Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Awal mula bertemu dengan hadis yang menjelaskan keutamaan tanggal 9 Zulhijah, saya terpesona. Hadisnya begini,
Artinya,
“Dari Jabir beliau berkata, ’Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada hari-hari 10 awal bulan Dzulhijjah. Seorang lelaki bertanya, ’Wahai Rasulullah mana yang lebih utama, amal di hari itu ataukah berjihad di jalan Allah 10 hari?’ Rasulullah ﷺ menjawab. ‘Amal di hari itu lebih utama daripada jihad 10 hari. Kecuali orang yang berjihad sampai dia mati syahid sehingga tersungkur wajahnya ke dalam tanah di medan laga. Tidaklah ada satu hari yang lebih utama dari sisi Allah daripada hari Arafah. Allah turun ke langit dunia kemudian membanggakan penduduk bumi kepada penduduk langit. Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba-Ku. Mereka berambut kusut, berdebu dan terkena sinar matahari. Mereka datang dari setiap ceruk yang dalam. Padahal mereka tidak melihat surgaKu dan tidak melihat azab-Ku’. Tidaklah aku melihat hari yang lebih banyak di mana seseorang dibebaskan dari neraka selain hari Arafah.” (H.R. Abū Ya’lā)
Bagian yang paling membuat saya takjub dalam hadis di atas adalah berita bahwa ALLAH MEMBANGGAKAN HAMBA-HAMBANYA yang beribadah di bawah terik sinar matahari dalam keadaan berdebu dengan rambut kusut masai. Allah membanggakan mereka di depan para malaikat di langit, lalu memutuskan merahmati para pendosa di kalangan mereka sehingga membatalkan mereka masuk neraka. Di ampuni karena kehebatan ibadah mereka di hari itu.
Saya tahu konteks ibadah mereka yang disebutkan dalam hadis adalah aktivitas wukuf di Arafah.
Hanya saja, tiba-tiba muncul dorongan yang sangat kuat untuk menggabungkan diri dalam barisan mereka.
Ingin masuk dalam golongan yang dibanggakan Allah tersebut.
Teringat pula saat bertemu hadis itu bagaimana kehebatan ibadah Rasulullah ﷺ di Arafah yang berwukuf, berdiri di bawah sinar matahari yang terik mulai lepas zuhur hingga terbenam matahari!
Teringat pula ibadah Faimiyūn (فَيْمِيُوْنَ) yang luar biasa. Seorang lelaki saleh yang mengikuti syariat Nabi Isa, yang setiap tiba hari Ahad selalu pergi ke sahara, menyepi, lalu menyembah Allah dengan tekun mulai pagi hingga matahari terbenam!
Saya benar-benar tercenung dan kagum dengan kehebatan ibadah hamba-hamba Allah yang saleh itu.
Jika beliau-beliau bisa, mengapa saya tidak bisa? Mengapa saya tidak mencoba?
***
Dari situlah kemudian timbul dorongan yang kuat untuk “meniru” wukuf di Arafah walaupun di rumah sendiri.
Meniru dari aspek perjuangan ibadah dalam waktu yang lama, bukan meniru dari sisi membuat rangkaian ibadah baru.
Niatnya adalah beribadah menyembah Allah seharian mulai selepas subuh hingga terbenam matahari.
Salat, berzikir, berdoa, munajat dan bertafakur di alam bebas beratapkan langit dalam keadaan terpanggang sinar matahari sebagaimana Rasulullah ﷺ juga berwukuf dalam keadaan terkena sinar matahari.
Jadi saya berpikir, jika ingin menggabungkan diri ke dalam kelompok orang-orang yang dibanggakan Allah, maka semestinya saya juga berusaha untuk meniru mereka sedekat mungkin.
***
Tapi masalahnya, bisakah ini dibenarkan secara syariat?
Apa tidak termasuk bid’ah?
Apakah ada Sahabat yang melakukan “wukuf” sendiri dalam keadaan tidak berhaji, tapi di rumah masing-masing atau di masjid atau di tempat yang lain dalam rangka meniru wukuf di Arafah?
Apakah ibadah meniru wukuf semacam itu tidak termasuk membuat-buat sendiri syariat yang tidak pernah di ajarkan Nabi ﷺ?
***
Alhamdulillah, ternyata apa yang saya pikirkan telah dibahas ulama sejak lama.
Ibadah “meniru wukuf” di Arafah itu ternyata dibahas juga hukumnya dalam fikih.
Namanya ta’rif (التعريف). Makna bahasanya kira-kira “menisbahkan diri pada ibadah kaum muslimin di Arafah”. Yakni beribadah seperti meniru wukuf di Arafah, tapi di lakukan di luar tanah suci di negeri masing-masing.
Al-Qurṭubī menegaskan yang demikian itu tidak masalah. Beliau berkata,
Artinya,
“Tidak masalah melakukan ta’rīf (meniru ibadah wukuf di Arafah) di masjid-masjid di luar Arafah untuk meniru orang-orang yang wukuf di Arafah.” (Tafsir al-Qurṭubī, juz 2 hlm 419)
Imam Ahmad juga membolehkannya. Al-Nawawi menulis,
Artinya,
“Al-Atsram berkata, ‘Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang ta’rīf, beliau menjawab, ‘Saya berharap itu tidak mengapa. Bukan hanya satu orang yang melakukannya. Di antaranya al-Haan, Bakr, Tsābit, dan Muhammad bin Wāsi’. Mereka mendatangi masjid pada hari Arafah” (al-Majmū’, juz 8 hlm 117)
Yang membuat saya bahagia adalah, ternyata ada Sahabat besar yang melakukannya, yakni Ibnu Abbas. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari al-Ḥasan beliau berkata, ‘Orang yang pertama kali melakukan hal itu (beribadah meniru wukuf di Arafah) adalah Ibnu ‘Abbās.’” (al-Sunan al-Kubrā, juz 10 hlm 74)
Ada juga tabi’in besar yang saleh yang melakukannya, namanya al-Hasan al-Baṣrī.
Abū ‘Awānah berkata,
Artinya,
“Aku melihat al-Ḥasan al-Baṣrī pada hari Arafah setelah asar duduk lalu berdoa dan berzikir mengingat Allah azza wa jalla, maka orang-orang pun berkumpul.” (al-Sunan al-Kubrā, juz 10 hlm 74)
***
Hanya saja ini memang masalah ikhtilaf. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Terkait ta‘rīf (meniru ibadah wukuf di Arafah) di luar Arafat yakni berkumpul yang sudah dikenal di berbagai negeri setelah asar pada hari Arafah, masalah tersebut ada ikhtilaf/perbedaan pendapat di kalangan salaf.” (al-Majmū’, juz 8 hlm 117)
Jadi, jika ada yang tidak suka dan menghindarinya, maka tidak masalah.
Saya pribadi melakukannya karena merasakan secara langsung dampaknya dalam hati dan latihan jiwa.
Juga sebagai persiapan, jika Allah nanti mengizinkan saya untuk berwukuf langsung di Arafah, saya berharap di hari itu sudah dalam kondisi terbaik, karena saya sudah berlatih sebelumnya sehingga saya bisa mempersembahkan ibadah terbaik yang bisa saya persembahkan kepada Rabb-ku.
15 Juni 2024 / 9 Dzulhijjah 1445 pada 14.02