Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Hukum berumrah sekalian berbisnis di tanah suci itu secara umum sama seperti berumrah dengan niat sekaligus berwisata. Ulasan panjang lebar bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “UMRAH SAMBIL BERWISATA, BOLEHKAH?”
Ringkasnya, semua itu tergantung kadar niatnya.
Jika niat berbisnis seimbang dengan niat umrah, maka hancurlah pahala umrahnya. Jika niat bisnis lebih dominan daripada niat umrah maka hancur juga pahala umrah. Yang masih bisa diharapkan mendapatkan pahala umrah adalah jika niat umrahnya lebih dominan daripada niat bisnisnya.
Dasar dari ketentuan ini di antaranya adalah ayat dalam Al-Qur’an,
Artinya,
“Tidak ada dosa bagi kalian mencari karunia dari Tuhan kalian.” (al-Baqarah: 198)
Sabab nuzul ayat di atas adalah kebiasaan orang Arab jahiliah yang berbisnis dengan cara berdagang di pasar-pasar mereka di musim haji seperi Ukaż, Majannah, dan Żul Majāz. Jadi, orang Arab jahiliyah itu memang justru sengaja memanfaatkan ramainya manusia di musim haji sebagai pasar untuk produk mereka.
Ketika Rasulullah ﷺ diutus dan diajari makna ikhlas, maka para Sahabat menjadi merasa berdosa jika berhaji sekaligus niat berdagang. Tapi kemudian turun ayat di atas untuk mengoreksi Sahabat, bahwa niat berdagang itu (selama bukan niat utama) masih diizinkan dan tidak merusak pahala haji secara keseluruhan. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata: ‘Ukazh, Majannah dan Dzul Majaz adalah nama-nama pasar di zaman Jahiliyyah. Ketika Islam datang mereka seakan-akan merasa berdosa bila tetap berdagang di pasar-pasar tersebut. Maka turunlah ayat {LAISA ‘ALAIKUM JUNAAHUN AN TABTAGHUU FADHLAN MIN RABBIKUM} (Tidak ada dosa bagi kalian jika mencari karunia rizqi Rabb kalian…..). (Al Baqarah: 198) Ini dilakukan selama musim haji, Ibnu ‘Abbas membacakan ayat tersebut.” (H.R. al-Bukhārī)
***
Pengertian seperti inilah yang semestinya dipakai untuk memahami ungkapan al-Nawawī dalam al-Majmū’ sebagai berikut,
Artinya,
“al-Syāfi‘ī dan ulama-ulama al-Syāfi‘īyyah mutaqaddimin berkata, ‘Disunahkan orang yang bermaksud haji supaya membebaskan diri dari maksud berdagang atau semisalnya di jalan menuju haji. Jika dia keluar dengan niat berhaji dan berdagang, lalu berhaji dan berdagang maka sah hajinya dan gugur darinya kewajiban berhaji tetapi pahalanya di bawah pahala orang yang bebas dari niat berdagang. Semua hal ini tidak ada perselisihan.” (al-Majmū’, juz 7 hlm 76)
Maknanya, haji sudah sah dan gugur kewajiban walaupun ada motivasi bisnis dalam hatinya. Yakni pada saat niat haji lebih dominan daripada niat bisnis. Jika niat bisnis lebih dominan, maka hancur seluruh pahala haji walaupun kewajiban haji sudah sah dan gugur darinya. Wallahua‘lam.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
Minggu, 28 April 2024 / 19 Syawal 1445 H Pukul 07.35