Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sebenarnya berdasarkan mazhab al-Syāfi‘ī sekalipun, menyatukan awal Ramadan dan Syawal untuk kasus di Indonesia itu sulit. Sebab pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī itu menegaskan bahwa metode dasar penetapan Ramadan dan Syawal adalah memakai rukyat1, sementara rukyat yang dimaksud adalah rukyat lokal, bukan rukyat global. Yakni berlaku hanya radius satu maṭlak (الْمَطْلَعُ). Konversi 1 maṭlak dalam satuan kilometer kira-kira sekitar 133 Km dengan penghitungan: 1 maṭlak= 24 farskah2, dan 1 farsakh= 5,554 Km3. Indonesia lebih luas daripada itu. Jadi jelas maṭlak-nya akan banyak sekali. Jadi berdasarkan Mazhab al-Syāfi‘ī sekalipun, sah-sah saja berbeda sesuai maṭlak masing-masing!
Penetapan Ramadan dan Syawal di Indonesia itu lebih teliti jika kita katakan dasarnya adalah ḥukmu al-ḥākim bi al-Syahādah (حُكْمُ الْحَاكِمِ بِالشَّهَادَةِ), yakni keputusan pemerintah atas dasar persaksian melihat hilal. Hampir semua negara berpenduduk mayoritas muslim yang mengadopsi rukyat memakai ini. Cara inipun diakui dalam Mazhab al-Syāfi‘ī walaupun sifatnya bukan metode dasar, tapi turunan dari rukyat. Al-Nawawi berkata4,
“(termasuk metode yang diakui) Di antaranya adalah jika penguasa memutuskan (besok tanggal 1 Ramadan) berdasarkan persaksian orang orang adil atau satu orang adil -jika kita membolehkannya-, maka wajib berpuasa (Ramadan). Tidak masalah jika ada keraguan yang kadang mungkin tersisa.”
Oleh karena itu, jika ingin menyatukan umat Islam di Indonesia atas dasar fikih ini, lebih tepat “serangannya” bukan ke metode hisab, tetapi “serangannya” adalah ke masalah “taat waliyyul amri”. Tapi jika tekanannya adalah taat waliyyul amri, maka harus konsisten juga untuk bersikap taat jika pemerintah menetapkan atas dasar hisab!
Masalahnya, apakah semua umat Islam di Indonesia sepakat bahwa pemerintah/kementerian agama adalah waliyyul amri? Jika benar waliyyul amri, apakah Indonesia negara Islam? Nampaknya semua sepakat bahwa Indonesia bukan negara Islam. Lalu, adakah dalam kitab-kitab fikih yang menjelaskan bahwa sebuah negara dihukumi bukan negara Islam, tetapi menaati pemerintahannya tetap dihukumi wajib atas dasar konsep taat waliyyul amri?
Dokumen ulama-ulama NU lama menyebut pemerintah Indonesia adalah waliyyul amri al-ḍarūrī bi al-syaukah5. Artinya, dipandang sebagai pemerintahan darurat. Bisa jadi atas dasar pemikiran ini sejumlah kyai NU memfatwakan wajib hukumnya mengikuti pemerintah. Artinya, taat kepada pemerintah dalam hal ini dipandang sebagai tadayyun, bukan sekedar konsensus duniawi. Hanya saja saya belum tahu sejauh mana ketaatan terhadap pemerintah dalam pemikiran ulama NU. Apakah dibatasi pada area tertentu ataukah mutlak.
Bagi Muhammadiyyah sudah jelas, Indonesia dipandang sebagai Dārul ‘Ahdi wa al-Syahādah, bukan negara Islam6. Artinya, bernegara tidak lebih dipandang sebagai bentuk kesepakatan sosial. Tidak ada unsur tadayyun sama sekali. Sama dengan kesepakatan sosial di negara-negara Barat. Dari sini wajar jika Muhammadiyah tidak merasa “berdosa” jika berbeda dengan pemerintah dalam urusan mengawali Ramadan dan Syawal. Karena urusan keyakinan bukan wilayah yang diatur oleh pemerintah Indonesia. Ada juga kelompok-kelompok kecil yang memandang Indonesia sebagai Darul Kufur bahkan Tagut. Tentu saja kelompok demikian justru merasa berdosa jika menaati pemerintah Indonesia.
Jadi, jika bicara penyatuan awal Ramadan, sebaiknya dirumuskan dulu, ini yang mau disatukan ibadahnya umat Islam di Indonesia saja ataukah seluruh dunia? Jika Indonesia saja, maka tidak mungkin pakai pendapat mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī, karena rukyat lokal dengan radius matlak akan berpotensi beda terus. Menyatukan dengan hisab juga sulit, karena masih banyak sekali yang meyakini bahwa satu-satunya metode sahih mengawali Ramadan hanyalah rukyat saja. Sebab ini diyakini masalah ibadah. Hisab bahkan dianggap sebagai bid’ah. Mengkompromikan antara rukyat dengan hisab memakai gagasan kriteria Imkān al-Ru’yah (entah pakai kriteria MABIMS, LAPAN, Ilyās, Odeh maupun RHI) saya juga belum melihat ada cahaya. Sebab ide ini lebih bernuansa “memaksa” kelompok hisab mau menerima pemikiran rukyat. Sementara yang mengadopsi hisab sudah yakin bahwa rukyat itu metode usang, hanya dipakai saat umat Islam masih ummi, dan sudah selayaknya tidak pernah ditoleh lagi di zaman astronomi semaju sekarang. Apalagi jika ide penyatuannya dibatasi untuk area wilayatul hukmi saja. Yang paling logis sesuai dengan kenyataan adalah sosialisasi fikih taat waliyyul amri atau fikih mengutamakan persatuan di daerah mukim. Itupun tidak mudah. Terutama mengubah pemikiran kelompok yang meyakini pemerintah Indonesia itu kufur atau thagut.
