Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Bulan syawal adalah waktu awal bulan haji.
Artinya, orang yang mau haji kemudian berihram semenjak tanggal 1 Syawal maka itu sah. Hanya saja konsekuensinya waktu bersabar untuk menjauhi larangan ihram menjadi lebih panjang, sebab puncak ritual haji nantinya adalah wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijah.
Artinya, dia harus “berpuasa” dari segala larangan ihram hampir selama 2,5 bulan.
Adapun batas akhir waktu haji, maka dalam mazhab al-Syāfi‘ī diterangkan maksimal tanggal 10 Zulhijah saat terbit fajar. Artinya, jika orang berihram untuk haji tanggal 10 Zulhijah setelah terbit fajar dan berwukuf tanggal 10 Zulhijah setelah terbit fajar, maka hajinya tidak sah dan wukufnya juga tidak sah.
Itupun tidak bermakna ihramnya bisa dibatalkan!
Sebab, jika dia berihram setelah terbit fajar tanggal 10 Zulhijah tersebut dengan niat haji, maka ihramnya sah sebagai umrah dan dia harus menyelesaikannya!
Makna menyelesaikannya adalah harus dilanjutkan dengan tawaf, sai, lalu melakukan tahallul pamungkas yakni mencukur atau memotong rambut.
Berbeda halnya jika orang berniat ihram haji tanggal 10 Zulhijah tetapi masih di malam hari sebelum terbit fajar. Misalnya berihram setelah magrib, atau setelah isya atau jam 23.00 malam atau jam 02.00 dinihari, lalu setelah itu berwukuf. Ini ihramnya sah, wukufnya sah dan hajinya juga sah.
Atas dasar ini, bisa dipahami bahwa waktu untuk haji itu spesifik dan tidak boleh keluar darinya, yakni mulai tanggal 1 bulan Syawwal dan berakhir tanggal 10 Zulhijah saat terbit fajar.
Adapun umrah, maka bebas sepanjang tahun setiap saat. Tidak ada waktu spesifiknya.
Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Adapun mīqāt zamānī (untuk haji), maka itu (dimulai bulan) Syawwal, Zul Qa’dah dan 10 malam Zulhijah yang mana waktu akhirnya adalah terbitnya fajar di hari raya Idul Adha.” (al-Īḍāḥ fī Manāsiki al-Ḥajj wa al-Umrah, hlm 113)
18 April 2024 / 9 Syawal 1445 H Pukul 08.42