Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Anda disebut menerima risywah/suap jika Anda menerima pemberian orang sementara Anda,
- Dihormati orang dan ditaati karena OTORITAS yang Anda miliki. Misalnya Anda menerima “hadiah”, padahal Anda sultan, hakim, presiden, menteri agama, menteri wakaf, gubernur, bupati, penarik pajak, penarik zakat, camat, direktur, rektor, dekan dan semisalnya. Walaupun saat diberi, Anda tidak tahu apa maunya, atau hanya menduga apa maunya. Anda bisa semakin yakin bahwa itu suap adalah jika membayangkan Anda tidak punya otoritas, apa iya dikasih “hadiah” semacam itu. Jika Anda yakin “hadiah” itu tidak datang jika Anda tidak punya otoritas, maka jangan ragu lagi, bahwa itu jelas risywah.
- Diminta melakukan perbuatan HARAM. Misalnya Anda hakim, lalu diberi uang terdakwa bersalah yang minta agar Anda memutuskan bebas untuknya. Uang dari terdakwa itu jelas risywah
- Diminta melakukan perbuatan yang hukumnya FARDU AIN bagi Anda. Misalnya Anda tidak mau salat lima waktu. Lalu ada saudara Anda yang kaya yang mau “menggaji” Anda bulanan jika mau salat 5 waktu. Maka “gaji” Anda itu jenis risywah. Termasuk ulama di sebuah kampung yang hanya ada satu orang ulama di sana, maka menerima uang dari jamaah juga dihitung risywah. Kecuali banyak ulama sehingga hukum mengajar masih fardu kifayah. Dalam hal ini masih boleh menerima uang “bisyarah”
Jika Anda orang kecil, rakyat jelata, tidak punya pengaruh, didatangi hanya saat butuh, maka hadiah orang kepada Anda itu dihukumi hibah biasa. Bukan risywah/suap. Itu sama seperti lelaki yang ingin menikahi wanita lalu membelikan martabak untuk wanita tertarget, atau membelikan sate orang tuanya. Yakni dibaiki karena ada maunya, bukan karena pengaruh Anda kepada banyak orang. Yang seperti itu bukan risywah.
Jika Anda punya pengaruh/jāh (dihormati dan ditaati), bukan karena punya otoritas tapi karena sebab lain, misalnya karena ilmu atau nasab, maka hadiah orang kepada Anda juga dihukumi hadiah. Walaupun di balik itu ada kepentingan duniawi dari pemberinya. Jadi, jika Anda ulama dan dihormati orang karena ilmunya (bukan karena otoritasnya), maka semua hadiah kepada Anda itu bukan risywah. Walaupun Anda tahu bahwa caleg/capres ingin Anda memberi fatwa kepada pengikut Anda supaya memilih dia.
Termasuk jika Anda keturunan Rasulullah ﷺ dan dihormati orang karena nasab Anda, maka semua hadiah kepada Anda itu bukan risywah. Walaupun Anda tahu bahwa caleg/capres ingin Anda memberi fatwa kepada muhibbin Anda supaya memilih dia. Hanya saja, al-Gazzālī memandang makruh hukumnya menerima seperti ini.
Begitulah ringkasan fikih bedanya risywah dengan hadiah.
Semoga semakin memperjelas cara menilai terkait politik uang di musim pemilu ini.
2 Februari 2024/ 21 Rajab 1445 H pukul 20.12