apa yang dibutuhkan dari pejabat itu. Entah misalnya berbentuk penetapan undang-undang yang menguntungkan pengusaha, atau pemberian konsesi dan semisalnya. Pejabat yang dapat hadiah secara alami akan timbul cinta, tapi bukan cinta itu yang ditarget pengusaha. Cinta pejabat hanyalah “jembatan” dan wasilah yang dipakai untuk mewujudkan kepentingannya yang asli. Seandainya pejabatnya ganti, maka sudah pasti hadiah itu akan dialihkan kepada orang baru yang memiliki otoritas tersebut.
Termasuk jenis yang keempat ini adalah semisal pengusaha yang suka memberi hadiah kyai, ulama dan habaib. Tujuannya bukan mendapatkan cinta para ulama atau habaib tersebut. Tetapi tujuannya adalah agar kyai, ulama, habaib itu mau merekomendasikan kaum muslimin supaya anaknya disekolahkan ke lembaganya misalnya. Atau meng-endorse produknya. Atau kepentingan-kepentingan yang lain.
Contoh kasus 5:
Seorang pengusaha memberi uang kepada hakim dengan tujuan agar dia menang dalam merampas tanah rakyat kecil. Ia memberi harta, tapi berharap balasan aksi (الفعل/العمل) yakni putusan hakim yang menguntungkannya.
Termasuk jenis ini adalah seseorang membayar saksi nikah agar mau bersaksi di pengadilan karena kasus sengketa waris. Sebelum dipermasalahkan ke pengadilan, dia sudah nikah siri dan akad nikahnya waktu itu hanya ada dua saksi saja. Tapi saat saksi ini dibutuhkan, si saksi agak ogah-ogahan untuk datang. Nah untuk melicinkan, dia memberi sejumlah uang agar mau datang. Ini juga jenis memberi uang dengan berharap balasan aksi/fi’lun/amal, yakni perbuatan bersaksi di depan pengadilan.
Termasuk jenis ini juga adalah kasus rakyat kecil membayar staf gubernur agar menyampaikan kasus penggusuran tanah yang dialaminya. Dia bisa saja langsung minta ketemu gubernur. Tapi prosedurnya lama dan mbulet. Dia juga harus bicara panjang lebar yang belum tentu didengar oleh gubernur. Nah, daripada bercapek-capek, maka dia memilih salah satu orang dekat gubernur yang kalau bicara akan cepat didengar dan direspon. Orang ini diberi harta dengan syarat mau menyampaikan kasusnya kepada sang gubernur. Ini juga contoh memberi harta dengan berharap balasan aksi/fi’lun. Yakni aksi menyampaikan kasus kepada gubernur.
***
Untuk kasus pertama, yakni memberi harta dengan harapan dibalas Allah di akhirat, maka tidak ada perselisihan lagi bahwa itu adalah amal saleh dan jenis memberi harta yang paling baik. Jelas bukan risywah/suap.
Untuk kasus kedua, yakni memberi harta dengan harapan mendapatkan harta setara atau lebih banyak, maka ini juga boleh. Masuk hukum hibah bisyarthin, yakni hibah bersyarat atau berharap syaratnya terwujud. Statusnya sah karena semakna dengan jual beli. Tidak termasuk risywah/suap.
Untuk kasus ketiga, yakni memberi harta dengan harapan mendapatkan cinta, maka ini juga diperintahkan Rasulullah ﷺ dalam hadis “tahādau taḥabbū” (hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai). Jadi, jelas ini tidak termasuk risywah/suap.
Untuk kasus yang keempat, yakni memberi harta dengan harapan di masa yang akan datang dia bisa meraih kepentingannya, maka perlu dicek jāh (الجَاهُ) orang yang diberi harta itu apa.
- Jika jāh-nya adalah otoritas, misalnya dia khalifah, sultan, presiden, gubernur, hakim, polisi, wakil rakyat, bupati, camat, kepala desa, komisaris, direktur dan semisalmnya, maka pemberian harta kepada dia dihukumi risywah/suap.
- Jika jāh-nya adalah ilmu atau nasab, misalnya dia ulama atau kyai, atau ustaz, atau keturunan Rasulullah ﷺ, atau suku Quraisy, atau keturunan raja dan semisalnya, maka pemberian harta kepadanya dihukumi hadiah biasa. Walaupun demikian, al-Gazzālī memakruhkan para ulama atau orang bernasab mulia menerima hadiah jenis ini. Imam Ahmad termasuk yang sangat keras menolak hadiah semacam ini
Oh ya, makna jāh ringkasnya adalah sesuatu yang membuat orang dihormati dan ditaati. Kasus Ibnu al-Lutbiyyah dalam hadis termasuk jenis ini. Ibnu al-Lutbiyyah dihormati dan ditaati kaum muslimin di zaman itu bukan karena ilmunya atau nasabnya. Tetapi beliau dihormati dan ditaati karena diberi jabatan Rasulullah ﷺ untuk mengambil harta zakat. Jadi, jāh-nya adalah jenis otoritas. Karena itulah Rasulullah ﷺ sangat teliti dan memandang hadiah yang diberikan kepadanya dihukumi risywah/suap. Sebab pemberi harta jelas tidak menarget pahala dari Allah, juga tidak menarget harta dari Ibnu al-Lutbiyyah dan juga tidak menarget cinta Ibnu al-Lutbiyyah. Targetnya tidak jelas saat itu juga, tapi akan menjadi jelas di masa yang akan datang. Misalnya tahun berikutnya jika sudah tiba waktunya membayar zakat, maka Ibnu al-Lutbiyyah akan bersikap longgar dan memaafkan kekurangan tarikan zakat karena selama ini sudah merasa tidak enak mendapatkan hadiah dari orang tersebut.
