Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Diriwayatkan Abu Bakar ditanya tentang tobat seorang lelaki yang menzinahi seorang wanita dan ingin menikahinya. Beliau berkata,
Artinya,
“Tidak ada tobat yang lebih utama daripada menikahinya. Mereka keluar dari perzinaan menuju pernikahan.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 204)
Diriwayatkan Ibnu Abbas juga berpendapat serupa,
Artinya,
“Dari Ikrimah bahwasanya Ibnu Abbas berkata terkait seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian menikahinya: ‘Jika keduanya bertobat maka yang lelaki menikahi wanita. Permulaannya adalah perzinaan penghabisannya adalah pernikahan. Permulannya adalah haram penghabisannya adalah halal.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 157)
Artinya,
“Dari Ṭāwūs, beliau berkata, ‘Ibnu Abbas ditanya seorang laki-laki melakukan hal yang haram dengan seorang wanita kemudian ingin menikahinya, (bagaimana itu?)’. Ibnu Abbas menjawab: ‘Itu adalah kebaikan’ atau beliau menjawab: ‘Itu lebih baik.’”(Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 157)
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ‘Ketahuilah bahwasanya Allah itu menerima taubat dari keduanya dalam keadaan bersama sebagaimana Allah menerima tobat dari keduanya dalam keadaan terpisah-pisah.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 158)
***
Jika posisinya sebagai wanita yang dizinahi, maka tetap wajib tobat nasuha. Lalu jika diajak menikah oleh lelaki yang menzinahinya sementara dia juga bertobat, dan dia mencintainya, maka sebaiknya menerima. Tapi jika menolak, maka tidak ada paksaan dan semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik.
***
Jika berzina dengan banyak orang maka yang dipilih untuk dinikahi adalah yang paling bertakwa, paling menyesali dosanya dan paling serius tobatnya.
***
Adapun mana yang lebih utama, menikahi pasangan zinanya ataukah orang lain yang saleh maka penjelasannya adalah sebagai berikut;
Jika bertemu dengan orang yang menjaga kehormatan dan tidak mempermasalahkan masa lalunya, maka saya kira itu baik juga. Tapi jika orang baik ini merasa ditipu andai tahu masa lalunya, maka itu akan menimbulkan masalah lagi dalam rumah tangganya. Bukan hanya sekali-dua kali saya mendengar seorang lelaki marah besar karena merasa ditipu wanita yang dinikahinya setelah itu berniat menceraikan istrinya padahal anaknya sudah tiga. Tidak enak juga seumur hidup menyembunyikan dosa zina pada pasangan halalnya.
Berbeda halnya jika menikah dengan pasangan zinanya yang sama-sama bertobat, maka lebih dekat membantu keduanya sama-sama menempuh jalan menuju Allah, karena keduanya sama-sama merasa kotor, sama-sama ingin menjadi baik, dan tidak ada yang satu mengundat-undat yang lain. Ini lebih dekat dengan inkisarul qalbi sehingga lebih dekat pada taufiq.
Mungkin karena alasan demikianlah ada sejumlah atsar dimana sahabat menikahkan pasangan zina, bukan dengan afif. Bahkan menikahkan pemerkosa dengan korbannya. Misalnya riwayat ini,
Artinya,
“Dari Nāfi‘, beliau berkata, ‘Seorang lelaki mendatangi Abu Bakar kemudian bercerita kepada beliau bahwasanya ada seorang tamu yang memecahkan keperawanan saudarinya dan memperkosanya. Maka Abu bakar menginterogasi lelaki tersebut dan lelaki tersebut mengakuinya. Lalu Abu bakar mencambuknya sesuai ketentuan hadd dan mengasingkannya selama satu tahun ke daerah Fadak. Abu Bakar tidak menghukum wanita tersebut dan tidak mengasingkannya karena wanita tersebut diperkosa. Setelah itu Abu bakar menikahkan wanita itu dengan lelaki yang memperkosanya dan menjadikannya serumah.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 204)
Artinya,
“Dari Nāfi‘, beliau berkata. Ibnu Umar punya seorang budak wanita. Ibnu Umar juga memiliki budak laki-laki yang sering menyelinap untuk menemui budak wanita tersebut. Lalu Ibnu Umar mengomeli budak lelakinya (karena perbuatan tersebut). Suatu hari Ibnu Umar melihatnya lagi (menyelinap), maka Ibnu Umar menginetrogasi budak wanitanya, ‘Apakah kamu hamil? Dia menjawab, ‘Iya’. Ibnu Umar bertanya, ‘Anaknya siapa’? budak wanita itu menjawab, ‘Anaknya fulan’. Lalu Ibnu Umar mengkonfirmasi, ‘Yang saya omeli itu, ya?’ Wanita itu menjawab, ‘Iya’. Maka Ibnu Umar menginterogasi budak lelakinya tapi dia menyangkal. Budak lelaki itu punya satu jari tambahan lalu Ibnu Umar berkata kepadanya, ‘’Bagaimana jika wanita itu nanti melahirkan bayi yang jarinya ada tambahan?’ Maka lelaki itu mengatakan, ‘Kalau begitu benar dia anakku.’ Maka wanita itu melahirkan seorang bayi yang memiliki jari tambahan maka Ibnu Umar mencambuk keduanya dengan sesuai ketentuan dan menikahkan mereka lalu memerdekakan bayi yang dilahirkan wanita itu.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 7 hlm 205)
***
jika dalam perzinaan itu terjadi kehamilan, maka Mazhab Asy Syafi’i membolehkan menikahi walau belum melahirkan. Tapi status anaknya adalah anak zina sehingga hanya sah bernasab ke ibu. Ayahnya bukan walinya. Kalau mazhab Hambali mengharamkan nikah hingga melahirkan.
02 Mei 2024 / 23 Syawal 1445 pada 20.17