Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Berumrah sambil berwisata itu persoalan niat. Tepatnya adalah berniat duniawi saat melakukan ibadah.
Berwisata saat umrah itu secara umum memungkinkan kita bagi menjadi dua macam jenis.
Pertama, niat utamanya umrah kemudian sebagai pelengkap dia juga ingin berwisata ke tempat-tempat bersejarah semisal Jabal Nur, Jabal Rahmah, Jabal Uhud, Jabal Tsur. Atau berwisata ketempat-tempat rekreasi semisal di pasar kurma, Jabal Magnet, Taif, dan lain-lain.
Kedua: Niat utamanya berwisata, misalnya ke Cappadocia di Turki, lalu “biar tidak rugi” transit ke Mekah dan menjalankan ibadah umrah. Termasuk yang semisal dengan ini adalah jika niat umrah dan berwisatanya 50%-50%. Termasuk juga mereka yang “murni” umrah tapi targetnya adalah untuk wisata reliji, melihat-lihat keantikan bangunan Kakbah, menikmati struktur Masjidil Haram, relaksasi, “healing” dan semisalnya.
***
Tentu saja ibadah umrah (termasuk haji) itu yang terbaik adalah murni semata-mata ingin memenuhi panggilan Allah tanpa ada niat duniawi sedikitpun. Niat seperti inilah yang paling ikhlas, paling bersih dan paling bisa diharapkan diterima Allah. Orang dengan niat umrah seperti ini kalaupun ikut travel justru akan menolak diajak berwisata. Dia lebih memilih umrah berkali-kali atau menghabiskan waktu untuk beribadah di Masjidilharam daripada mengunjungi tempat-tempat wisata.
Hanya saja, melarang target-target duniawi saat menjalankan ibadah umrah (termasuk haji) itu bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebab Allah membolehkan seseorang berhaji sambil berdagang. Artinya, Allah mengizinkan ada (sedikit) niat duniawi yang masuk pada niat ibadah. Allah berfirman,
Artinya,
“Tidak ada dosa bagi kalian mencari karunia dari Tuhan kalian.” (al-Baqarah: 198)
Dalam Sahih al-Bukḥārī ada riwayat dari Ibnu Abbās bahwa ‘Ukāẓ, Majannah dan Żul Majāz adalah pasar-pasar di masa jahiliyah. Lalu para Sahabat merasa berdosa jika sampai berdagang di musim haji. Ternyata Allah menurunkan ayat di atas yang mengizinkan berdagang pada musim haji.
Walaupun demikian, masuknya niat duniawi seperti itu tidak bermakna ibadahnya bernilai sama dengan mereka yang ibadah dengan ikhlas murni yang sama sekali tidak dicampur niat duniawi. Buktinya para Sahabat awalnya merasa tidak enak jika niat berdagang sambil berhaji. Artinya, didikan ikhlas yang diajarkan Rasulullah ﷺ selama ini begitu menancap pada hati mereka sampai level memahami bahwa memasukkan niat duniawi saat mengunjungi Baitullah itu mereka khawatirkan akan menghancurkan pahala haji mereka. Jadi, sejarah ini menunjukkan haji murni semata-mata berniat memenuhi panggilan Allah tetap paling unggul dibandingkan dengan haji yang dicampuri motif duniawi. Sejauh-jauh pengertian kebolehan berdagang sambil berhaji adalah dimaafkannya motif duniawi saat berhaji selama motif tersebut TIDAK DOMINAN.
Oleh karena itu, para ulama yang serius menyelidiki persoalan ini menyimpulkan bahwa ibadah apa pun (tentu saja termasuk haji dan umrah) jika dicampuri niat duniawi maka harus dilihat aspek dominasinya. Jika dominan ibadah, maka masih ada harapan mendapatkan pahala sesuai kadar niat ibadah tersebut. Jika dominan niat duniawi, maka hancurlah keseluruhan pahala ibadah tersebut dan dia tidak mendapatkan pahala apa pun. Jika berimbang fifty-fifty, maka hancur juga pahala ibadahnya dan dia tidak mendapatkan pahala apa pun. Ibnu Mizyān berkata,
Artinya,
“Adapun jika dia beramal berdasarkan dua motivasi yakni motivasi dunia dan motivasi agama, maka jika motivasi dunia lebih kuat atau sama (dengan motivasi agama) maka status hukumnya disamakan dengan jenis pertama yakni sia-sianya amal tersebut sebagaimana menjadi pendapat para imam dalam topik ini.” (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Ditempat lain beliau berkata,
Artinya,
“Adapun jika motivasi agama lebih kuat, maka Al-Muhasibi menghukumi sia-sianya amal tersebut dengan berpegang teguh memakai hadits sebelumnya termasuk juga hadis yang semakna dengannya. Jumhur ulama berbeda pendapat dengannya. Mereka mengatakan amal tersebut sah -mendapatkan pahala- (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
***
Atas dasar, bisa dipahami bahwa orang yang berumrah jika ada niat berwisata maka harus diperiksa niat mana yang dominan.
Jika niat dominannya adalah berumrah, maka inilah yang masih bisa diharapkan mendapatkan pahala umrahnya. Sesuai kadar niat umrahnya. Jika niat umrahnya 90%, maka sebesar itu pula pahalanya. Jika niatnya 80%, sekadar itupula saja pahala yang bisa diharapkan. Demikian seterusnya jika lebih rendah dari itu seperti 70%, 60%, 51 % selama sifatnya masih dominan.
Tetapi jika niat dominannya justru berwisata, maka inilah yang menghancurkan seluruh pahala umrah. Tidak peduli apakah dominannya 51%, 60%, 70%, 80%, 90% apalagi 100%. Bahkan berimbang saja yakni 50%-50% sudah cukup untuk menghancurkan seluruh pahala umrah.
***
Adapun cara mengetahui motivasi umrah ataukah berwisata yang dominan, maka dilihat semangatnya. Jika agenda wisata dibatalkan lalu tetap bersemangat untuk berumrah, maka itu menunjukkan niatnya berumrah lebih kuat. Jika agenda berwisata dibatalkan dia jadi tidak bersemangat berumrah, bahkan tidak bersedih jika digagalkan, berarti niat berwisatanya lebih kuat. Jika wisata dibatalkan masih ada niat umrah tapi merasa belum cukup tenaga untuk lanjut jika tidak ada alternatif wisata, maka niat umrah dengan wisatanya berimbang.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
Sabtu, 27 April 2024 / 18 Syawal 1445 H Pukul 19.26