Untuk kasus yang kelima, yakni memberi harta dengan harapan dibalas dengan aksi/fi’lun/’amal maka ini harus diperhatikan jenis “jasanya”:
- Jika jasa tersebut adalah jasa haram, misalnya hakim diberi uang agar bisa memenangkan perampasan tanah rakyat kecil, maka ini jelas risywah/haram.
- Jika jasa tersebut statusnya fardu ain bagi yang diberi uang, maka ini juga dihukumi risywah/suap. Misalnya orang diminta menjadi saksi nikah, sementara saksinya hanya dirinya saja. Dalam kasus ini menjadi saksi sudah fardu ain, jadi dia haram menerima uang apapun karena itu termasuk risywah/suap. Tetapi jika status bersaksinya masih fardu kifayah, misalnya ada 10 saksi, lalu ada dua saksi yang diminta untuk segera bersaksi dengan diberi uang, maka itu bukan risywah dan dihukumi semakna dengan ijārah/ji’ālah saja
- Jika jasa tersebut statusnya mubah, misalnya menyampaikan kasus kepada pejabat, yang mana dia butuh effort (ta’ab) untuk melakukannya, dan dia bisa saja meminta tolong kepada orang dekat pejabat atau orang jauh, maka yang seperti ini juga bukan risywah/suap. Ia dihukumi semakna dengan ijārah/ji’ālah saja
Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika (balasan yang diharapkan pemberi adalah) amal haram atau wajib ain, maka itu risywah. Jika amal tersebut mubah maka itu ijārah atau ji’ālah. Adapun jika (balasan yang diharapkan pemberi adalah) kedekatan hubungan dan cinta kepada orang yang diberi, maka jika cinta tersebut semata-mata karena diri (orang yang dicintai. Muafa: yakni tidak ada motif lain selain mendapatkan cinta saja), maka itu hadiah. Jika (memberi bukan menarget cinta, tetapi tujuannya) untuk menjadikannya sebagai wasilah dengan jāh-nya (yakni pengaruhnya) untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu, maka jika jāh-nya diperoleh dengan ilmu atau nasab maka itu hadiah. Jika (jāh-nya diperoleh) dengan peradilan dan amal (yakni otoritas mengadili atau otoritas lain apapun), maka itu risywah.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 11 hlm 144)
***
Atas dasar ini, harta “serangan fajar” atau pemberian tim capres atau pemberian caleg kepada rakyat kecil sebenarnya hibah biasa.
Sebab pemberian itu tidak termasuk yang ditargetkan mendapatkan pahala, atau harta, atau cinta. Juga tidak diberikan kepada orang yang punya otoritas. Juga bukan pemberian yang ditargetkan untuk melakukan perbuatan haram atau fardu ain.
Benar, mereka para caleg atau capres itu punya kepentingan dicoblos, tetapi rakyat kecil tidak punya jāh (الجاه) apapun sehingga tidak masuk definisi risywah.
Termasuk bukan risywah adalah orang-orang yang diberi harta oleh caleg/capres untuk membagi-bagikan pemberian kepada rakyat kecil. Karena perbuatannya adalah jasa yang mubah.
Tetapi jika ada caleg atau capres yang memberi orang yang punya otoritas, entah itu presiden, gubernur, pemimpin perusahaan, pemimpin organisasi, pemimpin lembaga dan semisalnya maka itulah yang tergolong risywah/suap.
Jadi, pemberian caleg,/capres bisa tergolong risywah atau hibah tergantung siapa yang diberi.
***
Adapun jika ada syarat di depan, misalnya “Saya beri ini dengan syarat Anda mencoblos saya” kemudian diiyakan, maka perhatikan pilihan Anda. Jika orang yang memberi memang Anda pilih, maka Anda bisa menerima pemberiannya. Tapi jika pilihan Anda beda, maka sebaiknya tolak saja untuk berhati-hati. Karena khawatir bentuk berbohong, mengkhianati amanah dan persaksian palsu. Tetapi jika dikembalikan pada hukum bahwa hibah itu tidak sah ta’liq-nya, maka pemberian seperti ini bagi rakyat kecil juga dibolehkan.
Wallahua‘lam.
31 Januari 2024/ 19 Rajab 1445 H pukul 13.24