Jika yang digagas persatuan ibadah muslim sedunia, maka pertarungannya jelas hanya antara rukyat global dan hisab kalender global. Mazhab al-Syāfi‘ī yang mengadopsi rukyat lokal jelas tidak relevan lagi. Dari dua pilihan ini, saya melihat masa depan terletak pada hisab, karena lebih masuk akal, saintifik dan lebih stabil. Lebih cocok untuk membangun peradaban dunia Islam. Rukyat yang tidak pasti itu tidak cocok untuk urusan ekonomi, politik dan kenegaraan. Yang mengagumkan, seorang ulama Mesir besar yang bernama Syaikh Ahmad Syākir, sudah lama menggaungkan ide penyatuan umat Islam memakai Kalender Hijriah Global Tunggal di awal abad 20 lalu. Visinya brilian menurut saya.
Hanya saja, mungkin masih ada sejumlah keberatan yang harus terus didiskusikan dan dipertarungkan, bukan hanya di kalangan astronom tapi juga fukaha. Misalnya soal kriteria ketinggian bulan minimal 5 derajat, garis batas tanggal internasional, GMT, dan lain-lain. Jika para astronom dan fukaha seluruh dunia sudah menyepakati kriteria, lalu pemimpin negara-negara muslim juga mendukung, maka penyatuan hari ibadah muslim sedunia bukan perkara yang mustahil lagi. Walaupun tanpa mempersyaratkan berdirinya kekhalifahan global terlebih dahulu.
9 Maret 2024/ 28 Sya’ban 1445 H pukul 15.26
Catatan Kaki
- Syihābuddīn Abū al-‘Abbās Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Alī bin Ḥajar Al-Haitamī, Tuḥfatu Al-Muḥtāj Fī Syarḥi al-Minhāj, vol. 3 (Miṣr: Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1983), 372.
- Syamsuddīn Muḥammad bin Aḥmad al-Khaṭīb Al-Syirbīnī, Mugnī Al-Muḥtāj Ilā Ma‘Rifati Ma’Ānī Alfāẓi al-Minhāj, 1st ed., vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 145.
- Muḥammad Rawwās Qal‘ahjī and Ḥāmid Ṣādiq Qunaibī, Mu‘Jamu Lugati Al-Fuqahā,’ 2nd ed. (Beirut: Dār Al-Nafā’is, 1988), 343.
- Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf Al-Nawawī, Rauḍatu Al-Ṭālibīn Wa ‘Umdatu al-Muftīn, 3rd ed., vol. 2 (Beirut: Al-Maktab al-Islamī, 1991), 354.
- Desri Juliandri, Maskun Maskun, and Syaiful M, “Tinjauan Historis Pengangkatan Soekarno Sebagai Waliyy Al-Amr al-Daruri Bi Al-Syaukah Oleh NU,” PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah) 2, no. 3 (May 19, 2014), https://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/5054.
- Muhammad Junaedi, Fajar Muharram, and Muhammad Yani, “Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah : Internalisasi Nilai-nilai Islam Dalam Membangun Wawasan Kebangsaaan di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah,” JPK (Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan) 6, no. 1 (March 6, 2021): 11–24, https://doi.org/10.24269/jpk.v6.n1.2021.pp11-24.
Daftar Pustaka
Al-Haitamī, Syihābuddīn Abū al-‘Abbās Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Alī bin Ḥajar. Tuḥfatu Al-Muḥtāj Fī Syarḥi al-Minhāj. Vol. 3. 10 vols. Miṣr: Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1983.
Al-Nawawī, Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf. Rauḍatu Al-Ṭālibīn Wa ‘Umdatu al-Muftīn. 3rd ed. Vol. 2. 12 vols. Beirut: Al-Maktab al-Islamī, 1991.
Al-Syirbīnī, Syamsuddīn Muḥammad bin Aḥmad al-Khaṭīb. Mugnī Al-Muḥtāj Ilā Ma‘Rifati Ma’Ānī Alfāẓi al-Minhāj. 1st ed. Vol. 2. 6 vols. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
Juliandri, Desri, Maskun Maskun, and Syaiful M. “Tinjauan Historis Pengangkatan Soekarno Sebagai Waliyy Al-Amr al-Daruri Bi Al-Syaukah Oleh NU.” PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah) 2, no. 3 (May 19, 2014). https://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/5054.
Junaedi, Muhammad, Fajar Muharram, and Muhammad Yani. “Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah : Internalisasi Nilai-nilai Islam Dalam Membangun Wawasan Kebangsaaan di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah.” JPK (Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan) 6, no. 1 (March 6, 2021): 11–24. https://doi.org/10.24269/jpk.v6.n1.2021.pp11-24.
Qal‘ahjī, Muḥammad Rawwās, and Ḥāmid Ṣādiq Qunaibī. Mu‘Jamu Lugati Al-Fuqahā.’ 2nd ed. Beirut: Dār Al-Nafā’is, 1988.