Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di zaman Nabi ﷺ belum ada hotel. Jadi, jika kita mendengar berita Rasulullah ﷺ dan para Sahabat melakukan umrah atau haji, sekali-kali jangan pernah membayangkan mereka menginap di hotel, lengkap dengan segala fasilitasnya yang nyaman.
Yang paling logis berdasarkan riwayat adalah membayangkan Rasulullah ﷺ dan para Sahabat menginap di tempat-tempat singgah tertentu dengan cara mendirikan kemah/tenda. Itulah yang bisa kita fahami pada riwayat Rasulullah ﷺ saat hendak wukuf di Arafah berikut ini,
Artinya,
“Maka beliau (Rasulullah ﷺ) mendapati tenda telah didirikan untuk beliau di Namirah, lalu beliaupun singgah di sana.” (H.R. Muslim)
Konteks riwayat di atas adalah sebagai berikut.
Ketika Rasulullah ﷺ berhaji wada’, saat Rasulullah ﷺ sampai di Arafah, beliau memerintahkan Sahabat untuk mendirikan tenda yang terbuat dari bulu di sebuah bukit yang bernama Namirah. Lokasi bukit ini di dekat Arafah tapi belum masuk Arafah. Begitu tenda tersebut terpasang maka beliau masuk dan singgah di dalamnya.
Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ beristirahat dalam safar di dalam tenda. Jika Rasulullah ﷺ demikian keadaannya, maka bisa dibayangkan para Sahabat yang lain kondisinya juga kurang lebih sama.
Oleh karena itu, jika kita melakukan haji atau umrah lalu mendapatkan penginapan yang kurang enak sedikit, atau tenda di Arafah yang tidak berkasur misalnya, ingat-ingatlah bagaimana kesederhanaan Rasulullah ﷺ dan para Sahabat dalam hal tempat menginap di masa lalu. Agar lebih kuat ketabahannya dan rasa syukurnya.
***
Untuk makanan juga jelas tidak seperti zaman sekarang. Asal punya uang, maka kita bebas berkuliner ria ke restoran manapun yang paling sesuai dengan selera kita. Di zaman Rasulullah ﷺ belum berkembang bisnis kuliner dengan konsep restoran atau katering seperti di zaman sekarang. Oleh karena itu, orang yang melakukan safar jauh untuk haji dan umrah harus menyiapkan perbekalan khusus yang diangkut dengan unta khusus. Istilah unta yang digunakan untuk khusus mengangkut perbekalan dan alat-alat adalah zāmilah (الزَّامِلَةُ).
Apa isi perbekalan yang dibawa jamaah haji dan umrah di zaman Rasulullah ﷺ?
Berdasarkan sejumlah riwayat dalam safar-safar Nabi ﷺ, bisa kita duga di antara makanan yang pasti di bawa adalah kurma. Sebab kurma ini makanan pokok orang Arab di zaman itu. Riwayat dalam perang Tabuk yang menunjukkan Rasulullah ﷺ memperbanyak kurma menguatkan kesimpulan bahwa bekal safar utama zaman itu di antaranya adalah kurma. Apalagi ada riwayat Aisyah yang mengabarkan bahwa dalam kondisi mukim, makanan utama Rasulullah ﷺ adalah kurma dan air.
Selain kurma, makanan mereka adalah daqiq (الدَّقِيْقُ) dan sawīq (السَّوِيْقُ). Daqiq dan sawiq itu semuanya bisa diterjemahkan tepung gandum. Bedanya, daqīq itu adalah tepung dari gandum mentah. Sedangkan sawiq, gandumnya dipanggang dulu dalam api (disangrai) baru dihaluskan. Dua bahan makanan ini jelas menunjukkan nanti masih akan diolah lagi menjadi adonan, kemudian dibuat menjadi semacam roti. Al-Wāqidī meriwayatkan kisah persiapan Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar menjelang berangkat haji wada’ sebagai berikut,
Artinya,
“Dari Asmā’ binti Abū Bakr beliau berkata, ‘Abu Bakar berkata kepada Rasulullah ﷺ saat berada di Madinah, ‘Sesungguhnya aku punya seekor unta untuk mengangkut perbekalan kita’. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Oke, itu saja kalau begitu’. Asmā’ berkata, ‘Dari situ unta yang membawa perbekalan Rasulullah ﷺ dan Abū Bakar dijadikan satu. Lalu Rasulullah ﷺ memerintakan untuk membawa perbekalan berupa daqīq dan sawīq.” (Magāzī al-Wāqidī, juz 3 hlm 1093)
Selain itu kita juga bisa menduga, sesekali mereka mungkin akan makan daging kambing atau unta yang mereka bawa. Sebab tidak mungkin mereka makan daging binatang buruan mengingat orang yang berihram diharamkan membunuh binatang buruan.
Dari gambaran seperti ini, maka kita bisa membayangkan bagaimana repotnya mereka saat hendak makan, karena setiap mau makan hampir harus selalu masak. Kecuali jika yang dimakan adalah seperti kurma atau kismis dan semisalnya.
***
Adapun untuk minum, mandi, berwudu atau mencuci, maka kita bisa membayangkan mereka akan menggunakan sumur-sumur terdekat atau sumber-sumber air yang mereka temui dalam perjalanan. Adapun untuk buang hajat, mengingat zaman dulu belum ada WC umum, maka yang paling mungkin adalah mereka melakukannya secara random dan menjauh ke tempat tertentu lalu buang hajat, kemudian dikubur dengan tanah.
***
Merenungi akomodasi Nabi ﷺ dan para Sahabat selama perjalanan umrah dan haji semestinya membuat kita lebih bisa sabar, tabah, tangguh, dan bersyukur menghadapi semua kesulitan akomodasi dalam perjalanan ke tanah suci. Karena sesulit apapun yang kita alami, nampaknya kesulitan yang dihadapi Rasulullah ﷺ dan para Sahabat tetap lebih besar.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
03 Mei 2024 / 24 Syawal 1445 pada 08.45